Kepada siapapun yang membaca surat ini di masa depan:
Surat ini kami tulis ketika Bumi sedang dalam ancaman planet Merkurius dan Venus yang berotasi terbalik: Sebuah situasi genting yang mengakibatkan kepanikan global. Layaknya aliran listrik bergilir, tak lama lagi Bumi akan mendapatkan giliran rotasinya.
Pemandangan kehancuran mulai tampak di sekitar medan gravitasi Venus dan Bumi yang saling tarik-menarik. Puing-puing elektronik dari satelit dan roket mengambang tak bertuan dalam hening dan dinginnya ruang panca-matra antariksa. Kapsul Rekaman Penjelajah Emas, sebuah alat buatan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Indonesia, yang membawa informasi tentang seluruh penemuan, pemikiran dan kebudayaan Bumi, telah sampai pada tahap akhir proses pendokumentasiannya. Sebuah festival seni media di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta menjadi kegiatan terakhir yang direkam dan diunggah ke dalam kapsul.
Indonesia memang bukan negara yang memiliki tradisi kuat dalam hal eksplorasi luar angkasa. Alih-alih berpikir soal membangun koloni baru di Mars, para birokrat malah menghabiskan sebagian besar energinya untuk mempersiapkan perpindahan ibukota negara ke Kalimantan demi memperpanjang harapan hidup warganya dari ancaman gempa bumi yang masif di pulau-pulau cincin api.
Meskipun demikian, ternyata LAPAN memiliki portofolio yang cemerlang dalam melaksanakan misi-misi penerbangan luar angkasa tanpa awak dan pengorbitan satelit. Sesegera mungkin, Kapsul Rekaman Penjelajah Emas akan terbang meninggalkan kelopak pendaran terjauh matahari, mengarungi samudera kosmik bagai surat dalam botol, lalu terdampar dan ditemukan makhluk asing di planet antah berantah. Memohon pertolongan adalah tujuan utama pesan dalam kapsul ini. Tapi jika pertolongan tak didapatkan, setidaknya mereka di luar sana tertarik memeriksa arsip dan dokumentasi dalam kapsul.
Oleh karena itu pula surat pengantar ini kami tulis. Kami berharap berbagai peristiwa kebudayaan yang terekam kapsul ini dapat terkenang sebagai monumen peradaban ras manusia di atas Bumi. Semoga para seniman beserta karyanya dapat menginspirasi Anda di masa mendatang. Surat ini melengkapi data dalam kapsul berkode Instrumenta #2: Machine/Magic. Kegiatan ini merupakan perhelatan terakhir di Galeri Nasional Indonesia, sebelum seluruh warga Jakarta pindah ke Kalimantan, atau kemungkinan terburuknya, mengalami bencana kehancuran karena rotasi Bumi yang berbalik arah pada esok hari.
Karya-karya seni media dari Indonesia, Malaysia, Australia, Kanada, Selandia Baru, Hongkong dan Jepang tampil dalam perhelatan ini. Sejumlah pertimbangan kuratorial dalam pemilihan seniman telah kami tetapkan sejak awal proses riset. Pertama, teknologi seperti apa yang mampu kami akses/sediakan sebagai medium presentasi dari karya media mereka? Kedua, bagaimana kami dapat memberikan ruang untuk berbagai seniman, isu, dan medium dari lintas generasi, gender dan daerah asal? Ketiga, tawaran seperti apa dari setiap karya seniman yang nantinya bisa beresonansi dengan publik yang sudah lelah oleh teror kabar burung dari gawai mereka?
Dalam perjalanannya, beragam pendekatan dipilih oleh para seniman untuk merespon “fiksi ilmiah” sebagai inspirasi utama pameran ini. Dari pembacaan kami, setidaknya terdapat tiga kecenderungan utama yang mendasari kekaryaan para seniman yang berpartisipasi.
Pertama: imajinasi fiksi ilmiah dari penguasaan sains dan teknologi dalam kaitannya dengan narasi spekulasi masa depan.
Kedua: aspek sosio-politik dari penguasaan sains dan teknologi dalam perspektif kritis.
Ketiga: upaya-upaya menghadirkan sensasi keajaiban dari kehidupan keseharian dan pengetahuan masa lampau.
Dalam kecenderungan pertama, dapat kita temukan sub-tema imajinasi luar angkasa seperti yang nampak pada karya Nurrachmat Widyasena, yang merupakan gambaran mimpi-mimpi manusia Indonesia tentang pengembangan ekspedisi luar angkasa. Rega Rahman dan Bandu Darmawan, di sisi lain, menanggapi pengalaman salah seorang pelukis Indonesia, Sudjana Kerton, yang konon pernah diculik dan berinteraksi dengan makhluk luar angkasa. Mereka membuat sebuah instalasi spekulatif yang berkisah tentang pembentukan Biro Pendeteksian Luar Nalar.
Sementara itu, karya-karya Dwiky KA, Abshar Platisza, Hayashi Chiho, Stelarc dan Nur Amira Hanafi berupaya mengangkat imajinasi tentang relasi manusia dengan spesies lain seperti bakteri, mesin, robot dan transhuman. Dwiky membayangkan sosok-sosok prodigy yang mampu menciptakan perpaduan antara manusia dengan spesies lain dalam bentuk robot laba-laba raksasa. Stelarc mulai menyatukan mesin dengan tubuhnya sejak 1980-an, sementara Abshar Platisza mengimajinasikan integrasi antara manusia dengan organ-organ buatan yang memungkinkan terwujudnya gagasan tentang hidup abadi. Sementara itu, hubungan antara manusia dan entitas mekanik ciptaan ditampilkan oleh Hayashi Chiho dalam karya yang terinspirasi oleh film Ghost (1990). Karya Nur Amira Hanafi, di pihak lain, menunjukkan relasi antara manusia dengan spesies bakteri yang hidup, tumbuh dan membiasakan diri dengan kondisi tubuh dan aktivitas manusia.
Belakangan muncul diskusi mengenai semesta “lain” atau multiverse, yang bertumpu pada spekulasi tentang adanya portal metafisik yang mampu memindahkan manusia dari semesta yang satu ke semesta lainnya. Nindya Nareswari dan Maulana Ahmad menghadirkan instalasi yang mensimulasikan lapisan semesta. Melalui pendaran cahaya yang ditangkap secara berlapis, mereka menunjukkan bagaimana setiap lapisan semesta nampak memiliki irisan dengan lapisan lain namun dengan bentuk yang memuai. Konon, memasuki sebuah lorong waktu akan memberikan efek memuai atau melebur pada setiap unsur atau entitas yang melewati gerbang antar semesta. Gagasan itu pula yang mendorong Rianti Gautama membangun sebuah instalasi berbentuk portal dengan konstruksi yang memiliki elemen interaksi kinetik di dalamnya. Gilang Anom Manapu Manik, di pihak lain, tertarik pada gagasan mengenai semesta lintas ruang dan waktu melalui karya performans dan drawing -nya.
Dalam kecenderungan kedua, terdapat sejumlah karya yang memuat refleksi kritis pada perkembangan sains dan teknologi, seperti yang ditunjukkan oleh Benny Wicaksono, Riar Rizaldi, Farhanaz Rupaidha, Marjan Verstappen dan Mei Homma. Benny Wicaksono prihatin dengan perkembangan teknologi pengawasan jarak jauh termutakhir, utamanya sistem pendeteksi wajah, yang mungkin saja dijadikan alat oleh pihak penguasa untuk mempersempit ruang kebebasan berekspresi warganya. Sementara Riar Rizaldi berbicara mengenai dampak sosiokultural dari eksploitasi berlebihan pada timah sebagai bahan baku utama segala macam suku cadang produk masinal.
Marjan Verstappen, di sisi lain, mengangkat isu etika lingkungan dalam proses pembuangan limbah nuklir negara-negara maju dengan melakukan manipulasi foto udara lahan pembuangan fiksional yang mengecoh calon klien. Senada dengan Marjan, Farhanaz Rupaidha mengangkat isu lingkungan, utamanya keberlangsungan bumi dalam kaitanya dengan perkembangan infrastruktur teknologi internet. Sementara itu, Mei Homma menggunakan pendekatan sains dan antropologi lintas-kultural antara Jepang dan Indonesia dalam menyuarakan isu gender melalui risetnya tentang plasenta.
Kecenderungan ketiga menitikberatkan pada karya-karya yang memperlihatkan jukstaposisi berbagai elemen, simbol maupun citra kontradiktif tentang seni, sains dan teknologi. Kita dapat temui pijakan mitologis dalam memahami perkembangan teknologi pada karya Vvzela Kook dan Irene Agrivina, misalnya. Karya video Vvzela memperlihatkan animasi penuh warna yang mengisahkan sebuah pergeseran keyakinan dari “dewa-dewa” lama dan “dewa-dewa” baru: mesin. Gods and Pilgrims, secara berurutan menampilkan adegan dari patung-patung dewa klasik yang kian tertelan dinding-dinding seperti papan sirkuit elektronik, hingga kemudian semesta yang mengalami penjenuhan masinal tak terhindarkan dengan terus menerus dirakitnya raksasa robot yang berwujud seperti pada anime mecha. Semesta masinal ini mengambil latar belakang distopia dari Kota Bertembok Kowloon, Hong Kong, yang ditutup karena kriminalitas dan bangunan vertikal yang menyentuh titik maksimumnya.
Dengan perspektif yang agak berbeda, Irene melalui instalasinya Entangled Beauty: A Perfect Marriage, melukiskan dewi-dewi kesuburan dari berbagai daerah di Asia Tenggara sebagai pelindung untuk mesin purwarupa yang memproduksi oksigen, energi, dan pupuk lewat akuaponik dan bioreaktor tanaman pakis dan sianobakteri. Irene berupaya menyetarakan sains, teknologi dan ajaran-ajaran lokal di masa lampau.
Sementara itu, karya Monica Hapsari, KULTse dan Rudi Hendriatno berupaya menelaah kesamaan antara teknosains dengan keyakinan spiritual dan religius. Monica lewat Kechari, menghadirkan mesin dengan dorongan spiritual. Mesin ini terbuat dari lempengan besi yang berbentuk heksagonal, diletakkan di lantai agar pengunjung bisa menebarkan debu kuningan di atasnya untuk melihat visual bergelombang dari berbagai frekuensi dari yang terdengar hingga tak terdengar oleh manusia. Lewat prinsip simatik, Monica menekankan pada penggunaan bunyi-bunyian dalam berbagai ritual keagamaan, seperti mantra dan zikir, yang bisa menggetarkan tubuh dan nurani seseorang.
Karya instalasi kelompok KULTse, Tanda-tanda Zaman Baru, menggambarkan kepercayaan Timur tentang kehidupan dan kekuatan benda-benda. Menggunakan teknologi realitas berimbuh (augmented reality), karya tersebut menunjukkan bagaimana gawai atau ponsel pintar menjadi mediator prosesi “sesajen” untuk melihat dimensi yang lain. Rudi Hendriatno, di pihak lain, menggunakan material kayu untuk menggarap sebuah mesin kinetik yang rinci dan rumit, sebagai simbol bagaimana takdir dan makrokosmos berjalan mengatur hidup manusia.
Usaha-usaha untuk memadankan pengetahuan kuno dan teknologi untuk menyuarakan isu sosiopolitik nampak pada karya Skawennati dan Cut and Rescue. Karya machinima (sinema dalam mesin) Skawennati, The Peacemakers Returns, dibuat pada era Trumpian di mana resolusi konflik terkait kesenjangan antar ras menjadi gugatan masyarakat global. Animasi ini dinarasikan oleh sang heroine keturunan Iroquis, suku asli Amerika Utara yang di hidup di masa depan sebagai agen perdamaian, yang memiliki kemampuan untuk memasuki mimpi tentang masa lalu. Potongan-potongan mimpinya menceritakan bagaimana perdamaian diciptakan oleh nenek moyangnya, dan menginspirasinya untuk menciptakan agenda perdamaian antar spesies di jagad raya. Dengan keprihatinan yang sama pada masalah perdamaian, Cut and Rescue, sekelompok seniman muda asal Jakarta yang dibesarkan dalam lingkungan religius, menampilkan instalasi tentang keresahan mereka terkait perpecahan yang terjadi setelah pemilu kepala daerah yang dipicu oleh politik identitas dan isu agama.
Secara menyeluruh, festival menampilkan karya-karya yang menggambarkan kegamangan manusia berada dalam bayang-bayang optimisme mimpi masa depan sekaligus refleksi kritis dan skeptisisme atas kondisi saat ini. Serupa dengan spekulasi yang khas dalam karya-karya fiksi ilmiah, karya-karya dalam perhelatan ini menawarkan kekayaan gagasan manusia yang berusaha berpikir melampaui batas-batas kemungkinannya.
****
Ketika makhluk asing akhirnya menemukan Kapsul Rekaman Penjelajah Emas, terdengarlah alunan gamelan Ketawang: Puspåwårnå dan alunan suara seorang Indonesia, Ilyas Harun, yang mengucapkan: Selamat malam hadirin sekalian, selamat berpisah dan sampai bertemu lagi di lain waktu…
Bayu Genia Krishbie
Bob Edrian
Gesyada Siregar
(Pengantar Kuratorial untuk Festival Seni Media Internasional Instrumenta #2: Machine/Magic, 23 Oktober – 19 November 2019, Gedung A dan C Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Indonesia)