Alkisah, sekelompok manusia dengan bermacam latar belakang disiplin dipertemukan atas dasar ketertarikan mereka pada konstelasi sebaran gunung berapi di Nusantara. Dalam lintasan periode masa lalu, kini, dan nanti, gunung berapi di Indonesia tidak hanya dipandang sebagai manifestasi dari dinamika kekuatan alam, tetapi juga meliputi ragam tradisi, mitos, hingga kepercayaan yang tumbuh di sekelilingnya. Gunung berapi adalah titik-titik tertinggi permukaan bumi yang ketika tiba waktunya ia meletus, maka berubah pula wajah dan lansekap bumi di sekitarnya.

Kelompok yang dikisahkan di awal bersepakat untuk memilih MAYAMERU sebagai tajuk utama dalam menyusuri spektrum pemaknaan gunung berapi. Susur Suara-Rupa Mandala sebagai pijakan babak pertama Mayameru diwujudkan dalam dispersi presentasi artistik yang mencakup pameran, seri diskusi dan pertunjukan, peluncuran situs web berisikan arsip dan dokumentasi kegiatan, hingga pemutaran karya film di NuArt Sculpture Park. Menekankan pada interaksi lintas disiplin dalam kaitannya dengan pengalaman fisik/nyata dan perkembangan teknologi terkini, MAYAMERU: Susur Suara-Rupa Mandala menjadi ruang dialog untuk memahami kembali lingkup kehidupan di sekitar gunung berapi dalam dinamika peradaban masyarakat khususnya di Indonesia.

Pameran MAYAMERU: Susur Suara-Rupa Mandala merupakan sajian lintas media yang melibatkan enam seniman dengan berbagai pendekatan medium dan ketertarikan artistik. Seturut dengan poros gagasan proyek MAYAMERU yang mengetengahkan perjalanan menyusuri beberapa gunung berapi di lintasan Pulau Jawa dan Bali, keenam seniman terbagi dalam komposisi seniman yang melakukan residensi/perjalanan serta seniman undangan yang secara konsisten telah/tengah melakukan riset terkait ragam budaya dan tradisi lokal hingga seni kontemporer secara umum.

Kolektif Gegerboyo, Monica Hapsari, dan Restu Taufik Akbar mengikuti residensi/perjalanan MAYAMERU di periode bulan Juni-Juli 2025. Ketiganya kemudian berdialog dengan seniman undangan Lintang Radittya, Marten Bayuaji, dan Rully Shabara dalam kerangka gagasan gunung berapi sebagai peramu purwarupa atau prototipe alam. Wajah lansekap di sekitar gunung berapi hari ini diimajinasikan sebagai purwarupa atas kontur bumi di masa mendatang. Memosisikan gunung berapi sebagai entitas yang memiliki potensi untuk mengubah bentuk dan peradaban, pameran MAYAMERU menghadirkan sejumlah purwarupa atau rencana/proyeksi karya individu dan kolaborasi antar seniman partisipan.

Berpijak pada falsafah Jawa dan Sunda terkait opat papat kalima pancer/sedulur papat lima pancer yang bermakna empat saudara dan yang kelima dalam hal ini manusia sebagai pusatnya, Restu Taufik Akbar berkolaborasi dengan Lintang Radittya dalam proyeksi gagasan gunung berapi sebagai penyangga dan poros bumi Nusantara. Kehadiran medium baja nirkarat cermin sebagai titik tengah instalasi karya sedikit banyak juga mengimajinasikan batu satangtung atau menhir dalam pemahaman teknologi kuno dan kosmologi di Jawa Barat. Bebunyian melalui rambatan synthesizer pada tegangan dawai yang seolah menopang poros karya diposisikan sebagai gerak dinamika terhubung antara manusia dan alam di sekitarnya. 

Karya Restu dan Lintang meruang membentuk imaji kerangka gunung meskipun imaji atas gunung atau gunung berapi tidak selalu hadir dalam manifestasi fisik. Melalui karya Tiga Ruh dalam Satu Tubuh, Marten Bayuaji mengisahkan kehadiran gunung berapi melalui sosok Buto (makhluk berukuran besar atau raksasa) dalam tradisi jathilan dan grasak di Jawa Tengah. Tradisi jathilan Buto seringkali hadir di daerah ā€˜gunung kembar’ Merapi-Merbabu. Hal tersebut memantik imajinasi Marten atas derap kaki para penari Buto sebagai proyeksi atas erupsi gunung Merapi. Topeng, kelat bahu, dan lonceng menjadi objek-objek karya interaktif yang juga merupakan bagian dari rumah gagasan Babak II: Tafsir dalam seri karya Marten bertajuk Ritus Api (terdiri atas tiga babak: Laku, Tafsir, dan Beber), sebuah proyek perjalanan dan studi artistiknya di sekeliling gunung Merapi sejak awal tahun 2024. 

Gagasan spekulatif hadir dalam karya kolaborasi antara Gegerboyo dan Monica Hapsari, serta presentasi berbasis seni performans Rully Shabara. Melalui Kidung Pralaya (Kidung Akhir Zaman/Kidung Keruntuhan), Gegerboyo (kolektif seni beranggotakan Anjali Nayenggita, Enka Komariah, dan Prihatmoko Moki) dan Monica menyerap sekumpulan mitos, dongeng, dan fakta ilmiah untuk kemudian menyusun mitos baru dalam format karya instalasi dan pertunjukan. Mitos atau mitologi dalam Kidung Pralaya dikisahkan melalui tujuh babak yang berporos pada gagasan nubuat terkait siklus dan perihal akhir zaman. Pralaya yang dalam bahasa Sansekerta bermakna kehancuran, keruntuhan, atau akhir zaman, dihadirkan melalui pertunjukan wayang Gegerboyo dan musik Monica Hapsari yang membayangkan akhir siklus kehidupan sebagai awal siklus yang baru.

Berpaut dengan imajinasi atas nubuat, sejak tahun 2012, Rully Shabara telah menekuni gagasan spekulatifnya terkait ajaran Khawagaka. Dalam perhelatan MAYAMERU, Rully menghadirkan dan akan satu kali membacakan secara kolektif naskah terlarang dari masa pasca-Khawagaka yang dikenal dengan Kitab Hitam, sebuah kumpulan pengetahuan yang pernah dihapus atau dilarang dalam masyarakat tradisi Wusa. Potongan-potongan naskah Kitab Hitam yang terserak dan diwariskan melalui upaya-upaya alih wahana tersebut kemudian dikenal dengan gubahan Serat Nungnuma. Proyek artistik Rully mengetengahkan bagaimana sebuah ajaran atau bahkan kebudayaan diserap, dihayati, dan ditelaah sebagai inspirasi dalam mempertanyakan serta mengkritisi tidak hanya bangunan kebudayaan yang telah berlangsung lama, tetapi juga bagaimana seni kontemporer dimaknai hari ini.

Pameran MAYAMERU: Susur Suara-Rupa Mandala menandai satu babak pembuka bagaimana seni kontemporer merespons ragam pemahaman, kepercayaan, hingga mitos dan mitologi yang berada di sekeliling gunung berapi. Dipresentasikan sebagai purwarupa atas proyek seni MAYAMERU di masa mendatang, keenam seniman partisipan menghadirkan sekelumit pemikiran yang menempatkan gunung berapi sebagai poros inspirasi sekaligus spekulasi atas relasi antara manusia, alam, Sang Pencipta. Gunung berapi yang juga mengelilingi keragaman budaya di Nusantara, di Indonesia.

Bob Edrian & Fahmy Al Ghiffari Siregar

(Pengantar pameran MAYAMERU: Susur Suara-Rupa Mandala, 13-28 September 2025, NuArt Sculpture Park, Bandung, Jawa Barat, Indonesia)