Mengidentifikasi Fenomena Budaya Aural

The widespread claim that we live in a deeply visualised culture is questioned. It is argued that contemporary Western society can also be characterised in terms of an increasing interest in auditory perception, which the development of sound art as an artistic discipline is one symptom of.1

Florian Hollerweger, dalam disertasi-nya berjudul The Revolution is Hear! Sound Art, the Everyday and Aural Awareness (2011) mengajukan pertanyaan berkaitan dengan dikesampingkannya budaya aural dalam konteks masyarakat Barat. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan budaya aural? Apabila merujuk pada ‘lawan’-nya dalam pemahaman Hollerweger, dalam hal ini budaya visual, budaya aural merupakan pola kebiasaan ataupun perilaku kita yang menekankan persepsi auditori, indera pendengaran, telinga. Ungkapan “seeing is believing” dipercaya menjadi salah satu pemicu lebih dominannya pemahaman serta kajian budaya visual dibanding budaya aural. Meskipun demikian, tulisan ini tidak mempersoalkan indera ataupun budaya mana yang lebih baik atau lebih unggul, karena toh manusia (yang beruntung) memiliki kedua indera tersebut, baik penglihatan maupun pendengaran.

Sebagai pengantar menuju identifikasi adanya kesadaran aural dalam diri seorang manusia, ada baiknya kita kenali terlebih dahulu apa yang selama ini kita pahami sebagai bunyi ataupun suara (kata ‘suara’ lebih identik dengan bebunyian yang dihasilkan makhluk hidup ataupun konotasinya yang cenderung politis). Brandon LaBelle, dalam bukunya Acoustic Territories: Sound Culture and Everyday Life (2010), mengungkapkan:

For what we hear is not mostly what we see, nor can it strictly be pinned down to a given source, or brought into language. Often sound is what lends to directing our visual focus – we hear something and this tells us where to look; it eases around us in a flow of energy to which we unconsciously respond. Sounds are associated with their original source, while also becoming their own thing, separate and constantly blending with other sounds, thereby continually moving in and out of focus and clarity.2

Sifat bunyi yang temporal dan mudah berbaur dengan bunyi lainnya bisa jadi merupakan penyebab kurangnya kesadaran aural dalam diri manusia. Berbeda dengan persepsi kita terhadap objek visual dimana bentuk, warna, ataupun komposisinya tidak berubah, berbaur, ataupun hilang dalam waktu yang singkat. Kemampuan manusia untuk fokus pada apa yang ia dengar menjadi sangat penting dalam kajian budaya aural. Perbedaan aktivitas hearing (mendengar) dan listening (menyimak) seringkali menjadi titik awal kajian-kajian berkaitan dengan bunyi. Pemahaman lebih lanjut berkaitan dengan bunyi dan persepsi auditori perlahan menghasilkan berbagai kombinasi keilmuan yang memperkaya khazanah pengetahuan manusia secara umum.

Sound studies continues to emerge as an expanding discipline involving many concentrations and discourses. From musicology to anthropology, histories of media and cultural practices, to performance and voice studies, the range is dynamic and also highly suggestive.3

Kajian bunyi, khususnya aktivitas artistik sound art dan budaya aural secara umum, seperti yang diungkapkan oleh Brandon LaBelle dalam kutipan di atas, nampaknya perlahan akan menemukan masa dan massa-nya. Yang pasti, budaya aural tentu harus dimulai dari kesadaran individu pada indera pendengarannya, maka, “listen!”

 ____________________________________

  1. Hollerweger, Florian. 2011. “The Revolution is Hear! Sound Art, the Everyday and Aural Awareness ”, Disertasi, halaman 3, School of Music and Sonic Arts, Faculty of Arts, Humanities and Social Sciences, Queen’s University, Belfast.
  2. LaBelle, Brandon. 2010. Acoustic Territories: Sound Culture and Everyday Life, halaman xix. New York: Continuum.
  3. Ibid.

 

 

Bunyi Keseharian

Salon Vol.4 merupakan kelanjutan dari rangkaian pra-event Bandung New Emergence v.6 (BNE6). Setelah sebelumnya mengangkat tema bunyi subversif melalui Salon Vol. 3: An Acousmatic Experience, kali ini perhelatan Salon akan mengangkat tema bunyi keseharian melalui tajuk Salon Vol. 4: Encountering the Everyday. The Everyday, secara umum bermakna ‘sehari-hari’ ataupun ‘keseharian’, namun dalam konteks perhelatan Salon, makna ‘keseharian’ tersebut akan berdampingan dengan persepsi auditori.

It is argued that the development of sound art as an artistic discipline can be characterised in terms of an interest in the everyday as a source of sound material on one, and as an environment for aestheticised listening on the other hand. Sound art is proposed as a means of auralising the rhythms inherent to everyday life, and subtlety is identified as an aesthetic category for doing so.1

Berbeda dengan bunyi subversif yang memancing sensorik manusia karena tekanan ataupun tegangan yang dihasilkannya, bunyi keseharian seringkali ‘dilewatkan’ begitu saja karena ke-‘biasa’-annya. Apa yang menarik dari sesuatu yang dianggap ‘biasa’? Kehidupan keseharian manusia, tanpa disadari, perlahan membentuk karakteristik serta kepribadian manusia itu sendiri. Keseharian merupakan inti dari pembentukan seorang manusia. Sebuah kutipan dari film populer, Batman Begins (2005), sedikit banyak membantu penekanan yang dimaksud penulis, “It’s not who I am underneath… but what I do… that defines me.” Hal ini juga beririsan dengan konsep Dasein atau Being yang diungkapkan oleh seorang filsuf berkebangsaan Jerman, Martin Heidegger dalam bukunya Sein und Zeit (1927), yang diterjemahkan dalam Bahasa Inggris pada tahun 1973 menjadi Being and Time. Julian Young, dalam bukunya The Death of God and the Meaning of Life (2003), memaparkan gagasan Being dalam bab Early Heidegger:

If we really want to understand what a person is, the place to start is with the recognition that a person is essentially an agent, a being that does things, that acts. Moreover, the kind of person you are depends on the kind of acts you perform.2

Aktvitas keseharian manusia merupakan hal yang inti, dan seharusnya menjadi penting, namun seringkali justru menjadi hal yang terabaikan (overlooked) karena aktivitas tersebut bertransformasi menjadi rutinitas (yang mungkin membosankan?). Tema bunyi keseharian berkaitan dengan penekanan pada bebunyian yang kita alami sehari-hari namun seringkali terabaikan. Kita mungkin sama sekali tidak menyadari bahwa selama kita beraktivitas setiap hari, kita mengalami atau mendengar banyak sekali bebunyian. Bunyi televisi yang kita lewati sebelum beranjak dari rumah, bunyi kendaraan yang kita gunakan untuk bepergian sehari-hari, hingga aktivitas perkantoran yang identik dengan bunyi orang mengetik, mesin fotokopi dan printer, serta bunyi langkah kaki bersepatu yang sebenarnya masing-masing memiliki frekuensi berbeda, namun bebunyian tersebut seolah dianggap sebagai bebunyian yang ‘numpang lewat.’

Tema bunyi keseharian dalam Salon Vol. 4 ini diharapkan dapat mempertajam fokus persepsi auditori audiens sehingga gagasan berkaitan dengan kesadaran bunyi dapat perlahan tercapai. Kesadaran bunyi atau aural awareness merupakan indikator penting dalam pengembangan kajian artistik sound art, dan lebih luas lagi, budaya aural.

 __________________________________________

  1. Hollerweger, Florian. 2011. “The Revolution is Hear! Sound Art, the Everyday and Aural Awareness ”, Disertasi, halaman 3, School of Music and Sonic Arts, Faculty of Arts, Humanities and Social Sciences, Queen’s University, Belfast.
  2. Young, Julian. 2003. The Death of God and the Meaning of Life, halaman 109. London: Routledge.

 

(Pengantar untuk Salon Vol. 4: Encountering the Everyday, 7 September 2016, Kopi Selasar, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Indonesia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *