“… some stories don’t have a clear beginning, middle, and end. Life is about not knowing, having to change, taking the moment and making the best of it, without knowing what’s going to happen next. Delicious Ambiguity.”
– Gilda Radner
Hitam dan putih, keduanya merupakan jenis warna dan sekaligus bukan warna. Dalam teori warna sebagai refleksi cahaya, putih merupakan warna cahaya yang mencakup keseluruhan spektrum warna, sementara hitam merupakan hasil dari ketidakhadiran cahaya itu sendiri. Hal tersebut berkebalikan dengan pemahaman teori warna dalam lingkup seni rupa, dalam hal ini, prinsip-prinsip teori warna yang diduga berasal dari tulisan-tulisan Leone Battista Alberti (sekitar tahun 1435) dan catatan-catatan Leonardo da Vinci (1490). Dalam teori warna ini, warna hitam dapat diperoleh dari pencampuran warna-warna primer, sementara putih berdiri sendiri.
Pemahaman di atas mengandung ambiguitas dan, apabila dikehendaki, mungkin saja melahirkan kompromi. Hitam bercampur dengan putih, dengan intensitas yang sama, akan menghasilkan abu-abu. Abu-abu yang kompromis atau abu-abu yang ambigu. ‘Jalan tengah’ atau ‘titik temu’ merupakan frase yang seringkali digunakan untuk menengahi sebuah kondisi abu-abu. Kondisi yang muncul akibat kehadiran ragam pendapat ataupun gagasan. Dalam lingkup seni rupa, ragam eksplorasi medium telah menghasilkan banyak ‘titik temu’ yang melahirkan pemahaman serta kecenderungan-kecenderungan baru yang memperkaya khazanah seni rupa itu sendiri.
“An art form is a hybrid one in virtue of its development and origin, in virtue of its emergence out of a field of previously existing artistic activities and concerns, two or more of which it in some sense combines… A hybrid art form is an art form with a ‘past,’ and it is its miscegenetic history that makes it hybrid, not just the complex ‘face’ it presents.”
– Jerrold Levinson
Jerrold Levinson, dalam bukunya Music, Art, & Metaphysics: Essays in Philosophical Aesthetics (1990) menggunakan istilah ‘hibrid’ untuk mewakili upaya pendefinisian ‘titik temu’ ini. Gagasan hybrid art Levinson merupakan sebuah bentuk kompromi yang menekankan aspek sejarah, dalam hal ini penggabungan dua bentuk seni, dimana kedua bentuk seni tersebut sebelumnya telah terlebih dahulu disepakati sebagai bentuk seni yang valid. Jacques Ranciere, dalam pemahamannya yang lebih mutakhir, melalui bukunya Aesthetics and Its Discontents (2009), justru memandang ambiguitas, atau dalam istilah yang ia gunakan, the undecidable, sebagai elemen penting yang seringkali muncul dalam pameran-pameran seni di periode kontemporer. Ranciere mengungkapkan bahwa kecenderungan eksplorasi seni yang memainkan unsur the undecidable (efek kebingungan yang diterima audiens ketika mengapresiasi sebuah pameran atau karya seni) sebagai sebuah bentuk seni yang ia sebut critical art. Critical art yang terus menerus berusaha membongkar bentuk-bentuk seni yang telah mapan.
“Art that intends to raise consciousness of the mechanisms of domination in order to turn the spectator into a conscious agent in the transformation of the world.”
– Jacques Ranciere.
Unsur kompromi yang historis dalam gagasan hybrid art Jerrold Levinson seolah dipertemukan dengan unsur ambiguitas dalam pemahaman the undecideable dari teori critical art milik Jacques Ranciere melalui perhelatan perdana Titik Temu. Perpaduan atau sintesis dari kedua pemahaman di atas tentunya akan memperluas kemungkinan-kemungkinan ataupun ragam eksplorasi medium dan gagasan seni, khususnya seni rupa. Perhelatan Titik Temu diharapkan dapat memperkaya atau sedikitnya memberi gambaran mengenai eksplorasi-eksplorasi mutakhir perupa-perupa Bandung yang akan memperkaya khazanah seni rupa Indonesia.
(Pengantar kuratorial untuk TITIK TEMU Creative & Co-Working Space
SOFT OPENING & ART EXHIBITION 13 – 27 Maret 2016, TITIK TEMU Creative & Co-Working Space, Bandung, Indonesia)
Leave a Reply