Bagaimana seorang manusia yang menciptakan karya seni dapat diakui sebagai seorang seniman? Tentunya merupakan sebuah pertanyaan yang mengandung banyak lapisan interpretasi. Lapisan pertama berkaitan dengan apa yang dimaksud dengan kegiatan menciptakan karya seni? Kemudian, apakah karya seni itu? Untuk menambah kerumitan pertanyaan di awal tadi, apakah yang dimaksud dengan status kesenimanan?

Pertanyaan utama di atas beserta lapisan-lapisan pertanyaan yang mengikutinya merupakan sebuah fitur heterogen yang muncul dalam upaya pemaknaan tekstual. Analisis ini diwakili oleh sebuah kata, différance, yang dikemukakan oleh seorang filsuf Prancis, Jacques Derrida. Kata différance merupakan sebuah kesalahan penulisan dari kata différence dalam Bahasa Prancis (secara fonetik, keduanya berbunyi sama, namun berbeda dalam hal penulisan). Kata différence berasal dari kata différer yang bermakna ganda, sebagai ‘pembeda’ dan ‘penunda.’ Bagi Derrida, différance berarti ‘pembeda dan penunda makna.’ ‘Pembeda’ dalam artian bahwa sebuah kata dapat dimaknai berbeda karena memiliki bentuk, susunan huruf, serta pengucapan yang berbeda. Sementara ‘penunda’ merujuk pada sebuah kata yang baru akan bermakna ketika telah ditambahkan dengan kata yang lain. Perbedaan satu huruf dari kata différance dan différence, bagi Derrida mewakili analisisnya berkaitan dengan dominasi tradisi berbicara ketimbang menulis.

Kata orange dalam Bahasa Inggris pun memiliki makna ganda, sebagai warna dan salah satu jenis buah-buahan. Levi Asher, seorang penulis asal New York, Amerika Serikat, mengungkapkan keterkaitan antara makna ganda dari kata orange dengan filosofi différance milik Derrida melalui tulisannya yang berjudul Philosophy Weekend: Derrida and the Essence of Orange (2013). Selain makna ganda dalam kata orange (‘penunda’, dalam pemahaman différance), kata orange yang berkaitan dengan nama buah-buahan, dalam hal ini jeruk, pun memiliki karakteristik ataupun rasa yang berbeda (‘pembeda’). Jeruk identik dengan rasa masam yang khas, namun makna masam bisa jadi subjektif. Makna masam yang subjektif tentu tidak lantas memunculkan pernyataan mana yang jeruk dan bukan jeruk. Jeruk tetaplah jeruk.

Orange: The Fruition adalah sebuah permainan kata yang terinspirasi oleh gagasan Levi Asher di atas sekaligus sebagai sebuah rangkuman dari proses dialog dan diskusi kekaryaan beberapa perupa muda Bandung yang akhirnya membuahkan hasil (fruition). Pameran ini seolah menggambarkan nilai ‘pembeda dan penunda’ dalam gagasan différance Derrida. Memang tidak sepenuhnya berbeda, karena fokus studi formal yang dijalani perupa-perupa yang terlibat dalam pameran ini masih beririsan dengan seni secara umum. Namun, seringkali muncul pernyataan skeptikal berkaitan dengan reputasi institusi tertentu apabila berbicara perihal pameran seni rupa. Mari sejenak lupakan skeptisisme institusional.

Eksplorasi automatism Harris Mochamad secara visual menghasilkan karya abstrak yang juga dieksplorasi oleh Amalia Nurbayti dan Dian Loeis. Meskipun begitu, ketiganya mengelaborasi gagasan yang berbeda, Harris dengan ‘aktivitas’ ambang sadar-nya, Amalia yang mengungkap kegelisahannya di ranah perasaan antar manusia, dan Dian dengan renungan karakteristik maskulin dan feminin-nya yang cenderung Nietzschean (gagasan Apollonian-Dionysian). Ricky Adlin dan Saiful Imam mengolah medium yang sama, dalam hal ini fotografi. Ricky menganalisis tingkatan sosial dalam entitas manusia Indonesia, khususnya Bandung, sementara Imam berupaya mengidentifikasi aktivitas rupa anak-anak dari keluarga dengan tingkat kesejahteraan yang berbeda. Dua kutub bertolak belakang dihadirkan melalui karya Esa Apriansyah dan Dudi Hanrika. Esa yang memanfaatkan teknik drawing, berada dalam kutub medium tradisional seni rupa dan di kutub lainnya, Dudi dengan eksplorasi medium baru, sound art. Esa menunjukkan ketekunannya mengelaborasi gagasan temporalitas melalui teknik pointilis. Sementara itu, Dudi berupaya menghadirkan pengalaman ketakutan-ketakutan yang cenderung metafisik melalui olah bunyi dan ruang.

Para perupa yang terlibat sepakat menggunakan kata ‘kesenjangan’ sebagai jangkar dari gagasan kekaryaan mereka. Terlepas dari apakah jangkar ‘kesenjangan’ tersebut dapat dihadirkan secara fasih melalui pameran kolektif Orange: The Fruition ini, nilai ‘penunda’ yang dipinjam dari gagasan différance milik Derrida dalam Orange: The Fruition dapat dimaknai sebagai upaya awal sebelum pengakuan kesenimanan disematkan pada perupa-perupa muda Bandung ini.

 

(Pengantar kuratorial untuk ORANGE: The Fruition, 4 – 18 Juni 2016, Titik Temu Creative & Co-Working Space, Bandung, Indonesia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *