Salon sebagai Bagian dari Perhelatan Bandung New Emergence v.6

Ini merupakan kali ketiga perhelatan Salon digelar setelah sebelumnya Volume 1 diselenggarakan pada tahun 2015 (Platform3) dan Volume 2 di tahun 2016 (Lawangwangi Creative Space). Pada perhelatannya kali ini, Salon Volume 3 hingga Volume 5 nanti, akan diplot sebagai pra-event Bandung New Emergence v.6 (BNE v.6) yang akan digelar di Selasar Sunaryo Art Space akhir tahun ini. Dalam setiap perhelatannya, Salon selalu menghadirkan tema spesifik yang disesuaikan dengan gagasan penampil ataupun karakter venue yang dipilih. Hal ini dimaksudkan untuk memperkaya wacana bunyi dan musik yang ditekankan pada pengalaman serta persepsi ataupun apresiasi audiens.

BNE v.6 sendiri merupakan perhelatan pameran dua tahunan yang diselenggarakan oleh Selasar Sunaryo Art Space:

Bandung New Emergence (BNE) adalah pameran reguler yang digagas dan diselenggarakan oleh Selasar Sunaryo Art Space setiap dua tahun yang bertujuan memetakan perkembangan seni rupa kontemporer di Bandung melalui karya-karya seniman muda. Para seniman yang masuk dalam seleksi kuratorial BNE adalah mereka para seniman muda yang telah menapaki karir sebagai seniman—berkarya, terlibat dalam proyek-proyek seni maupun workshop dan berpameran—minimum sejak dua sampai tiga tahun belakangan.

Pada perhelatannya yang keenam di tahun 2016 ini, BNE menawarkan tema yang spesifik pada medium bunyi atau seringkali disebut sebagai sound art. Untuk mewujudkan gagasan budaya bunyi ataupun budaya aural (perluasan dari bentuk sound art) dalam BNE v.6, penulis, sebagai kurator terpilih, akan menggunakan gagasan Brandon LaBelle dalam bukunya Acoustic Territories: Sound Culture and Everyday Life (2010) sebagai landasan konseptual pameran. LaBelle mengungkapkan bahwa dalam aktivitas keseharian sebuah kota terdapat beberapa pembagian area bunyi seperti underground, home, sidewalk, street, shopping mall, dan sky. Gagasan LaBelle ini kemudian akan disimplifikasi sekaligus dikonversi oleh penulis menjadi tiga area bunyi di Selasar Sunaryo Art Space. Ketiga area ini antara lain Ruang Sayap sebagai area bunyi subversif, Ruang B dan sekitarnya (termasuk Kopi Selasar dan Amphiteater) sebagai area bunyi keseharian, dan Bale Handap (dan sekitarnya) sebagai area bunyi esensial.

Masing-masing area bunyi memiliki karakteristik dan cara apresiasi yang berbeda, oleh karenanya pemahaman terhadap ketiga area ini akan difasilitasi melalui beberapa agenda pra-event BNE v.6, dalam hal ini Salon Volume 3 hingga Volume 5. Perhelatan Salon diperuntukkan bagi publik sekaligus internal calon seniman terpilih BNE v.6 yang didalamnya tidak hanya mencakup aktivitas performans bunyi dan musik, tetapi juga presentasi dan diskusi mengenai tema yang diangkat.

 

Bunyi Subversif

Mengangkat subjudul An Acousmatic Experience, Salon Vol. 3 menawarkan pengalaman baru kepada audiens berkaitan dengan aktivitas acousmatic listening. Kata acousmatic sendiri berasal dari serapan kata dalam bahasa Prancis, acousmatique, yang diambil dari kata akousmatikoi dalam bahasa Yunani. Akousmatikoi (‘akousma’ bermakna ‘sebuah benda atau hal yang terdengar’) merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan pola ajar filsuf Yunani, Pythagoras (570-495 SM), dimana ia menutupi sosoknya dengan menggunakan layar ataupun tirai ketika mengajar murid-muridnya. Hal ini, menurut Pythagoras, dapat membantu tingkat konsentrasi murid-muridnya (tidak terdistraksi visual ataupun gerak sang guru). Istilah ini kemudian diaplikasikan dalam dunia musik oleh komposer Pierre Schaeffer (di awal tahun 1940-an), yang seringkali disebut sebagai pionir salah satu metode komposisi musik electroacoustic, musique concrete.

Pola menyimak yang bersifat acousmatic, dalam kajian Brandon LaBelle melalui bukunya Acoustic Territories: Sound Culture and Everyday Life (2010), merupakan salah satu karakteristik persepsi bunyi di area yang ia sebut underground. Area bunyi underground, dalam pemahaman LaBelle, berisikan bebunyian yang cenderung represif dan misterius. Dalam sejarahnya, menurut LaBelle, area bawah tanah, seperti bunker ataupun subway dalam kehidupan modern, seringkali diidentikan dengan aktivitas yang dilakukan dengan cepat atau segera berlalu (passing by). Dalam konteks politik, LaBelle mengungkapkan bahwa area bawah tanah merupakan area ideal bagi pergerakan-pergerakan yang bersifat subversif.

To enter this topography of auditory life, I start below, within the underground, which is also immediately a set of images: underground passages, caves and tunnels, the subway, subterranean creatures or nocturnal monsters, covert operations and secret clubs, the underground as hold-out against political reality, or the site of resistance, and a vessel for the manufacturing of science fiction fantasies.

– Brandon LaBelle,

Underground: Busking, Acousmatics, and the Echo (2010)

Relasi antara aktivitas acousmatic listening dan area ‘bunyi bawah tanah’ ini menjadi landasan tematik penulis dalam penyelenggaraan Salon Vol. 3. Metode menyimak tanpa adanya bantuan ataupun dorongan untuk mengetahui dan mencari tahu sumber bunyi (acousmatic) merupakan salah satu aspek yang dikembangkan dalam kategori bunyi subversif pada pameran Bandung New Emergence v.6 nanti. Kategori bunyi subversif dapat mencakup bebunyian yang ‘mengintai’, ‘menakutkan’, ‘dicurigai’, hingga ‘membahayakan’. Melalui perhelatan Salon Vol. 3, audiens diharapkan dapat perlahan memahami karakteristik bunyi subversif yang nantinya akan dikembangkan beberapa seniman bunyi dalam BNE v.6.

(Pengantar untuk Salon Vol. 3: An Acousmatic Experience, 24 Agustus 2016, Bale Handap, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Indonesia)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *