Kata ‘90an’, seperti halnya ‘80an’, ‘70an’, ‘60an’, dan seterusnya, secara umum dipahami sebagai sebuah bentuk penulisan untuk menyatakan suatu masa atau periode sejarah tertentu yang memiliki rentang waktu kurang lebih satu dekade. Meskipun demikian, kata tersebut bisa jadi bermakna ganda apabila kita memperhatikan penggunaannya dalam percakapan informal sehari-hari, dalam hal ini, penggunaan lainnya sebagai sebuah kata yang menyatakan jumlah. Penggunaan imbuhan ‘-an’ setelah ‘angka’ yang dipahami sebagai sebuah pernyataan yang menunjukkan sebuah perkiraan berkaitan dengan jumlah merupakan sebuah pemahaman yang mendasari lahirnya gagasan ‘Pameran 90an’.
Pameran 90an merupakan sebuah pameran yang diikuti oleh sembilan seniman muda yang berdomisili di kota Bandung. Pameran ini menitikberatkan pada daya tahan (endurance) para seniman yang terlibat untuk mewujudkan masing-masing satu gagasannya ke dalam karya yang berjumlah kurang lebih ‘90an’. Pameran ini memberi tantangan tersendiri bagi para seniman yang terlibat untuk berkarya secara konsisten selama kurang lebih tiga bulan. Selain berkaitan dengan daya tahan seniman, pameran ini juga menuntut masing-masing seniman untuk menentukan sendiri sistem kerjanya, bagaimana strategi masing-masing seniman untuk memenuhi target pameran. Meskipun sekilas pameran ini berkesan ‘hanya’ mengejar jumlah, pada prosesnya, tim kurator secara berkala melakukan kunjungan ke masing-masing studio seniman untuk memantau perkembangan serta memberi evaluasi yang dimaksudkan untuk tetap menjaga kualitas karya para seniman.
David Bayles dan Ted Orland dalam bukunya Art & Fear: Observations on The Perils (and Rewards) of Artmaking, memaparkan bagaimana proses seorang seniman dalam berkarya seni, persoalan serta rintangan apa saja yang dihadapi seniman sebelum akhirnya mulai berkarya. Dalam salah satu pembahasannya, Bayles dan Orland memberi sebuah gambaran yang menekankan bagaimana kuantitas dalam penciptaan karya seni dapat mempengaruhi kualitas karya seorang seniman. Salah satu kasus yang diangkat dalam buku tersebut berupa eksperimen yang dilakukan oleh seorang pengajar keramik dimana pengajar tersebut membagi kelasnya ke dalam dua kelompok, A dan B. Kelompok A diberi tugas untuk membuat pot keramik sebanyak-banyaknya, semakin banyak pot keramik yang mereka buat maka semakin tinggi nilai yang diberikan. Sementara kelompok B diberi tugas untuk fokus pada penciptaan satu pot keramik, nilai yang diberikan murni didasarkan pada penilaian kualitas.
Setelah karya dari kelompok A dan B dikumpulkan, terjadi sebuah hal menarik dimana kelompok A tidak hanya menghasilkan pot keramik dengan jumlah yang lebih banyak namun juga dengan kualitas yang lebih baik dari kelompok B yang hanya fokus pada kualitas satu pot keramik. Sebuah pernyataan kemudian dilontarkan penulis Art & Fear: Observations on The Perils (and Rewards) of Artmaking:
It seems that while the “quantity” group was busily churning out piles of work—and learning from their mistakes—the “quality” group had sat theorizing about perfection, and in the end had little more to show for their efforts than grandiose theories and a pile of dead clay.
Contoh di atas merupakan sebuah gambaran bagaimana kuantitas dapat memberi pengaruh yang signifikan pada kualitas. Pameran 90an yang menitikberatkan pada daya tahan (endurance) seniman, strategi seniman, serta kejaran akhir berupa jumlah karya (quantity) yang mampu dihasilkan, dan tentunya tanpa mengesampingkan kualitas, sedikit banyak beririsan dengan contoh kasus yang dipaparkan dalam buku Art & Fear: Observations on The Perils (and Rewards) of Artmaking.
Dengan meminjam filosofi Martin Heidegger dalam Sein und Zeit (Being and Time), bahwa manusia akan selalu berada dalam kondisi ‘menjadi’ (being), Pameran 90an memberikan sebuah gambaran mengenai proses ‘menjadi’ seniman yang diawali dari proyeksi gagasan hingga strategi serta konsistensi mereka selama proses berkarya untuk mencapai jumlah 90an.
[youtube https://www.youtube.com/watch?v=6OSmXLITVCU]
(Tulisan kuratorial untuk Pameran 90-an 20 Juni 2014, Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Indonesia)
Leave a Reply