What seems to us as bitter trials are often blessings in disguise.
– Oscar Wilde
Tidak sedikit manusia yang berpikir bahwa segala bentuk kenakalan, atau perilaku-perilaku yang tidak sesuai norma, akan berujung pada terbangunnya pribadi/identitas yang buruk. Tuduhan-tuduhan buruk terkait dengan masa depan seseorang akan begitu saja diluncurkan seketika melihat terjadinya perbuatan buruk di hari ini atau masa lalu. Setidaknya seperti itulah pemahaman umum dalam masyarakat yang sebenarnya juga merupakan konstruksi pihak-pihak kuasa dalam institusi tertentu. Sebut saja keluarga, negara, hingga agama.
Sejak kecil, manusia hampir selalu diajarkan untuk menjalani hidup dalam lingkaran norma dan aturan tertentu dengan harapan tidak menjadi manusia dewasa yang ‘buruk.’ Hal tersebut sedikit banyak memicu lahirnya sosok-sosok stereotip manusia ‘lurus.’ Namun, memasuki periode internet saat ini, perkembangan media sosial telah banyak melahirkan imaji-imaji akan manusia ideal yang sebagian besar justru mengutamakan aspek keunikan tertentu. Melalui unggahan foto atau avatar, setiap individu berupaya mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan maya dengan harapan menghasilkan penilaian semu terhadap dirinya di dunia nyata. Ragam teknologi media dan aplikasi gawai pintar dikerahkan demi menghasilkan imaji sempurna sang pengguna media sosial melalui foto dan gambar bergerak.
Perihal norma dan keunikan selalu menghasilkan tegangan yang beragam. Di satu sisi, norma mengharapkan pribadi yang tunduk pada dirinya, namun di sisi lain, dorongan untuk menjadi unik terkadang mengharuskan seseorang untuk melampaui, atau sekadar sedikit melewati, norma atau standar nilai tertentu. Melalui karya-karyanya yang menitikberatkan pada imajinasi budaya populer, Tennessee Caroline mengangkat gagasan yang berkaitan dengan tegangan norma dan keunikan serta anak kecil dan kenakalan-kenakalan tertentu. Aspek norma atau aturan tidak hanya dimunculkan melalui pemahaman masyarakat terhadap pola perilaku tetapi juga melalui eksplorasi cerita-cerita fiksi populer, dalam hal ini film kartun dan animasi.
Fiksi populer seperti Cinderella hingga film animasi Brave, yang dalam hal ini telah diketahui ceritanya dan mungkin saja kemudian menjadi norma, seolah dibongkar dan disusun kembali oleh kenakalan-kenakalan anak perempuan yang diciptakan Tennessee. Segala bentuk kebaikan dan keanggunan karakter-karakter fiksi populer pilihan Tennesse kemudian dibuat ‘unik’ melalui ragam perilaku yang seringkali dihindari: keangkuhan, ketamakan, dan lain-lain. Bentuk-bentuk apropriasi dalam karya seni memang seringkali berupaya menghadirkan aspek sinisme yang cukup ekstrim. Meskipun begitu, yang menarik dalam kekaryaan Tennessee bertajuk A Blessing in Disguise ini adalah adanya penekanan khusus terhadap karakter anak perempuan. Di satu sisi, hal tersebut akan menjebak penonton pada pemahaman akan gagasan-gagasan di wilayah gender, namun di sisi lain, munculnya karakter perempuan dapat dimaknai sebagai proyeksi diri sang seniman.
Perlu dipahami bahwa negara ini masih didominasi oleh sistem patriarki yang tentunya berimplikasi pada tekanan-tekanan norma terhadap perempuan. Akan menjadi sajian menarik ketika Tennessee kemudian mengangkat ragam fiksi populer melalui pengejawantahan sosok anak perempuan namun dalam olahan-olahan visual yang tidak sepenuhnya mengangkat isu gender negeri ini. Bisa jadi kehadiran sosok anak perempuan merupakan proyeksi diri sang seniman ketika menjalani masa kecilnya yang ditemani oleh ragam fiksi populer. Atau lebih jauh lagi, Tennessee mungkin saja memiliki pandangan dan visi tertentu terkait kenakalan/keunikan dalam diri anak perempuan sebagai sesuatu yang akan disyukuri sebagai kebebasan di masa depan. A Blessing in Disguise.
(Pengantar kuratorial untuk pameran A Blessing in Disguise, 3 – 17 November 2018, SemAta Gallery, Bandung, Indonesia)