“I will refer to the kind of art in which I am involved as conceptual art. In conceptual art the idea or concept is the most important aspect of the work. When an artist uses a conceptual form of art, it means that all of the planning and decisions are made beforehand and the execution is a perfunctory affair. The idea becomes a machine that makes the art.”1
Perdebatan mengenai seni konseptual seringkali berujung pada penilaian (yang menyudutkan?) terhadap kapabilitas seorang seniman untuk mengeksekusi sebuah gagasan. Bangunan konsep dalam karya seni tentu saja sangat penting, namun dalam ranah seni konseptual, penekanan pada aspek konsep terkadang melahirkan karya-karya yang secara teknis ‘nampak’ sederhana. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan eksekusi ‘sederhana,’ namun apakah sebuah karya yang menekankan konsep sekaligus dibarengi dengan eksekusi yang rumit juga masih termasuk dalam ranah seni konseptual?
Proyek (con)struck berawal dari gagasan berkarya yang ‘sederhana’ melalui pemanfaatan objek-objek temuan ataupun benda-benda yang sudah ‘jadi’. Penggunaan objek-objek temuan ini sedikit banyak mengingatkan kita pada gagasan Duchamp berkaitan dengan readymade ataupun non-retinal art. Seperti yang diungkapkan oleh Seth Kim-Cohen dalam bukunya In the Blink of An Ear: Toward A Non-Cochlear Sonic Art (2009), gagasan non-retinal Duchamp berkaitan dengan karya-karya yang tidak menekankan pada indera penglihatan. Karya yang non-retinal merupakan karya yang menantang audiens tidak secara visual melainkan secara konseptual.
“Duchamp famously championed a ‘non-retinal’ visual art that rejected judgements of taste and beauty. In the decades since, Duchamp’s example has been widely embraced and liberally interpreted. This is not to suggest that art was devoid of conceptual concerns before Duchamp, nor that art was struck blind in front of the urinal. But since the 1960s, art has foregrounded the conceptual, concerning itself with questions that the eye alone cannot answer, questions regarding the conditions of art’s own possibility.”2
Proyek (con)struck dalam hal ini berupaya mengelaborasi kemungkinan-kemungkinan seni melalui penggabungan beberapa kecenderungan yang bagi beberapa pihak nampak berlawanan. Seni visual sekaligus konseptual, dan retinal sekaligus non-retinal. Penggunaan objek temuan dalam hal ini mengarahkan proyek (con)struck pada pembacaan seni konseptual dan non-retinal, namun bangunan eksekusi yang rumit serta pemanfaatan ilusi optik yang dikombinasikan dengan kecenderungan site-specific bisa dibilang sangat visual, atau lebih ekstrim lagi, sangat retinal. Tegangan, gabungan, ataupun pencampuran beberapa kecenderungan tersebut merupakan sebuah upaya untuk mengaburkan tendensi pengkategorian karya. Hal tersebut bukanlah upaya tendensius untuk menghancurkan dominasi kecenderungan tertentu, melainkan sebuah upaya menunjukkan kemungkinan-kemungkinan eksplorasi seni yang menantang bagi kreator, kurator, dan apresiator. Proyek (con)struck merupakan sebuah kerangka berpikir yang bermain. M.C. Escher memiliki pandangan menarik berkaitan dengan karya-karyanya yang juga sangat ‘bermain:’
“In my prints I try to show that we live in a beautiful and orderly world and not in chaos without norms, as we sometimes seem to. My subjects are also often playful. I cannot help mocking all our unwavering certainties. It is, for example, great fun deliberately to confuse two and three dimensions, the plane and space, or to poke fun at gravity. Are you sure that a floor cannot also be a ceiling? Are you absolutely certain that you go up when you walk up a staircase? Can you be definite that it is impossible to eat your cake and have it?”3
M.C. Escher merupakan seniman yang banyak mengolah ruang tiga dimensi dalam medium dua dimensi. Proyek (con)struck, dalam hal ini, juga mengolah aspek ruang yang cenderung site-specific. Kecenderungan site-specific dalam proyek (con)struck merupakan tawaran lain yang berkaitan dengan keberlangsungan proyek ini. Ya, Titik Temu Space bisa disebut sebagai pilot project. Sebuah tantangan bagi dua seniman yang menginisiasi proyek (con)struck, Eko Bambang Wisnu dan Teguh Agus Priyanto, untuk tidak berhenti pada satu ruang.
Pada akhirnya, apakah proyek (con)struck merupakan sebuah proyek seni konseptual? Seni visual? Retinal atau non-retinal? Seni optik atau site-specific? Seorang penulis skenario asal Amerika Serikat, Eric Roth, menulis sebuah kalimat menarik dalam skenarionya untuk film adaptasi dari cerpen F. Scott Fitzgerald (1921), The Curious Case of Benjamin Button (2009), “our lives are defined by opportunities, even the ones we miss.”
________________________________________________
- LeWitt, Sol. 1967. “Paragraphs on Conceptual Art”, dalam Charles Harrison & Paul Wood, New Edition Art in Theory 1900-2000: An Anthology of Changing Ideas, halaman 846. Oxford: Blackwell Publishing.
- Cohen, Seth-Kim. 2009. In the Blink of an Ear: Toward a Non-Cochlear Sonic Art, halaman xxi. New York: Continuum.
- Escher, M.C. 2010. M.C. Escher: 29 Master Prints, halaman 7. New York: Abradale.
(Pengantar kuratorial untuk (con)struck, 24 September – 7 Oktober 2016, Titik Temu Space, Bandung, Indonesia)
Leave a Reply