Dalam kurun waktu lima hingga enam dekade, karya-karya yang memanfaatkan teknologi media informasi terus mengalami perkembangan. Dimulai dari perkembangan fotografi, film, dan video, hingga pemanfaatan teknologi terkini seperti internet, kecerdasan buatan (AI) dan realitas berimbuh (AR). Berbeda dengan periode 1960-an ketika karya instalasi atau pun istilah intermedia mulai populer, saat ini istilah seni media (media art) atau bahkan seni media baru (new media art) sudah semakin memunculkan eksistensinya. Dalam menelusuri perkembangan seni media hari ini, pengalaman berinteraksi dengan layar menjadi salah satu fenomena terkini yang semakin intens dicermati.

Mencermati serta memikirkan kembali pemahaman terhadap interaksi sosial dan pengalaman layar menjadi dua hal intensif yang terjadi dalam kurun waktu sembilan bulan terakhir ini. Lingkaran sosial setiap individu diperluas sekaligus didekatkan, meskipun acapkali terasa berjarak juga. Eksplorasi artistik seni media tidak bisa dilepaskan dari fenomena interaksi manusia dengan layar serta ragam lapisan citraan buatan (proyeksi, bayangan, hingga yang terkini berupa realitas maya dan realitas berimbuh).

PANCARAN CITRA LOKAL merupakan perhelatan yang berupaya mempresentasikan ragam olah seni media baru yang merespons gagasan interaksi, layar, dan citraan. Sebagai bagian dari rangkaian acara FILM MEGA EVENT: INDONESIA BERCERITA, pameran PANCARAN CITRA LOKAL juga menghadirkan presentasi seniman-seniman media yang merenungkan kembali sejarah dan ragam perkembangan karya film tanah air untuk dielaborasi menjadi sebuah gagasan apresiatif, referensial, dan interaktif.

Sebagai salah satu bentuk perkembangan awal teknologi media, film juga tentunya memiliki irisan yang kuat dengan perkembangan seni media. Tidak jarang, banyak seniman yang memanfaatkan teknologi, karya, hingga lingkup industri film sebagai acuan berkarya. Berkaitan dengan kondisi hari ini ketika ruang gerak manusia dibatasi, isu lokal atau kelokalan seringkali muncul ke permukaan. Karya film sudah banyak mengangkat kisah, tokoh, hingga kebudayaan-kebudayaan lokal tertentu. Dalam perkembangannya, sosok-sosok hingga kebudayaan yang hadir melalui karya-karya film Nusantara sedikit banyak mempengaruhi cara hidup serta pola perilaku masyarakat Indonesia. Memahami kelokalan dalam ranah artistik film menghasilkan pemikiran yang bersifat dua arah. Film tidak hanya bekerja sebagai produk budaya populer, tetapi juga unsur penting penggerak kebudayaan.

Film-film nasional memiliki spektrum yang beragam, mulai dari rangkaian film-film kolosal, komedi, legenda nusantara, dokumenter, drama hingga film bernuansa horor dan misteri dengan berakar pada nilai-nilai lokal. Spektrum yang luas ini hadir sebagai bentuk adaptasi film dengan budaya tutur yang mengakar di Indonesia. 

Kehadiran medium dan teknologi film/media di Indonesia memiliki asal-usul yang berbeda dengan negara lain. Ia didatangkan dari tempat yang nun jauh bersamaan dengan arus modernitas pada era kolonial, bukan suatu produk budaya yang tumbuh dari akar tradisi. Namun, hal itulah yang kemudian membuat para pelaku memiliki peluang untuk lebih subyektif dalam memahami film dan teknologinya untuk diakulturasikan dengan kearifan lokal, alih-alih mengacu pada kanonisasi yang ada di Barat.

Seturut D.A Peransi (tokoh film dan seni rupa Indonesia) menulis bahwa ‘Kami, yang datang dari sebelah selatan khatulistiwa, yang dikenal dengan nama dunia ketiga, itu sama sekali tidak mempunyai perasaan minder. Keterbelakangan kita justru merupakan suatu privilege (hak istimewa), sebab kita masih mungkin menempuh jalan-jalan yang tidak ditempuh oleh Eropa”. Usaha-usaha untuk memahami kekhasan dan keragaman sejarah film Indonesia inilah yang diartikulasikan pada karya-karya seniman di sini, lewat penggunaan teknologi media, dari yang analog hingga digital. 

Dorongan optimis dan kritis melalui karya Agkya Smara (sanskrit)/Digital Memory. Agung ‘Agugn’ Prabowo bicara tentang interaksi dengan layar yang memicu leburnya identitas antara diri penonton di dunia nyata dan di dunia maya dalam layar di hadapannya, ataupun ruang instalasi di mana ia berada. Dyantini Adeline berupaya menciptakan relasi aktivitas serta material yang seringkali dilakukan dan digunakan dalam periode pandemi hari ini. Karya Celluloid 19 merupakan representasi upaya-upaya manusia dalam menghadapi bencana virus yang diaplikasikan melalui eksplorasi artistik dengan memanfaatkan medium seluloid film, baik sebagai medium berbasis waktu dan juga proses praktik ‘pencucian’nya yang menggunakan berbagai bahan kimia ‘penangkal’ virus. Endira F. Julianda mempertanyakan kembali interaksi mutualisme antara manusia dan alamnya ketika dihadapkan pada pengalaman layar. Melalui karya bertajuk I Love the Blue of, Endira mengelaborasi citraan-citraan pemandangan alam yang diperoleh melalui potongan film-film tanah air untuk kemudian dipertemukan dengan respons pengunjung ataupun penonton karyanya. Sinematika Jeffi Manzani mengkritisi distribusi informasi yang ditawarkan oleh medium televisi yang ‘satu arah.’ Melalui karyanya, Jeffi berupaya memunculkan kegamangan serta distorsi informasi yang berpotensi diterima oleh penonton.

Digitisasi arsip-arsip sejarah dianggap sebagai sebuah aktivitas penting dalam melestarikan ingatan bangsa sekaligus melahirkan upaya-upaya yang bersifat edukasi. Melalui Archiving the Dots Anomaly, Muhamad Hafiz Maha menelusuri data-data digital milik Sinematek dan Museum Nasional mengenai arca untuk kemudian dihadirkan kembali melalui teknologi-teknologi terkini seperti cetak trimatra, kecerdasan buatan hingga aplikasi. Rekoleksi memori juga hadir pada karya MG Pringgotono, Kurikulum Berbasis Tontonan, di mana seniman menarasikan ‘kurikulum’ pendidikan lain yang terbentuk dari budaya menonton. Lewat sebuah pengembangan wayang, salah satu bentuk tontonan yang paling tua di Indonesia, MG mengelaborasi bagaimana tontonan membentuk perilaku dan pola pikir manusia.

Menelusuri medium secara spesifik menjadi salah satu ketertarikan seniman media ketika dihadapkan pada pertanyaan esensi teknologi media yang diolahnya. Ricky Janitra dalam Square Disintegrated (remake) melakukan penelusuran tersebut untuk menafsirkan kembali konstruksi bahasa sinema, utamanya bagaimana representasi ibukota hadir pada film di masa Orde Baru. Perkembangan teknologi saat ini memungkinkan ragam upaya mencari pengakuan ataupun popularitas dengan sangat instan. Karya (Bukan) Artis milik Yovista Ahtajida menajamkan fenomena tersebut melalui olahan teknologi realitas berimbuh atau augmented reality (AR) sembari menanyakan ulang apa itu realitas. 

Melalui sebuah perhelatan seni media yang berjangkar pada gagasan perkembangan seni media, interaksi sosial dan pengalaman layar, hingga referensi film-film nasional, seni media setidaknya bergerak ke belakang (historis dan referensial) untuk maju (visi dan teknologi media serta perilaku dan interaksi yang dihasilkannya). PANCARAN CITRA LOKAL dapat dijadikan sebagai sebuah cerminan perkembangan gagasan dan olahan artistik dalam lini masa film Indonesia sekaligus gambaran bagaimana seni media baru Indonesia menampakkan wajahnya hari ini.

Bob Edrian & Gesyada Siregar

(Pengantar kuratorial untuk Pameran Seni Media Baru Pancaran Citra Lokal,  28 November – 13 Desember 2020, Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung)