1      Introduksi

“If there are answers to the question of how music will be performed, enacted or experienced in the 21st century, then some of them will be discovered in the past and future of sound art.”1

Sejak pertengahan 1990-an hingga saat ini, perkembangan internet telah mengubah pola distribusi informasi. Distribusi musik diantaranya termasuk ke dalam perubahan pola distribusi informasi tersebut. Penulis sendiri mengalami masa-masa dimana toko-toko yang menjual rilisan musik seperti CD (Compact Disc) dan kaset pita (cassette tape) perlahan mulai ditinggalkan konsumennya dan akhirnya terpaksa gulung tikar di periode menjelang berakhirnya dasawarsa pertama di Abad ke-21. Saat ini, distribusi musik sudah umum dilakukan melalui media-media online seperti iTunes ataupun Spotify yang jelas lebih praktis ketimbang harus bepergian ke toko musik. Namun, apakah pola distribusi yang berubah juga mempengaruhi pola penciptaan, presentasi, ataupun metode apresiasi musik?

Pertengahan hingga akhir 1990-an juga dianggap sebagai periode dimana penggunaan istilah sound art mulai banyak diaplikasikan, seperti yang diungkapkan oleh Alan Licht, seorang komposer asal Amerika Serikat, dalam tulisannya berjudul Sound Art: Origins, development and ambiguities (2009):

“It gained currency in the mid- to late 1990s, when I first heard it, starting perhaps with the first Sonambiente festival in 1996, culminating in three important shows in the year 2000: Sonic Boom: The Art of Sound, curated by Toop at the Hayward Gallery in London; Volume: A Bed of Sound, curated by Elliott Sharp and Alanna Heiss at PS1, New York; and I Am Sitting In A Room: Sound Works by American Artists 1950–2000, curated by Stephen Vitiello as part of the American Century exhibition, Whitney Museum, New York.”2

Keterkaitan seperti apa yang muncul diantara pola perubahan distribusi musik dengan populernya penggunaan istilah sound art di periode 1990-an? Merujuk pada kutipan David Toop, seorang komposer dan penulis asal Inggris, di awal tulisan ini, apakah perkembangan sound art secara umum berperan terhadap perubahan dalam lingkup seni musik (atau industri musik)? Pertanyaan tersebut menjadi titik tolak penulis untuk menelusuri lebih lanjut pengaruh pemahaman sound art terhadap bagaimana musik digubah, ditampilkan, dan diapresiasi di masa kini, dan bagaimana pula sebaliknya.

 

2      Dari Musik ke Bunyi

Istilah sound art pertama kali muncul pada tahun 1983 ketika William Hellermann, seorang kurator yang mendirikan SoundArt Foundation di periode 1970-an, menyelenggarakan sebuah pameran di Sculpture Center, New York, AS, dengan tajuk Sound/Art. Beberapa tahun kemudian, istilah sound art mulai banyak digunakan untuk mendefinisikan aktivitas-aktivitas seperti pertunjukan musik eksperimental, musik noise, ataupun bentuk pertunjukan lainnya yang dianggap di luar wilayah musik konvensional. Pemahaman serta kajian sound art di era kontemporer saat ini sebenarnya sudah mengarah pada sebuah wilayah yang bisa dibilang berbeda dengan pemahaman seni musik yang kita kenali, baik itu musik populer maupun musik dalam ranah konservatori. Meskipun begitu, berkembangnya gagasan sound art tidak bisa dilepaskan dari inovasi ataupun dobrakan-dobrakan yang terjadi di ranah seni musik, selain tentunya bidang-bidang lain seperti perkembangan teknologi perekaman, hingga metode presentasi karya dalam ranah seni rupa, terutama intermedia, seni instalasi, dan seni media baru.

Dalam bukunya berjudul In the Blink Of An Ear: Toward A Non-Cochlear Sonic Art (2009), Seth Kim-Cohen menyebut tiga peristiwa di tahun 1948 (yang berkaitan dengan perkembangan musik) sebagai akar sejarah perkembangan sound art. Ketiga peristiwa ini terjadi di tiga tempat, atau lebih spesifik lagi tiga kota, yang berbeda: Paris, Fort Mill, dan Chicago. Paris di tahun 1948 merupakan sebuah kota dimana seorang komposer bernama Pierre Schaeffer merumuskan gagasan sound/sonorous object atau objet sonore yang kemudian menghasilkan genre baru dalam seni musik, yaitu musique concrete. Di tahun yang sama, di sebuah kota kecil bernama Fort Mill, Carolina Selatan, sebuah perusahaan produsen musik yang kemudian namanya dikenal sebagai musik background, Muzak Corporation (dibangun pada 1934), menolak komposisi berjudul Silent Prayer yang diajukan oleh John Cage. Komposisi Silent Prayer ini konon merupakan cikal bakal gagasan komposisi legendaris John Cage empat tahun kemudian berjudul 4’33’’. Di tempat lain di Amerika Serikat, tepatnya di kota Chicago, Aristocrat Records (diakuisisi oleh Chess bersaudara, Leonard dan Phil pada tahun 1947 dan diubah namanya menjadi Chess Records di tahun 1950) merilis dua buah single Muddy Waters berjudul I Can’t Be Satisfied dan I Feel Like Going Home. Keduanya dirilis pada tahun 1948 dan kedua single tersebut merupakan kali pertama sebuah musik diproduksi dengan memanfaatkan instrumen elektrik serta miking multichannel.

Ketiga peristiwa di atas, bagi Kim-Cohen, memberi kontribusi yang signifikan pada pemahaman sound art di kemudian hari. Genre musique concrete menghasilkan pemahaman-pemahaman baru terhadap morfologi bunyi, bagaimana sebuah bunyi dipahami sebagai bunyi itu sendiri, sound as sound itself. Komposisi 4’33’’ John Cage melahirkan gagasan-gagasan baru berkaitan dengan posisi seorang komposer musik, bunyi lingkungan, surrounding, metode chance operation, hingga gagasan soundscape atau sound ecology yang dirumuskan oleh R. Murray Schafer pada tahun 1977. Penggunaan instrumen elektrik dan miking multichannel dalam rekaman Muddy Waters memunculkan sensasi ataupun persepsi baru terhadap sistem perekaman, pemahaman ruang dan kehadiran yang virtual. Pemahaman-pemahaman tersebut merupakan sebagian dari bangunan-bangunan yang mendasari perkembangan kajian serta praktik sound art di masa kini. Meskipun ketiga peristiwa yang diungkapkan Seth Kim-Cohen belum bisa dijadikan landasan ataupun titik tolak sejarah yang pasti bagi perkembangan sound art, seperti halnya yang ia katakan dalam pendahuluan bukunya, “the beginning is never the beginning. Before 1948, there was 1947, and so on,”3 cukup banyak literatur-literatur sound art yang justru menarik sejarah sound art lebih jauh lagi dari tahun 1948, sebut saja gerakan Futuris Italia di tahun 1913 melalui manifesto Luigi Russolo, The Art of Noises dan instrumen intonarumori-nya, teater avant-garde serta puisi gerakan Dada di Cabaret Voltaire, Zurich, Swiss, yang dimulai pada tahun 1916, atau bahkan kumpulan buku rancangan automata musikal seorang Jesuit, Athanasius Kircher, berjudul Musurgia Universalis di tahun 1650.

Bagaimanapun rumitnya akar sejarah sound art, perkembangan pemahaman serta kajiannya di masa kini tidak bisa dilepaskan dari ruang lingkup musik yang mencakup perkembangan sistem produksi, distribusi, hingga konsumsinya. Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah bagaimana praktik sound art memberi pengaruh pada perkembangan musik.

 

3      Sound Art dan Filsafat Sonik

Sebelum memasuki wilayah analisis yang berkaitan dengan pengaruh sound art terhadap musik, tentunya perlu untuk menelaah terlebih dahulu perkembangan sound art beberapa tahun belakangan ini. Tahun 2010 bisa disebut sebagai salah satu turning point dalam perkembangan praktik sound art secara global. Karya instalasi bunyi berjudul Lowlands milik Susan Philipsz menjadi karya sound art pertama yang memenangkan penghargaan bergengsi di ranah seni rupa, Turner Prize. Peristiwa ini melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru berkaitan dengan karya-karya seni yang mengeksplorasi bunyi. Apakah instalasi bunyi masih dikategorisasikan sebagai karya seni intermedia yang identik dengan seni rupa? Ataukah karya tersebut merupakan sebuah kecenderungan yang membutuhkan kajian serta bentuk apresiasi baru yang berbeda dengan seni rupa ataupun seni musik?

Barbara London, seorang penulis sekaligus kurator yang menyelenggarakan pameran sound art pertama di Museum of Modern Art (MoMA), New York, pada tahun 2013 bertajuk Soundings: A Contemporary Score, mengungkapkan bahwa kecenderungan seniman untuk melibatkan elemen bunyi dalam karyanya bukanlah suatu kecenderungan yang benar-benar baru,

“Artists brought sound into their work a long time ago. Yet, working with the ‘material’ of sound as an art form and its conceptualization has recently expanded dramatically. In New York, as well as Stockholm, London, Milan, Kobe, Melbourne and Delhi, art center known as ‘alternative spaces’ emerged and for decades have supported the evolving sonic arts. Sound art is a global phenomenon.”4

Faktanya memang demikian, di Indonesia sendiri, meskipun pameran dengan tajuk spesifik sound art baru pertama kali diselenggarakan pada tahun 2007 di Galeri Soemardja, Institut Teknologi Bandung (pameran berjudul Good Morning: City Noise!!! Sound Art Project yang dikuratori oleh Aminudin TH Siregar dan Koan Jeff Baysa asal Amerika Serikat), kesadaran seniman Indonesia terhadap medium baru (yang salah satunya adalah elemen bunyi) telah muncul sejak periode Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI) di pertengahan 1970-an. Di samping itu, keterlibatan Heri Dono dalam pameran besar sound art di Hayward Gallery, London, pada tahun 2000 bertajuk Sonic Boom: The Art of Sound, juga perlu dicatat sebagai salah satu percikan awal perkembangan sound art dalam ranah seni Indonesia. David Toop, selaku kurator pameran tersebut mengungkapkan bahwa telah muncul seniman generasi baru yang menekankan elemen bunyi dalam karya instalasinya,

“a new generation of artists has also turned to sound as a major component in installation work. They range from Angela Bulloch’s Sound Clash Benches, featuring a film by Jimi Tenor, and her Superstructure with Satellites beanbags transmitting low frequency theremin sounds; to Heri Dono’s speaking and buzzing satires on power in Indonesia; and Mariko Mori’s video installations, particularly her Miko No Inori performance in Osaka’s Kansai airport, Mori playing a cyborg shamaness performing crystal magic in one of the trance ‘n’ transit spaces of our disengaged present.”5

Terlepas dari baru dimulainya kesadaran seniman terhadap elemen bunyi ataupun kurangnya penelitian lebih lanjut berkaitan dengan perkembangan sound art, kajian terhadap elemen bunyi bisa jadi menghasilkan pemahaman-pemahaman baru yang memperluas khazanah kesenian secara umum. Lebih jauh lagi, kajian elemen bunyi ataupun sound art memungkinkan pemahaman baru yang melebar hingga ke bidang lain, seperti yang diungkapkan Cristoph Cox, seorang profesor filsafat di Hampshire College, Amerika Serikat,

“not only has ‘sound art’ become a prominent field of practice and exhibition, embraced by museums and galleries across the globe, the academy has also witnessed an explosion of interest in auditory history and anthropology led by social scientists who have turned their attention to sound as a marker of temporal and cultural difference.”6

Cristoph Cox melanjutkan, melalui tulisannya berjudul Sonic Philosophy pada tahun 2013, bahwa filsafat estetika, menurutnya, terkurung dalam sebuah kecenderungan kuasa objek. Dalam hal ini, terdapat tendensi untuk memposisikan filsafat di atas objek kajiannya, contohnya filsafat ilmu, filsafat seni, filsafat musik, dsb. Cox kemudian mengajukan gagasan yang membongkar kuasa terhadap objek tersebut. Bagaimana apabila objek diizinkan untuk berbicara dan diposisikan sejajar dengan filsafatnya. Dalam kaitannya dengan musik dan bunyi, apakah makna dibalik berpikir secara bunyi (to think sonically) dibanding memikirkan bunyi (to think about sound)?

Masih dalam artikel yang sama, Cox menyebut musik dan bunyi sama-sama mewakili pemahaman-pemahaman terhadap objek yang bersifat temporal dan keduanya berpotensi menghadirkan kajian-kajian baru yang menantang ontologi atau hakikat objek itu sendiri,

“music has always posed an ontological problem, for (unlike the score or recording that attempts to capture it) it is intangible and evanescent but nonetheless powerfully physical. This ontological problem is compounded by sound art, which, from its very origins in the late 1960s, challenged the ontology of objects and, in particular, the modernist work of art. Though clearly an outgrowth of the Cagean tradition in experimental music, sound art emerged within the milieu of postminimalist practices… whose emphasis on process, multi-sensory experience and immersion defied the autonomy, medium-specificity and purely visual or optical conception of art characteristic of high modernism.”7

Filsafat sonik atau sonic philosophy menekankan pada pengalaman mendalam terhadap pemahaman bunyi sebagai sesuatu yang mengalir (flux), bunyi sebagai peristiwa (event), dan bunyi sebagai efek (effect). Flux dalam artian fenomena bunyi yang bersifat berubah-ubah dan temporal. Bunyi yang bersifat temporal tersebut membuatnya tidak dapat diidentifikasi sebagai objek, melainkan sebuah peristiwa (event). Peristiwa-peristiwa bunyi tersebut kemudian dapat diidentifikasi menjadi karakter-karakter bunyi tertentu melalui perulangan peristiwa, seperti halnya kita mengenali cuaca ataupun emosi melalui efek samping yang dihasilkannya (effect). Pemahaman terhadap filsafat sonik ini merupakan dasar bagi berkembangnya eksplorasi dan kajian sound art.

Fenomena sound art sebagai ragam praktik seni yang baru tentunya memperluas kemungkinan-kemungkinan eksplorasi seniman secara umum. Lantas, kembali lagi, bagaimana pengaruh perkembangan sound art terhadap ranah industri musik? Terdapat tiga kata kunci yang diajukan oleh David Toop dalam kutipan di awal tulisan ini berkaitan dengan pengaruh sound art terhadap musik: “…how music will be performed, enacted or experienced in the 21st century, …” Sound art merupakan sebuah wilayah yang interdisiplin dimana dalam praktiknya memungkinkan adanya percampuran beragam area eksplorasi yang tetap berjangkar pada filsafat bunyi. Hal tersebut memunculkan kemungkinan-kemungkinan bentuk presentasi sound art yang beragam seperti instalasi bunyi, sound sculpture, hingga performans bunyi. Hal ini sedikit banyak juga terjadi dalam ranah musik, misalkan pertunjukan musik Ryoji Ikeda dan Robert Henke yang seringkali dibarengi dengan pertunjukan visual. Selain itu, kehadiran karya bunyi dalam ruang galeri membuka peluang hadirnya karya-karya musik yang ditampilkan sebagai bentuk instalasi ataupun pertunjukan di ruang-ruang yang sebelumnya ekslusif dalam ranah seni rupa. Sementara dalam hal penciptaan karya, dikembangkannya gagasan noise dan sound object juga berperan dalam kecenderungan sebagian musisi yang memasukkan unsur tersebut ke dalam komposisi musiknya. Cobalah menyimak album-album populer milik Pink Floyd ataupun Frank Zappa yang menghadirkan unsur field recording, soundpiece, ataupun bebunyian-bebunyian non-konvensional.

DI wilayah apresiator ataupun penikmat musik, kehadiran sound art tentunya memberi tantangan berupa bentuk apresiasi ataupun persepsi auditori yang baru. Hal ini tentunya memperkaya khazanah pendengar musik, yang kemudian, baik secara langsung maupun tidak langsung, memperluas pasar industri musik secara umum. Bagaimanapun juga, baik musik maupun sound art, keduanya sama-sama mengeksplorasi elemen bunyi dan secara perlahan membangun sebuah budaya baru yang seringkali terabaikan (karena dominasi budaya visual?), yaitu budaya aural. Sebuah kebudayaan dimana kekayaan bentuk apresiasi dan persepsi auditori menghadirkan kesadaran aural yang tentunya dapat memperkaya khazanah pemikiran manusia secara umum. Musik dan sound art merupakan dua wilayah eksplorasi seni yang saling beririsan satu sama lain.

ecf-unpar-bob-edrian

 

Daftar Pustaka

  1. Toop, David. 2002. “Humans, are They Really Necessary? Sound Art, Automata, and Musical Sculpture”, dalam Rob Young, Undercurrents: The Hidden Wiring of Modern Music, halaman 129. New York: Continuum.
  2. Licht, Alan. 2009. “Sound Art: Origins, development, and ambiguities”, dalam jurnal internasional Organised Sound, 14, halaman 3. Cambridge University.
  3. Cohen, Seth-Kim. 2009. In the Blink of an Ear: Toward a Non-Cochlear Sonic Art, halaman 3. New York: Continuum.
  4. Delany, Ella. 2013, 4 Oktober. Sound and its power as new art form, The Global Edition of the New York Times, halaman S3.
  5. Toop, David. 2002. “Humans, are They Really Necessary? Sound Art, Automata, and Musical Sculpture”, dalam Rob Young, Undercurrents: The Hidden Wiring of Modern Music, halaman 128. New York: Continuum.
  6. Cox, Cristoph. 2011. “From Music to Sound: Being as Time in the Sonic Arts”, dalam Caleb Kelly, SOUND, halaman 80. Cambridge: The MIT Press.
  7. Cox, Cristoph. 2013. Sonic Philosophy. http://artpulsemagazine.com/sonic-philosophy , 28 September 2016.

 

14222100_10208851664401605_4626228264311989885_n

(Esai untuk ECF UNPAR: Filsafat Musik, ‘Musik dan Industri: Sound Art’, 30 September 2016, Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Indonesia)