The mind’s deepest desire, even in its most elaborate operations, parallels man’s unconscious feeling in the face of his universe: it is an insistence upon familiarity, an appetite for clarity.

Albert Camus, The Myth of Sisyphus (1942)

Seni yang mengangkat tema-tema ataupun mengandung unsur budaya populer (seringkali disebut sebagai pop art ataupun seni lowbrow) merupakan sebuah fenomena yang dalam medan sosial seni rupa memiliki kesamaan dengan hukuman ataupun kutukan yang diterima oleh seorang raja Ephyra atau Corinth bernama Sisyphus dalam mitologi Yunani. Para pelaku seni pop seringkali melakukan kegiatan yang identik dengan hukuman yang diterima sang raja Sisyphus. Beberapa pihak berusaha agar seni pop diterima oleh institusi seni (kurator, kritikus, galeri, museum), sementara di pihak lain, sebagian pelaku seni pop tersebut justru merasa nyaman ataupun tidak peduli dengan kondisi ‘tidak diterima’-nya seni mereka di kalangan pelaku ‘seni tinggi’. Seperti halnya Sisyphus yang tidak henti-hentinya menggelindingkan batu besar ke puncak hanya untuk melihat batu tersebut menggelinding kembali ke bawah, apakah seni pop juga akan terus bernasib seperti batu Sisyphus? Bagaimanapun juga, mengutip Albert Camus, seorang filsuf eksistensialis Prancis yang menggunakan mitologi Sisyphus sebagai salah satu dasar pemikirannya, seni yang merupakan manifestasi dari hasrat terdalam pikiran manusia pada dasarnya merupakan sebuah upaya untuk menemukan pencerahan, terlepas dari diterima atau tidaknya seni tersebut dalam institusi-institusi tertentu.

[youtube https://www.youtube.com/watch?v=6fdDrPNscVw]

(Pengantar diskusi pameran Elaborar: Luchamask Exhibition 5 Juni 2015, Perky Pedro, Bandung, Indonesia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *