Pemanfaatan teknologi internet hari ini (ditambah dengan kemungkinan akselerasi oleh situasi pandemi COVID-19) membawa aktivitas manusia ke dalam pelebaran ruang dan jejaring yang semakin kompleks. Rutinitas keseharian hingga cara kerja dan pola pikir manusia melakukan adaptasi secara terus menerus. Internet menawarkan kemudahan, efisiensi, dan tentunya konsekuensi.

Adaptasi pemanfaatan internet tentu tidak terjadi secara serentak, tetapi bertahap dan melalui ragam percobaan dan iterasi. Dalam ranah artistik, ragam individu, kelompok, hingga institusi berlomba menampilkan pengalaman baru dalam mengapresiasi bentuk-bentuk karya seni. Pameran, pertunjukan, festival, hingga diskusi dan seminar dilakukan secara daring (dalam jaringan). Iterasi atau perulangan yang dilakukan secara bersama-sama untuk membuka alternatif-alternatif terbaik atas segala bentuk upaya artistik yang sebelumnya hampir selalu dilakukan dalam dunia fisik. Iterasi dengan harapan mencapai kesepakatan universal.

Bagaimana dengan karya-karya artistik yang memang sepenuhnya diproduksi atau setidaknya berusaha ditampilkan secara daring? Yang bukan sekadar upaya memindahkan karya fisik ke dalam ruang maya. Diselenggarakan secara daring melalui layar atau gawai yang terkoneksi internet, Universal Iteration berupaya menampilkan spektrum karya-karya seni media yang tidak hanya mengangkat ragam isu dan narasi, tetapi juga memantik pembicaraan terkait teknologi dan kesadaran internet itu sendiri.

Blanco Benz Atelier

Sebuah upaya spekulatif dalam bentuk kombinasi antara masa lalu dan kemungkinan masa depan. Gagasan futurisme historis yang diangkat oleh Blanco Benz Atelier diolah dalam lingkup sejarah dan masa depan kebudayaan Indonesia. Dalam karya ini, kolektif Blanco Benz Atelier mengeksplorasi karya berbasis digital yang berkembang beriringan dengan interaksi pengunjung. Blanco Benz Atelier juga mengolah salah satu metode dan sistem pertukaran nilai yang tertua: sistem barter. Artefak digital dalam bentuk ketopong sultan Kerajaan Kutai yang dikombinasikan dengan langgam-langgam modern kemudian ‘dilelang.’ Pengunjung bisa melakukan upaya akuisisi dengan cara mengajukan objek atau benda-benda fisik miliknya yang dirasa memiliki nilai yang sama dengan karya bertajuk Ketopong Sultan ini.

Karya Blanco Benz Atelier tidak hanya menyoroti fenomena terkini perkembangan teknologi digital, tetapi juga berupaya melontarkan pertanyaan dan kritik terhadap perkembangan tersebut. Masa lalu tidak hanya dijadikan sebagai bentuk refleksi dan referensi, melainkan juga sebagai jangkar spekulasi masa depan yang dibayangkan dan ditawarkan oleh Blanco Benz Atelier.

Bentuk Ketopong Sultan akan berkembang mengikuti interaksi yang dilakukan pengunjung. Silakan merespons dengan emoticon dan turut serta dalam sistem barter karya ini. Pemenang barter akan dihubungi oleh panitia kemudian.

Natasha Tontey

Karya ini diperuntukkan bagi pengunjung berumur 21+. Untuk mendapatkan pengalaman terbaik, disarankan untuk mengakses melalui desktop.

Isu manusia yang menganggap dirinya sebagai pusat menjadi penekanan dalam karya Natasha Tontey bertajuk Hama Memberkati/Pest to Power. Natasha menghadirkan kecoa-kecoa yang berinteraksi sekaligus mempelajari manusia sebagai representasi atas gagasan spekulatif terkait masa depan relasi antroposentrisme dengan lingkungan. Kecoa, yang dalam bahasa sang seniman dianggap sebagai makhluk marjinal atau periferal apabila ditempatkan pada isu gaya hidup bersih manusia yang kapitalistik, menjadi hama yang justru lebih unggul dalam hal keberlangsungan hidup. Apakah isu keberlangsungan hidup dan lingkungan justru dapat dipelajari oleh manusia dari kecoa? Secara luas, karya Pest to Power membuat kita berpikir ulang terkait hubungan antara manusia dan non-manusia. Berapa lama lagi era manusia?

Farhanaz Rupaidha

Dipresentasikan dalam dua ruang vitual berbeda, Bayang merupakan penggambaran jukstaposisi antara kenyataan dan representasi ideal atas sebuah ekosistem. Karya Farhanaz Rupaidha menghadirkan hasil observasi atas kondisi lingkungan di sekitar tempat tinggalnya. Perkembangan teknologi tidak sepenuhnya tersebar merata di segala penjuru, begitu pun cara-cara tradisional dalam berinteraksi dan mengolah hasil alam juga tidak sepenuhnya ditinggalkan. Teknologi dan tradisi, keduanya sama-sama mampu memberi solusi bagi permasalahan-permasalahan lingkungan dan sosial. Melalui pengamatan langsung di perkampungan danau Setu Patok, khususnya Dusun Karang Dawa, Farhanaz tertarik dengan aktivitas yang dilakukan oleh Sekolah Alam Wangsakerta. Aktivitas sekolah tersebut memicu imajinasi-imajinasi spekulatif Farhanaz yang diwujudkan dalam dua seri karya Bayang.

Pengunjung dapat berkeliling sesuka hati dan turut melakukan observasi di ruang virtual olahan Farhanaz dengan mengetuk tombol unduh. Pastikan koneksi internet stabil. Program yang sudah diunduh kemudian dipasang di perangkat komputer atau laptop masing-masing pengunjung.

Karya Bayang dibatasi sebanyak 50 unduhan di masing-masing seri karya yang akan ditampilkan secara berkala. Data-data pribadi yang dikirimkan hanya untuk kebutuhan pengunduhan karya dan tidak akan disalahgunakan.

Riar Rizaldi

Melalui sorotannya pada perkembangan film horor Indonesia, Riar Rizaldi mengajukan pernyataan dan pertanyaan yang saling terkait. Mulai dari jejak-jejak mengalami realitas dalam layar yang merebak ke kehidupan sehari-hari, perbandingan konstruksi imaji mistisisme rural dan kemodernan wilayah urban, aspek subversif film horor terhadap kuasa Orde Baru, hingga gelombang desentralisasi melalui fenomena distribusi dan konsumsi sinema dalam format VCD dan studi kasus munculnya produksi film-film vernakular.

Dalam Ghost Like Us yang berdurasi kurang lebih 20 menit, nuansa mistik dalam penggambaran hantu-hantu ‘yang mengganggu’ merupakan sebuah alternatif penaklukan kuasa dan pusat. Bagaimana film-film horor Indonesia yang diproduksi dalam dekade-dekade berbeda tidak hanya merepresentasikan perkembangan artistik dan teknologi media gambar bergerak, tetapi juga menandai pergeseran-pergeseran pemikiran dan situasi sosial politik. Ghost Like Us menjadi semacam jembatan dalam menelusuri isu represi dan demokrasi, cara pandang pusat dan yang periferal, hingga perihal distribusi dan jejaring.

Apakah teknologi media adalah jawaban atas upaya menjembatani ragam kesadaran terhadap realitas yang terlihat dan tak terlihat?

Karya Ghost Like Us merupakan karya komisi dari Asian Film Archive.

HONF X ITTP (House of Natural Fiber X Institut Teknologi Telkom Purwokerto)

Manusia bukan penghuni tunggal di Bumi, dan jelas bukan satu-satunya makhluk hidup yang boleh memanfaatkan segala kekayaan alam. Premis tersebut menjadi tekanan utama dalam pembangunan gagasan karya bertajuk The Ungovernables Structure. Karya mutakhir kolektif House of Natural Fiber (HONF) yang berkolaborasi dengan Fakultas Rekayasa Industri dan Desain, Institut Teknologi Telkom (ITT) Purwokerto. The Ungovernables Structure adalah sebuah rancangan arsitektur yang mampu menopang ekosistem buatan yang terdiri atas miselium, sianobakteria, alga, dan lumut. Melalui karya ini, HONF dan ITT mengimajinasikan produksi struktur bangunan-bangunan di masa depan yang fungsinya tidak hanya berpusat pada manusia, tetapi juga makhluk hidup lainnya.

Instalasi The Ungovernables Structure dipresentasikan dalam format dokumentasi video yang memungkinkan pengunjung untuk dapat menelusuri detail-detail struktur hingga kehidupan makhluk hidup yang tumbuh di sekitarnya.

F.O.L.T.

Melengkapi instalasi The Ungovernables Structure, HONF tampil dalam sebuah performans bertajuk F.O.L.T. (Freedom of Living Things). Pertunjukan olah bunyi yang dihasilkan dari kombinasi antara aktivitas merangkai komponen elektronik pada tubuh manusia serta interaksinya dengan ragam organisme. Selaras dengan gagasan The Ungovernables Structure yang mempertanyakan dominasi satu makhluk hidup, dalam hal ini manusia, terhadap kehidupan makhluk lainnya di bumi. F.O.L.T. adalah kebisingan sekaligus teriakan bagi siapapun yang berpikir bahwa ekosistem bumi hanya diisi oleh dua entitas: manusia dan non-manusia.

Bandu Darmawan

Penggambaran satu siklus kehidupan dalam waktu tertentu. Budi & Daya merupakan tawaran Bandu Darmawan dalam merespons teknologi hari ini melalui observasi pertumbuhan organisme secara real-time. Aktivitas budi daya dalam instalasi Budi & Daya menekankan bagaimana manusia mencerap waktu dan tempat secara virtual, dalam hal ini dengan memanfaatkan media kamera yang terhubung dengan internet. Penonton akan diajak untuk memikirkan kembali waktu dan tempat di mana ia berada ketika memantau perkembangan karya Budi & Daya selama kurang lebih 3 minggu penayangan.

Sebuah manifestasi akal dan usaha, Budi & Daya memicu pemaknaan ulang atas upaya mengalami waktu dan tempat. Dua unsur yang seolah dapat dibuat lebih rapat atau renggang melalui pengembangan teknologi berjejaring hari ini.

Mira Rizki Kurnia

Menggubah bunyi-bunyi keseharian. Kondisi pandemi memaksa Mira Rizki Kurnia untuk lebih banyak berdiam diri di rumah dan mengurangi aktivitas-aktivitas sosial di luar. Kondisi isolasi memicu Mira untuk menelusuri dan menyimak ragam bebunyian dari objek serta aktivitas di sekitar ruang personalnya (yang terdengar sangat halus atau seringkali terabaikan). Bebunyian halus atau cenderung samar tersebut kemudian ia rekam satu per satu. Mengalami dan mengolah bebunyian dari objek-objek dan aktivitas keseharian ia tuangkan ke dalam karya berbasis website dengan laman yang putih bersih. Dalam karya Whitepage 2.0, pengunjung bisa menjelajah bebunyian yang direkam sang seniman sekaligus menggubahnya menjadi komposisi selayaknya musique concrete. Pengunjung juga dimungkinkan untuk merekam dan membagikan hasil gubahannya melalui laman karya Mira di Universal Iteration.

Melalui Whitepage 2.0, Mira Rizki Kurnia berargumen bahwa kondisi isolasi tidak selamanya terasa begitu sunyi, isolasi bisa berarti eksplorasi dan partisipasi.

Tromarama

Teknologi internet, khususnya pemanfaatan media sosial, memicu akselerasi aktivitas dalam jaringan dan sebaliknya meminimalisasi aktivitas di luar jaringan. Secara sadar atau tidak, berselancar dalam lautan media sosial meningkatkan permintaan serta konsumsi teks dan visual dalam layar. Aktivitas fisik seperti bertemu rekan kerja dan lingkaran terdekat, menikmati pemandangan alam, hingga (mungkin saja) berolah raga seolah-olah dapat diwakili dengan aktivitas mata dan jari di atas gawai pintar. Ilusi aktivitas fisik dalam layar menjadi salah satu ketertarikan Tromarama yang diwujudkan dalam karya bertajuk Median.

Median mengetengahkan aktivitas skipping dalam sebuah ruang virtual. Bagi Tromarama, skipping menjadi aktivitas olah tubuh sederhana yang biasa dilakukan sehari-hari, terutama di periode pembatasan sosial hari ini. Merespons perhelatan Universal Iteration yang menekankan presentasi dalam layar dan dalam jaringan, Median menjadi representasi atas aktivitas fisik dalam ruang virtual. Pengunjung ditempatkan di area median dari dua sumbu yang membentuk sebuah ilusi ruang.

Karya Tromarama merupakan karya terakhir yang dipresentasikan dalam perhelatan Universal Iteration di tahun 2021. Pengunjung dapat menelusuri apa yang dimaksud dengan ilusi aktivitas dan ruang fisik melalui Median yang hadir dalam format video 360 derajat.

(Pengantar kuratorial untuk Pameran Seni Media Berkala dalam Jaringan Universal Iteration,  22 Mei – 6 November 2021, https://galeri.salihara.org)