Geliat interaksi sosial yang diakselerasi oleh laju teknologi informasi hari ini memicu penelusuran-penelusuran baru dalam memahami keberadaan diri. Identitas individu tidak hanya dipahami sebagai nilai yang berkaitan dengan karakteristik personal yang khas, tetapi juga sebagai posisi tawar sosial-politik sekaligus penanda seorang agen kebudayaan. Dalam ranah artistik, keberadaan diri menjadi potensi yang harus sejalan dengan kapabilitas seniman dalam menangkap dan memahami pola-pola keterkaitan antara estetika, identitas, serta lingkungan masyarakat sekitarnya. Kompleksitas tersebut memperkaya spektrum olah gagasan dan medium yang tidak jarang melahirkan banyak kebingungan dalam mengapresiasi karya-karya seni kontemporer hari ini. Eksplorasi fotografi merupakan salah satunya.
Sebagai bagian dari Bandung Photography Triennale 2022, NuArt Sculpture Park menghadirkan enam seniman yang tidak hanya berasal dari Indonesia, tetapi juga dari Thailand, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kompleksitas keberadaan diri terangkum dalam presentasi keenam seniman yang tumbuh dalam ruang lingkup berbeda. Kebudayaan yang merupakan cerminan pola hidup sehari-hari individu ataupun kelompok tidak jarang dimunculkan dalam imaji-imaji medium fotografi. Arum T. Dayuputri (Indonesia) merespons bagaimana kain hijab di Indonesia hari ini tidak melulu merupakan bagian dari penelusuran spiritual keagamaan ataupun pernyataan-pernyataan yang bersifat keimanan. Kain hijab telah menjadi pernyataan tren busana yang potensi pemakaian dan pemaknaannya telah melampaui kesadaran awal penggunaan sang kain. Spekulasi terkait ranah-ranah populer juga ditelusuri oleh Agan Harahap (Indonesia) yang mengajukan visi spekulatif mengenai kematian dan keabadian. Bagaimana apabila figur-figur berpengaruh dalam kebudayaan populer dihadirkan kembali hari ini, meskipun pada kenyataannya figur-figur tersebut telah habis masanya di dunia.
Figur-figur dalam tangkapan dekat dan intim juga dipresentasikan oleh Peter Fitzpatrick (Amerika Serikat). Menghadirkan serangkaian foto diri secara berurutan, tangkapan ragam ekspresi dan detail garis wajah menjadi simulasi bagaimana situasi internal diproyeksikan dalam bentangan imaji yang beku. Gun Ketwech (Thailand) menanggapi figur-figur terdekat melalui kaitannya dengan kondisi global hari ini. Penyebaran virus COVID-19 melahirkan renungan-renungan baru yang tidak hanya tertangkap dalam imaji-imaji potret, tetapi juga dalam bentuk goresan tulisan personal. Renungan yang cenderung menelaah bentuk-bentuk alienasi hingga paranoid sedikit banyak beririsan dengan gagasan presentasi Kang Jaegu (Korea Selatan). Menanggapi bagaimana peraturan wajib militer diterapkan bagi generasi muda Korea Selatan, karyanya menunjukkan nuansa dislokasi dalam anomali-anomali hubungan antar manusia. Fotografi kemudian menjembatani sekaligus mengamplifikasi kehadiran gejolak internal manusia yang tidak terlihat menjadi nyata di depan mata.
Apa yang terjadi hari ini merupakan serangkaian lintasan sejarah yang dialami berbagai generasi secara simultan. Ryota Katsukura (Jepang) berupaya merangkai titik-titik simultan tersebut yang kemudian dikaitkan dengan momen-momen personal. Satu momen personal sang seniman bisa jadi merupakan hari terjadinya peristiwa lain di dunia. Ruang dan waktu dipipihkan. Cerminan bagi manusia hari ini yang dihabisi oleh percepatan informasi. Dystopian Diffraction: New-Self menjadi sarana memikirkan kembali waktu kini (baca: sekarang/present) melalui penelusuran diri. Apa yang dialami dalam satu ruang dan waktu tidak hanya mengungkap karakteristik khas individu, tetapi juga menimbulkan pertanyaan terkait keberadaan diri.
(Pengantar kuratorial untuk Bandung Photography Triennale, Dystopian Diffraction: New Self, 15 September 2022– 15 Oktober 2022, Galeri Teras, NuArt Sculpture Park)