Kata ‘temporalitas’ merupakan terjemahan langsung dari kata dalam Bahasa Inggris, ‘temporality.’ Meskipun hanya kata ‘temporal’ yang tersedia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna ‘temporalitas’ kurang lebih mewakili karakteristik dari segala apapun yang berkaitan dengan ‘waktu’ secara umum, dan ‘kesementaraan’ ataupun ‘keduniawian’ dalam khazanah yang lebih filosofis. Dalam wacana filsafat, ‘temporalitas’ menjadi kajian bagi beberapa filsuf Barat seperti Martin Heidegger yang memaknai temporalitas sebagai sebuah proses being (baca: menjadi) dan Friedrich Nietzsche yang menggunakan istilah eternal recurrence (baca: perulangan abadi) untuk memaparkan keterkaitan antara ‘waktu’ yang bersifat tidak terbatas dengan ‘peristiwa’ yang bersifat terbatas.

Perdebatan yang seringkali terjadi dalam wacana sound art secara umum antara lain berkaitan dengan perbandingannya dengan ranah seni musik. Brian Kane dalam esainya berjudul Musicophobia, or Sound Art and the Demands of Art Theory (2013) menyebutkan bahwa beberapa upaya yang telah dilakukan untuk mendefinisikan sound art selalu menempatkan sound art sebagai kutub yang dipertentangkan dengan seni musik. Gagasan tersebut membuat Kane menyematkan istilah musicophobia pada dua teori sound art yang dikemukakan oleh Seth Kim-Cohen (dalam In the Blink of An Ear, 2009) dan Salome Voegelin (dalam Listening to Noise and Silence, 2010).

Apabila ditelaah lebih lanjut, kajian filsafat mengenai ‘temporalitas’ serta kajian teori sound art di atas, sedikit banyak telah menunjukkan keterkaitannya satu sama lain. Sound art serta seni musik erat kaitannya dengan pemahaman ruang dan waktu. Berkaitan dengan waktu, seni musik memiliki karakteristik yang bersifat ‘sementara’ dimana sebuah karya musik memiliki unsur ‘awal’ dan ‘akhir.’ Sebaliknya, karya sound art dipahami sebagai sebuah karya yang menekankan unsur perseptual dimana ‘awal’ dan ‘akhir’ bukanlah titik beratnya. Sound art menekankan unsur ‘pengalaman’ yang bisa jadi bersifat sangat subjektif. Sound art bisa jadi bersifat terus menerus dalam kondisi ‘menjadi’ (being dalam pemahaman Heidegger) dan juga bersifat ‘perulangan’ (eternal recurrence dalam pemahaman Nietzsche).

Berbeda dengan karya instalasi bunyi, performans bunyi tentu dibatasi oleh waktu. Namun, tidak berarti bahwa sebuah karya performans bunyi memiliki konvensi yang identik dengan pertunjukan musik. Keduanya mungkin beririsan dari segi ruang dan waktu namun tetap memiliki identitas serta cara apresiasi yang berbeda.

“An expanded sonic practice would include the spectator, who always carries, as constituent parts of his or her subjectivity, a perspective shaped by social, political, gender, class and racial experience. It would necessarily include consideration of the relationships to and between process and product, the space of production versus the space of reception, the time of making relative to the time of beholding. Then there are history and tradition, the conventions of the site of encounter, the context of performance and audition, the mode of presentation, amplification, recording, reproduction. Nothing is out of bounds. To paraphrase Derrida, there is no extra-music.” (Kim-Cohen, 2009: 107)

Salon yang tengah menjajaki perhelatannya yang kedua ini tidak menekankan pemahaman yang absolut berkaitan dengan sound art maupun seni musik. Salon merupakan sebuah upaya untuk mempertajam serta memperluas cara-cara apresiasi elemen bunyi baik dalam karya sound art maupun seni musik. Selain itu, perhelatan Salon diharapkan dapat memperkaya wacana bunyi dan musik di Indonesia, khususnya di kota Bandung.

(Pengantar diskusi “Space and Temporality” untuk Salon Vol. 2: A Dialogue in Collision, 17 Mei 2016, Lawangwangi Creative Space, Bandung, Indonesia)

One response to “‘Temporalitas’ dalam Bunyi”

  1. Can you be more specific about the content of your article? After reading it, I still have some doubts. Hope you can help me.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *