
Mengurai pertautan antara dialog dan ekspresi ragam budaya dalam kerangka artistik seni media, Festival Komunitas Seni Media (FKSM) 2025 di Kota Cirebon mengetengahkan tajuk “Rentang Lawang” sebagai pijakan utamanya.
Cirebon sebagai kota yang sarat akan nilai-nilai kemajemukan, secara geografis juga menjadi titik pertemuan antara wilayah utara Jawa Barat dengan Jawa Tengah. Dalam sejarahnya, Cirebon merupakan titik temu bermacam budaya yang saling berdialog satu sama lain. Cirebon sebagai kota pelabuhan tumbuh dari gelombang perjumpaan: antara pedagang dan penyiar agama; antara budaya pesisir dan spiritualitas lintas etnis; dan antara lokalitas dan kosmopolitanisme. Di sinilah ‘lawang’—yang dalam bahasa Jawa berarti pintu—tidak hanya hadir sebagai elemen arsitektural, tetapi juga sebagai portal konseptual: suatu medan ambang antara satu ruang dan ruang lainnya. Ketika dunia material bertemu dengan dunia pengetahuan dan kebudayaan di dalam konstelasi waktu lampau hingga yang akan datang.
Dalam pemahaman di atas, pintu bukan sekadar objek fisik, tetapi simbol transisi, transformasi, dan keterhubungan lintas dimensi. Ia mengandung muatan spiritual, politis, serta kosmologis. Lawang kemudian dapat dibaca pula sebagai bentuk interface dalam konteks teori media kontemporer, sebagaimana dipaparkan oleh Lev Manovich—yakni batas yang memungkinkan interaksi antara dunia digital dan dunia manusia, antara yang nyata dan yang tersimulasi. Interface ini tidak netral; ia membentuk cara kita merasakan, berinteraksi, dan memahami.
Melalui Rentang Lawang, Cirebon diimajinasikan sebagai bentangan portal konseptual yang mencakup dispersi silang media dan silang disiplin. Rentang Lawang juga sekaligus membuka upaya penjajakan titik-titik pertemuan para seniman, pelaku kreatif, serta ragam komunitas dalam menyusuri kompleksitas wilayah yang juga saling bertaut dengan Pantai Utara dan Ciayumajakuning–Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan. Tajuk “Rentang Lawang” merujuk spektrum pintu/portal yang bersifat profan pada konteks Cirebon, seperti halnya situs spiritual seperti Lawang Sanga yang berkaitan erat dengan kisah siar Wali Sanga; peninggalan keraton hingga bangunan masjid-masjid kuno; jalur perdagangan sutra melalui poros teknologi angkut seperti kereta Paksi Naga Liman dan Singa Barong; langgam-langgam kebudayaan khas yang diturunkan oleh para empu melalui keterampilan pewayangan, topeng, batik dan lukisan kaca; hingga pelabuhan sebagai gerbang awal pertukaran budaya dan nilai.
FKSM 2025 mencoba untuk membuka kembali pemahaman atas Cirebon sebagai ruang transisi dan percampuran—tempat sejarah, teknologi dan spiritualitas yang berkelindan dalam jaringan yang hidup dan dinamis. Situs pelabuhan Cirebon yang dipilih sebagai lokasi utama FKSM 2025 bukan sekadar venue, tetapi justru menjadi pusat gravitasi konteks dari ragam eksperimentasi praktik seni media. Dari lukisan kaca, wayang kulit, gerabah dan panakawan sembilan, hingga serangkaian karya yang mempertemukan konteks antar daerah, mulai dari pantai utara dan Ciayumajakuning, jalur pesisir pantai selatan Jawa Barat, hingga tradisi kebudayaan khas Sumatera Barat.
FKSM 2025 diproyeksikan sebagai lawang terbuka yang tidak hanya dapat diamati, tetapi juga dialami sebagai ragam lintasan sejarah Nusantara, pertemuan seniman individu dan komunitas silang-media, serta ajuan-ajuan kritis atas kesenian-kesenian yang berdialog dengan teknologi dalam konteks lampau, kini dan masa depan di Kota Cirebon.
Dewan Kurator FKSM 2025
(Bob Edrian, Ignatia Nilu, Christine H. Toelle, Mega Nur, Shohifur Ridho’i)
(Teks kuratorial untuk Festival Komunitas Seni Media 2025: Rentang Lawang, 17-23 November 2025, Kompleks Gudang Pelabuhan PT Pelindo, Cirebon, Jawa Barat, Indonesia)