
Laku yang bertransformasi menjadi pengetahuan, Biennale Jogja 18 (BJ18) menarasikan Kawruh: Tanah Lelaku sebagai proyeksi lanjutan atas payung besar Khatulistiwa (Equator) putaran kedua yang berporos pada translokalitas dan transhistorisitas. Sejak dimulainya tawaran Khatulistiwa putaran kedua yang dibuka dengan Titen: Pengetahuan Menubuh, Pijakan Berubah dua tahun lalu, Biennale Jogja bergerak menelusuri jejaring kesenian di Selatan Global yang secara khusus juga mendorong upaya-upaya desentralisasi dan penguatan narasi dekolonisasi. BJ18 yang menjejaki kata kawruh maka berupaya menghadirkan ragam bentuk pembacaan atas pengetahuan dalam lintasan masa lalu, kini, serta waktu mendatang dengan orientasi pada pengalaman atau laku yang berakar.
Kawruh sebagai kerangka kuratorial sekaligus tawaran imaji atas ranah kesenian yang berporos pada aspek keseharian, tradisi, serta ragam bentuk kearifan lokal merupakan pijakan utama dalam menyusuri makna pertemuan dan pertukaran antar budaya dengan kompleksitas sejarah yang berbeda-beda. Memaknai Kawruh dalam akar pemahaman kebudayaan Jawa yang berarti pengetahuan sebagai akumulasi pengalaman yang dicerna secara kritis oleh akal budi, BJ18 secara khusus menyoroti kecenderungan-kecenderungan artistik yang intrapersonal sekaligus interpersonal. Kedua kecenderungan tersebut ditempatkan dalam bentuk-bentuk kerja dialogis dan interdisipliner antara seniman dan masyarakat (pelaku kreatif serta ahli dari disiplin beragam, pemangku kebijakan, dan warga setempat).
Pengetahuan sebagai laku menubuh serta kesadaran yang berakar dari kearifan lokal pada dasarnya merupakan sebuah upaya untuk dapat hidup selaras bersama alam dan ragam makhluk hidup di dalamnya. Kesenian, atau secara khusus seni rupa kontemporer, menjadi salah satu gerbang dalam menelusuri kembali kebudayaan serta pengetahuan-pengetahuan di berbagai masyarakat di Indonesia dan Selatan Global. Dengan melakukan dialog serta kolaborasi bersama warga setempat, komunitas-komunitas kecil, serta individu-individu yang menghayati ragam pengetahuan dan kearifan lokal tersebut, karya seni menjadi titik meleburnya individu, ruang, waktu, hingga bermacam tegangan (antara desa dan kota, kuasa dan kesenjangan sosial, hingga teknologi kini dan lampau).
Pembabakan Kawruh dalam Tanah Lelaku Biennale Jogja 18
Putaran kedua gagasan Khatulistiwa menempatkan perihal lokalitas dan kesejarahan wilayah Selatan Global dalam imaji-imaji artistik yang berporos pada ruang lingkup pengetahuan warga. Dalam hal ini menyangkut lingkup kehidupan desa yang begitu dekat dengan alam dan sumber daya yang juga mencakup pemahaman atas pengetahuan serta karakteristik ragam elemen alam.
Sebuah penggalan dalam Ramalan Jayabaya pada abad ke-11 serta ajaran Sunan Kalijaga pada sekitar abad ke-14 mengungkapkan bahwa akan tiba waktunya peradaban manusia, khususnya Nusantara, akan mengalami kemunduran. Kalimat “kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange” (sungai kehilangan kedalamannya, pasar kehilangan keramaiannya) memiliki makna mendalam dengan interpretasi yang beragam. Sungai sebagai sumber kehidupan akan semakin dangkal, begitu pula pemahaman dan pengetahuan manusia. Pasar sebagai ruang pertemuan dan negosiasi akan kehilangan keramaiannya, menandakan hilangnya dialog dan lahirnya bermacam konflik. Ungkapan yang populer dalam tradisi Jawa tersebut merupakan gambaran bagaimana estafet pengetahuan merupakan kunci dalam memaknai kehidupan baik secara individu maupun kolektif.
Seperti halnya sungai yang memiliki peran nyata sekaligus makna simbolik dalam kehidupan manusia, begitu pula gunung dan laut yang secara umum juga memiliki kedekatan dengan konstelasi masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta. Termasuk ke dalam bagian Sumbu Kosmologi atau Filosofi Yogyakarta, Gunung Merapi dan Laut Selatan atau Samudera Hindia merupakan contoh lain dari manifestasi pengetahuan berbasis elemen alam. Keseimbangan dan keharmonisan alam seringkali diproyeksikan melalui personifikasi gunung sebagai bapak dan laut sebagai ibu. Keduanya merupakan titik-titik yang dihormati sekaligus pusat kelindan tradisi dan budaya masyarakat setempat.
Laut sebagai muara sungai, begitu pun gunung berapi sebagai sumber tanah yang subur. Keseluruhan elemen alam tersebut menjadi konstelasi pengetahuan kolektif yang dilestarikan secara turun temurun. Melalui pemahaman atas elemen alam, isu lokalitas dan pertemuan sejarah kemudian menjadi dimungkinkan dan masuk akal. Oleh karenanya, Kawruh diproyeksikan sebagai pendaran pengetahuan warga setempat (mencakup tradisi serta kearifan dan sejarah lokal) yang terpancar pada kelompok masyarakat atau lingkup kehidupan bermasyarakat yang lebih luas dan lebih kompleks, sebut saja wilayah administratif kota hingga negara dan global.
Penyelenggaraan Biennale Jogja 18 menempatkan beberapa titik sebagai poros-poros pendaran. Terbagi ke dalam dua babak, Kawruh: Tanah Lelaku Babak I pada periode 19-24 September 2025 akan dilangsungkan di Padukuhan Boro, Desa Karangsewu, Kulon Progo, yang kemudian dilanjutkan dengan Babak II di Kota Yogyakarta, Desa Panggungharjo, dan Desa Bangunjiwo pada periode 5 Oktober-20 November 2025.
Babak I dan II melibatkan sejumlah wilayah desa sebagai lokasi menyiarkan gagasan Kawruh sebagai proses identifikasi sekaligus tumbuh kembang yang berasal dari diri sendiri dan lingkungan terdekat. Desa yang dipilih sebagai lokus kemudian menjadi contoh bagaimana pengetahuan digali dan ditemukan kembali. Karya seni berada dalam posisi serupa cermin bagi seniman dan warga dalam melihat perjalanannya masing-masing sekaligus juga sebagai jembatan dalam menelusuri pengetahuan-pengetahuan yang sempat tersendat pewarisannya untuk kemudian dialami dan dihidupkan kembali dalam laku sehari-hari untuk menjawab tantangan masa kini.
Momentum ini diharapkan dapat memantik kesadaran bersama terkait kedaulatan dan ketahanan budaya. Dimulai dari penggalian dan aktivasi pengetahuan-pengetahuan lokal serta kontekstual yang tidak hanya menjawab tantangan lokal, tetapi juga global. Desa sebagai titik pijak menjadi benteng terakhir kedaulatan atas dasar kedekatan dengan sumber daya alam, berakarnya etos kerja kolaboratif, dan tersedianya pengetahuan-pengetahuan lokal yang berumur panjang. Selain itu, kandungan nilai spiritualitas di desa masih cukup kuat sebagai pengikat atau kohesi sosial.
Pertemuan antara seni kontemporer dengan desa memosisikan seniman bukan hanya sebagai agen artistik, tetapi juga rekanan warga desa dalam upaya percepatan penggalian pengetahuan yang telah lama berakar dalam budaya dan tradisi setempat. Perjumpaan desa dan kesenian inilah yang pertama-tama dimaknai sebagai cermin. Cermin dalam artian karya seni sebagai medium untuk melihat posisi seniman sekaligus warga desa yang seringkali juga tenggelam di dalam kekayaan pengalamannya masing-masing. Seni kemudian juga berperan sebagai jembatan, yaitu media yang mengantarkan seniman dan warga desa kepada pengetahuan mengenai diri dan lingkungannya. Perihal asal muasal, kehadiran dan keberadaan diri, dan tujuan serta proyeksi masa depan. Seni menjadi jalan pulang sekaligus titik berangkat.
Kawruh sebagai Kelanjutan Sekaligus Pijakan untuk Berdialog dengan Hari Ini
Kawruh sebagai sebuah landasan artistik berupaya melihat kembali pengetahuan tidak hanya sebagai bentuk akumulasi kompleksitas pemikiran individu manusia, tetapi bagaimana manusia secara berkala dan secara kolektif saling membangun pengertian serta pengalaman yang melahirkan pengetahuan mengakar. Pemahaman tersebut diupayakan untuk tidak hanya bersifat lokal di Indonesia, tetapi juga di wilayah-wilayah lain di Selatan Global.
Seniman terlibat yang berasal dari sebaran wilayah Indonesia dan internasional diposisikan dalam kerangka merespons tema Kawruh secara umum, terlibat dalam kerja-kerja kolaboratif antar seniman, atau mengikuti kegiatan residensi yang kemudian berdialog dan bekerja bersama warga. Spektrum kerja artistik tersebut merupakan upaya merangkul keragaman artistik yang melebarkan makna atas Kawruh di berbagai budaya. Kawruh yang berakar dari bahasa Jawa pada dasarnya melingkupi prinsip-prinsip laku kehidupan yang dapat diterapkan di bermacam kebudayaan dunia.
Biennale Jogja 18 perlu secara cermat melihat aspek keberlanjutan dari penyelenggaraan edisi ke-17 dua tahun lalu yang berporos di Kota Yogyakarta, Desa Bangunjiwo, dan Desa Panggungharjo. Oleh karenanya, keterlibatan dua desa yang disebutkan terakhir dalam penyelenggaraan edisi ke-18 di tahun 2025 ini tidak hanya menandai siasat artistik berkelanjutan dari gagasan Khatulistiwa putaran kedua, tetapi juga bagaimana relasi, jejaring, serta pengetahuan-pengetahuan yang diserap dan dicerap di edisi sebelumnya dapat dikembangkan menjadi tawaran-tawaran artistik serta apresiasi baru dari para seniman partisipan dan warga.
Kawruh: Tanah Lelaku sekali lagi merupakan tawaran untuk kembali ke tanah tempat manusia berpijak yang sekaligus juga pijakan untuk memulai perjalanan menelusuri pengetahuan-pengetahuan mengakar. Bagaimana pengetahuan-pengetahuan mengakar tersebut dapat digali, dimaknai, dan diserap ke dalam diri untuk kemudian kembali bersiap menghadapi situasi-situasi terkini.
___________________________________________
Practice that transforms into knowledge, Biennale Jogja 18 (BJ18) narrates Kawruh: Land of Rooted Practices as a continuation of the second phase of the large Equator framework, which is pivoted on translocality and transhistoricity. Since the launch of the second Equator phase two years ago, opened with Titen: Embodied Knowledge, Shifting Grounds, Biennale Jogja has moved to trace artistic networks in the Global South, specifically also encouraging efforts toward decentralization and the strengthening of decolonization narratives. BJ18, which traces the word kawruh, thus attempts to present diverse forms of reading knowledge across the past, present, and future, with an orientation toward experience or rooted practices.
Kawruh, as a curatorial framework and an imaginative offering for the artistic realm, pivots on aspects of the everyday, tradition, and diverse forms of local wisdom, providing the main foundation for navigating the meaning of encounters and exchanges between cultures with differing historical complexities. Interpreting Kawruh within the root understanding of Javanese culture, which means knowledge as the accumulation of experience critically processed by the intellect, BJ18 specifically highlights artistic tendencies that are both intrapersonal and interpersonal. Both tendencies are placed in the form of dialogical and interdisciplinary work between artists and the community (creative practitioners, experts from various disciplines, stakeholders, and residents).
Knowledge as an embodied practice and consciousness rooted in local embodied knowledge is fundamentally an effort to live in harmony with nature and the diversity of life within it. Art, or contemporary visual art in particular, becomes a crucial gateway for re-examining culture and knowledge across various societies in Indonesia and the Global South. By facilitating dialogue and collaboration with residents, small communities, and individuals who embody these diverse forms of knowledge and wisdom, the artwork itself becomes a melting point where the individual, space, time, and various tensions (between rural and urban, power and social inequality, and current and past technologies) are explored.
Structuring Kawruh within the Land of Rooted Practices, Biennale Jogja 18
The second cycle of the Equator concept positions the issues of locality and historicity of the Global South region within artistic imaginaries that pivot on the scope of community knowledge. This pertains to the sphere of village life, which is intimately connected to nature and resources, and also encompasses the understanding of knowledge and the characteristics of diverse natural elements.
A fragment within the Jayabaya Prophecies of the 11th Century, along with the teachings of Sunan Kalijaga around the 14th Century, reveals that a time will arrive when human civilization, particularly that of the Nusantara, will experience decline. The phrase “kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange” (the river loses its depth, the market loses its clamor/echo) holds deep meaning with diverse interpretations. The river, as a source of life, will become increasingly shallow, and so too will human understanding and knowledge. The market, as a space for encounter and negotiation, will lose its clamor, signaling the loss of dialogue and the birth of various conflicts. This popular expression within Javanese tradition is an illustration of how the relay of knowledge is key to giving meaning to life, both individually and collectively.
Just as the river holds both a tangible role and a symbolic meaning in human life, so too do the mountain and the sea generally share a closeness with the constellation of Javanese society, especially Yogyakarta. Included as part of the Cosmology Axis or Philosophy of Yogyakarta, Mount Merapi and the Southern Sea, or the Indian Ocean, are other examples of the manifestation of knowledge based on natural elements. The balance and harmony of nature are often projected through the personification of the mountain as the father and the sea as the mother. Both are points that are respected, while also serving as the center where the tradition and culture of the local community intertwine.
The sea is the estuary of the river, and so too the volcano is the source of fertile soil. The entirety of these natural elements becomes a constellation of collective knowledge that is preserved ancestrally. Through an understanding of natural elements, the issue of locality and the intersection of history becomes possible and plausible. Therefore, Kawruh is projected as the refracted local community knowledge (encompassing tradition, Local Embodied Knowledge, and local history) that radiates outward to broader and more complex community groups or spheres of societal life, such as the city’s administrative region, up to the nation and the global level.
The staging of Biennale Jogja 18 positions several points as focal points of refraction. Divided into two phases, Kawruh: Land of Rooted Practices Phase I, in the period of September 19–24, 2025, will be held in Padukuhan Boro, Karangsewu Village, Kulon Progo, which is then followed by Phase II in Yogyakarta City, Panggungharjo Village, and Bangunjiwo Village in the period of October 5–November 20, 2025.
Phase I and II involve several village areas as sites for broadcasting the Kawruh idea, which is a process of identification simultaneous with growth and development originating from the self and the immediate environment. The villages chosen as the locus then become examples of how knowledge is excavated and rediscovered. Art is in a position similar to a mirror for the artist and the community in viewing their respective journeys, while also serving as a bridge in tracing knowledge that was briefly interrupted in its inheritance, to then be experienced and revived in living practices to answer the challenges of the present time.
This momentum is expected to spark a collective consciousness related to cultural sovereignty and resilience. Beginning with the excavation and activation of local and contextual knowledge that not only answers local challenges, but also global ones. The village, as the foundational foothold, becomes the last fortress of sovereignty based on its proximity to natural resources, the rooting of a collaborative work ethic, and the availability of long-lived local knowledge. Furthermore, the content of spiritual values in the village remains strong enough to act as a social binder or cohesion.
The encounter between contemporary art and the village positions the artist not only as an artistic agent but also as a partner to village residents in the effort to accelerate the excavation of knowledge that has long been rooted in local culture and tradition. This encounter between the village and art is what is first interpreted as a mirror. A mirror in the sense of the artwork as a medium for seeing the position of the artist as well as the village residents, who often also drown in the wealth of their respective experiences. Art then also plays a role as a bridge, which is a medium that delivers the artist and village residents to knowledge concerning the self and its environment: regarding the matter of origins, the presence and existence of the self, and purpose, as well as future projections. Art becomes the way home and the starting point simultaneously.
Kawruh: A Continuation and Foothold for Dialogue with the Present
Kawruh, as an artistic foundation, seeks to re-examine knowledge not only as a form of accumulated complexity of individual human thought, but also how humans periodically and collectively build mutual understanding and experiences that give birth to rooted knowledge. This understanding is pursued to be relevant not only locally in Indonesia, but also in other regions of the Global South.
Artists joining the Biennale, drawn from diverse regions across Indonesia and internationally, respond to the Kawruh theme through inter-artist collaboration or dedicated residencies that foster dialogue and direct work with local communities. This broad range of artistic engagement embraces diversity, expanding the meaning of Kawruh across many cultures. Rooted in the Javanese language, Kawruh offers principles of living practice (laku) that are applicable across various global cultures.
Biennale Jogja 18 carefully addressed the aspect of sustainability from the staging of the 17th edition two years prior, which was pivoted in Yogyakarta City, Bangunjiwo Village, and Panggungharjo Village. Therefore, the involvement of the latter two villages in the staging of the 18th edition in 2025 not only marked the ongoing artistic strategy of the second cycle of the Equator concept but also demonstrated how the relations, networks, and knowledge absorbed and apprehended in the previous edition were developed into artistic offerings and new appreciation from the participating artists and the community.
Kawruh: Land of Rooted Practices is the final offering: a call to return to the land where we stand, and the foundational ground from which a journey to rooted knowledge expands. It serves as the roadmap for how that essential wisdom is uncovered, understood, and absorbed into the self, allowing us to rise and meet the challenges of the age.
Biennale Jogja 18 Curatorial Team
Bob Edrian, IHwa Eva Lin, & ketjilbergerak
(Pengantar pameran Biennale Jogja 18, KAWRUH: Tanah Lelaku, 19 September-20 November 2025, Desa Karangsewu, Kulon Progo & Kota Yogyakarta, Desa Panggungharjo, dan Desa Bangunjiwo, Jawa Tengah, Indonesia)