Sound Art

In New York, as well as Stockholm, London, Milan, Kobe, Melbourne and Delhi,

art centers known as “alternative spaces” emerged

and for decades have supported

the evolving

sonic arts,

“Sound art is a global phenomenon.”

 

Barbara London

(“The Power of Sound as an Art Form”, Ella Delaney, The New York Times, 3 Oktober 2013)

 

1      Introduksi

Istilah sound art bukanlah istilah yang benar-benar baru karena penggunaannya sebenarnya sudah dimulai sekitar 20 tahun yang lalu. Alan Licht, seorang komposer sekaligus penulis asal Amerika Serikat, cukup berjasa dalam perkembangan kajian sound art dengan menerbitkan sebuah buku berjudul Sound Art: Beyond Music, Between Categories pada tahun 2007. Buku ini dianggap cukup terstruktur dalam hal pengarsipan karya-karya seni yang mengandung eksplorasi bebunyian. Berkaitan dengan terminologi sound art, dalam tulisannya untuk jurnal Organised Sound (Cambridge University, 2009) berjudul Sound Art: Origins, development, and ambiguities, Licht mengungkapkan, “The term itself dates back to William Hellermann’s SoundArt Foundation, founded in the late 1970s, which produced a 1983 exhibition at the Sculpture Center in New York, Sound/Art.”1 Ia kemudian menyebut tiga pameran sound art yang dianggap signifikan pada periode pertengahan hingga akhir 1990-an, sebuah periode dimana istilah sound art mulai banyak digunakan:

It gained currency in the mid- to late 1990s, when I first heard it, starting perhaps with the first Sonambiente festival in 1996, culminating in three important shows in the year 2000: Sonic Boom: The Art of Sound, curated by Toop at the Hayward Gallery in London; Volume: A Bed of Sound, curated by Elliott Sharp and Alanna Heiss at PS1, New York; and I Am Sitting In A Room: Sound Works by American Artists 1950–2000, curated by Stephen Vitiello as part of the American Century exhibition, Whitney Museum, New York.”2

Beranjak dari persoalan istilah, apakah sebenarnya sound art? Para penulis sound art berusaha mendefinisikan medium artistik ini melalui aktivitas-aktivitas gerakan Futuris Italia, Dada, hingga Fluxus. Keseluruhan gerakan tersebut seringkali digunakan sebagai rujukan sejarah eksplorasi elemen bunyi dalam seni. Sound art merupakan sebuah wilayah eksplorasi serta apresiasi elemen bunyi dalam seni yang memiliki spektrum sejarah serta pemahaman yang kompleks (baca: bersifat hibrid dan interdisiplin). Kategorisasi serta presentasi karya sound art dapat meliputi pencampuran berbagai medium seni ataupun disiplin (tentu dengan penekanan pada elemen bunyi), contohnya instalasi bunyi, performans bunyi, soundwalk, hingga bunyi konseptual. Namun, bagaimanapun rumitnya upaya pendefinisian yang mengarah pada pemahaman sound art, medium ini perlahan menjadi fenomena yang bersifat global.

2      Musik dan Bukan Musik

“Over the past half-century, a new audio culture has emerged, a culture of musicians, composers, sound artists, scholars, and listeners attentive to sonic substance, the act of listening, and the creative possibilities of sound recording, playback, and transmission. This culture of the ear has become particularly prominent in the past decade, as evidenced by a constellation of events.”

Cristoph Cox & Daniel Warner (2004)3

Pernyataan di atas merupakan kutipan dari bagian pembuka buku berjudul Audio Culture: Readings in Modern Music (2004), sebuah buku kumpulan tulisan yang berupaya mendedahkan peta perkembangan musik saat ini. Upaya tersebut dilakukan melalui analisis terhadap teks-teks yang tidak hanya berkaitan dengan musik, tetapi juga perihal bunyi dan perkembangan teknologi audio. Cristoph Cox dan Daniel Warner, sebagai penyunting buku, mengungkapkan istilah the new audio culture sebagai sebuah babak baru kebudayaan aural terkait dengan eksplorasi musik, kemajuan teknologi, dan upaya saling silang antar disiplin yang mengolah bebunyian. Musik nampaknya selalu menjadi kata pertama yang muncul ketika kita berbicara soal bebunyian. Namun, memasuki setidaknya periode awal 1990-an hingga saat ini, bebunyian tidak hanya menjadi elemen eksplorasi musisi dan komponis. Ranah seni rupa, arsitektur, hingga keilmuan fisika juga telah melahirkan banyak sound artist atau peseni bunyi (merujuk pada istilah yang digunakan kurator dan kritikus seni Hendro Wiyanto dalam tulisannya untuk Good Morning: City Noise!!! Sound Art Project di Galeri Soemardja pada tahun 2007 berjudul Perkara Suara: Selamat Pagi, Seni Bunyi…).4 Perhatikan bagaimana kolaborasi antara Chris Henschke asal Australia yang dengan rekannya yang merupakan seorang fisikawan di University of Melbourne, Mark Boland, mampu menghasilkan karya instalasi bunyi berjudul Song of the Phenomena (2016).5 Dalam kasus yang beririsan dengan seni musik, seorang komponis dan peseni bunyi asal Amerika Serikat, Ethan Rose, memperoleh penghargaan Honorary Mention dalam perhelatan Sonic Arts Award 2013 di Roma, Italia, melalui karyanya berjudul Reflection (2013).6 Karya tersebut mengolah gagasan frekuensi dan waktu yang kemudian mempengaruhi pemahaman terhadap aspek spasial sebuah ruangan. Contoh lainnya yang lebih populer, Carlsten Nicolai, seorang seniman asal Jerman yang juga memainkan musik elektronik dengan nama Alva Noto, yang kemudian disebut sebagai Physicist of Sound oleh media seni dan budaya milik Vice Media, The Creators Project (Amerika Serikat).7

Dalam pemahaman awam, bunyi setidaknya hanya dipahami dalam dua kategori: musik dan bukan musik. Hal tersebut setidaknya diungkapkan dalam buku berjudul Corat-coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini (2003) yang ditulis oleh Suka Hardjana:

Semua orang tahu musik. Itu kenyataan. Tetapi apakah semua orang tahu tentang musik? Ini sebuah pertanyaan – yang tidak begitu saja gampang menjawabnya. Di mana pun dan siapa pun dia – sejauh orang itu normal – orang akan segera tahu membedakan mana musik dan mana bukan musik.8

Meskipun begitu, ranah musik, atau musikologi lebih tepatnya, sebenarnya mengenal istilah ekstra-musikal yang maknanya tidak sekadar ‘bukan musik.’ Segala hal yang berkaitan dengan konteks (non-elemen musik) musik lazim disebut sebagai ekstra-musikal.9 Atau dalam pemahaman Seth Kim-Cohen yang cenderung negatif dalam bukunya In the Blink of An Ear: Toward A Non-Cochlear Sonic Art (2009):

Music has always functioned according to Greenbergian precepts. As a practice, music is positively obsessed with its media specificity. Only music includes, as part of its discursive vocabulary, a term for the foreign matter threatening always to infect it: “the extramusical.”10

Fakta bahwa ranah seni musik, dan bahkan istilah ekstra-musikal, tidak mampu mewadahi aktivitas maupun eksplorasi bebunyian di luar kaidah-kaidah musik sudah seharusnya mendorong lahirnya istilah lain yang mampu mewakili fenomena eksplorasi bebunyian yang, sebut saja ‘bukan musik.’

3      Dari Musik ke Bunyi

“If there are answers to the question of how music will be performed, enacted or experienced in the 21st Century, then some of them will be discovered in the past and future of sound art.”

David Toop (2002)11

Cristoph Cox, dalam tulisannya pada tahun 2006 berjudul From Music to Sound: Being as Time in the Sonic Arts (tulisan ini diterbitkan kembali dalam buku kumpulan tulisan berjudul SOUND pada tahun 2011 yang disunting oleh Caleb Kelly), mencermati fenomena pergeseran ketertarikan dari musik ke wilayah bebunyian yang lebih luas melalui perhelatan yang diselenggarakan di The Kitchen, New York, pada tahun 1979. Pada saat itu, The Kitchen yang merupakan pusat bagi perkembangan seni eksperimental di New York, menyelenggarakan sebuah perhelatan bertajuk New Music, New York. Perhelatan selama satu minggu ini melibatkan pertunjukan dari Philip Glass, Meredith Monk, Tony Conrad, George Lewis, Michael Nyman, dan lain-lain, yang kemudian menandai kemunculan musik minimalis dan eksperimental. Pada tahun 2004, The Kitchen bersama institusi seni asal New York lainnya kemudian menyelenggarakan perayaan 25 tahun pasca New Music, New York, kali ini bertajuk New Sound, New York. New Sound, New York dideskripsikan sebagai:

a citywide festival of performances, installations, and public dialogues featuring new works by sound artists who are exploring fresh connections among music, architecture, and the visual arts.12

Menurut Cristoph Cox, fenomena ini menandai adanya pergeseran ketertarikan kultural dari musik ke bunyi dalam kurun waktu seperempat abad terakhir. Ia kemudian mengungkapkan:

Not only has ‘sound art’ become a prominent field of practice and exhibition, embraced by museums and galleries across the globe, the academy has also witnessed an explosion of interest in auditory history and anthropology led by social scientists who have turned their attention to sound as a marker of temporal and cultural difference.13

Begitu pun di ranah musik ketika komponis, produser, dan musisi improvisasi semakin tertarik dengan wilayah bebunyian yang lebih luas, yang terkadang menjadi lawan bagi definisi musik itu sendiri: noise, sunyi (silence), dan bebunyian non-musikal14. Cristoph Cox juga mengungkapkan sebuah pemikiran yang (mungkin) dapat memicu perdebatan, namun sebenarnya cukup jelas:

It is common to think of music as a subcategory of sound. According to this view, sound encompasses the entire domain of auditory phenomena, while music is a narrower domain delimited by some selection and organization of sounds.15

4      Sound Art sebagai Bentuk Ekspansi Eksplorasi Bebunyian

Bukan perkara sederhana menentukan istilah yang tepat bagi sebuah aktivitas yang komponen utamanya beririsan dengan ranah yang memiliki sejarah berabad-abad lamanya. Brian Kane, dalam sebuah artikel berjudul Musicophobia, or Sound Art and the Demands of Art Theory (2013), menyebutkan bahwa Musik (dengan M kapital) hanya fokus pada bentuk-bentuk dinamis nada (tonal dan atonal), dan bentuk apapun di luar hal tersebut dianggap sebagai wilayah batas karya musik. Sebuah wilayah yang ia sebut sebagai pusat dalam ranah sound art.16 Ia melanjutkan dengan mengutip Seth Kim-Cohen yang menggunakan istilah expanded sonic practice untuk fenomena eksplorasi bebunyian yang ‘bukan musik’ dan bukan pula ekstra-musikal:

An expanded sonic practice would include the spectator, who always carries, as constituent parts of his or her subjectivity, a perspective shaped by social, political, gender, class and racial experience. It would necessarily include consideration of the relationships to and between process and product, the space of production versus the space of reception, the time of making relative to the time of beholding. Then there are history and tradition, the conventions of the site of encounter, the context of performance and audition, the mode of presentation, amplification, recording, reproduction. Nothing is out of bounds. To paraphrase Derrida, there is no extra-music.17

Dalam In the Blink of An Ear: Toward A Non-Cochlear Sonic Art (2009), Kim-Cohen berupaya mendefinisikan sound art melalui pernyataan berikut:

One could easily argue that sound art, as a discrete practice, is merely the remainder created by music closing off its borders to the extra-musical, to any instance of parole that could not be comfortably expressed in the langue of the Western notational system. Instances of non-Western music would not be sound art. Although they may employ specific features, such as microtonalities not represented in the western octave, these features can still be understood and, to some extent, represented in a way that is legible to Western musical methods. Sound art is art that posits meaning or value in registers not accounted for by Western musical systems. Unlike sculpture, and to a lesser extent, cinema, music failed to recognize itself in its expanded situation.18

Kane berpendapat bahwa klaim Kim-Cohen di atas nampak menempatkan sound art sebagai oposisi dari Musik Barat, “Sound art is Music’s other.”19 Pada kenyataannya, Kim-Cohen menyebutkan tiga peristiwa penting dalam ranah seni musik yang kemudian memicu munculnya situasi ekspansi bebunyian ini. Ketiganya hadir di tempat-tempat berbeda namun pada tahun yang sama, tahun 1948: eksplorasi musique concrete Pierre Schaeffer di Paris, Prancis; gagasan komposisi Silent Prayer yang berkembang menjadi komposisi 4’33’’ oleh John Cage untuk perusahaan Muzak Corporation di Fort Mill, Amerika Serikat; dan dirilisnya single Muddy Waters berjudul I Can’t Be Satisfied dan I Feel Like Going Home oleh Aristocrat Records (kemudian berganti kepemilikan dan berubah nama menjadi Chess Records) di Chicago, Amerika Serikat.

Terlepas dari pendapat Kane (atau bahkan justru Kim-Cohen sendiri) yang cenderung dikotomis terkait gagasan tentang hubungan sound art dan Musik Barat, Kim-Cohen mengungkapkan bahwa ranah seni rupa nampaknya lebih bersahabat pada eksplorasi sound art:

The gallery-art world, having already learned the trick of expansion and the assimilation of once-excluded modes, proved a more hospitable homeland for much of the sound practice of the late 1980s, 1990s, and 2000s.20

Dalam tulisan Musicophobia, or Sound Art and the Demands of Art Theory (2013), Kane kemudian menyimpulkan bahwa pemahaman Kim-Cohen berada pada wilayah sonic idealism, sebuah pemahaman yang menekankan pemahaman sound art melalui aspek konseptual dan kontekstual. Hal tersebut bertolak belakang dengan gagasan sonic phenomenology yang diungkapkan oleh penulis lain, Salome Voegelin, dalam bukunya Listening to Noise and Silence: Towards A Philosophy of Sound Art (2010). Bagi Kane, sonic phenomenology memungkinkan lahirnya pemahaman karya-karya sound art melalui pengalaman langsung, dalam hal ini aktivitas perseptual yang kemudian dikombinasikan dengan pengetahuan subjektif pendengar. Pendek kata, Kane menyebut gagasan Kim-Cohen sebagai act of reading, sementara Voegelin sebagai act of listening.21

Pertanyaan yang pasti muncul terkait dengan tarik menarik antara pemahaman Musik Barat dan sound art di atas, tentunya adalah bagaimana dengan eksplorasi musik dan bebunyian di Indonesia? Apakah sound art atau sonic art dapat pula secara sederhana diterjemahkan menjadi ‘seni bunyi’ seperti halnya ‘seni rupa’ untuk istilah fine art atau visual art?

5      Seni Bunyi atau Seni Bebunyian

Pertama-tama, perlu dipahami bahwa secara umum, Bahasa Indonesia mengenal setidaknya empat istilah atau kata terkait dengan fenomena bebunyian: musik; bunyi; suara; dan sonik. Berbeda dengan kata ‘sonik’ yang kurang populer namun bermakna luas, ‘berkaitan dengan bunyi,’ atau ‘musik’ yang jauh lebih populer namun maknanya dibatasi oleh sejarah serta aturan institusi musik, kata ‘bunyi’ dan ‘suara’ lebih sering digunakan untuk mengidentifikasi fenomena yang serupa, fenomena bebunyian. Belum ada definisi yang cukup dapat memisahkan makna kedua kata tersebut selain kedekatan kata ‘suara’ dengan makna ‘bunyi yang dihasilkan oleh mulut manusia,’ atau ‘pendapat’ (yang seringkali bersifat politis). Atau secara sederhana, terjemahan kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris, voice untuk suara dan sound untuk bunyi. Meskipun pada praktiknya, menyebutkan bunyi alam dan suara alam atau bunyi motor dan suara motor akan tetap terdengar dan terasa sama makna. Setidaknya ada kesepakatan bahwa sekelompok manusia yang bernyanyi akan disebut sebagai paduan suara dan bukan paduan bunyi. Terlepas dari kebingungan di atas, jika kita merujuk pada bantuan terjemahan ke dalam bahasa Inggris, ‘seni bunyi’ nampaknya lebih tepat sebagai padanan kata untuk istilah sound art.

Penggunaan istilah sound art secara global sering merujuk pada periode setelah diselenggarakannya pameran berjudul Sound/Art di Sculpture Center, New York, Amerika Serikat, yang dikuratori oleh William Hellermann pada tahun 1983. Di Indonesia, meskipun eksplorasi bebunyian telah banyak dilakukan baik oleh individu maupun kelompok, sebagian besar karya-karya mereka hadir pada perhelatan-perhelatan yang justru tidak fokus pada perkembangan sound art, contohnya pameran seni rupa maupun pertunjukan musik eksperimental dan musik noise. Hal tersebut mengakibatkan produksi wacana sound art menjadi sangat terbatas. Istilah ‘seni bunyi’ memang pernah muncul di tahun 1979 dalam buku Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia yang disunting oleh Jim Supangkat. Namun, esai berjudul Puisi Kongkret = Seni Rupa = Seni Bunyi yang ditulis oleh Priyanto Sunarto lebih menekankan pemahaman elemen bunyi dalam ranah sastra. Perhelatan yang kemudian berani mengangkat wacana sound art atau bahkan sekadar menggunakan istilah seni bunyi atau seni bebunyian dengan lebih tepat (mengacu pada perkembangan wacana sound art) setidaknya hadir menjelang akhir periode 2000-an. Sound Performance: Music for Public (2005) di Pasar Bringharjo dan Kedai Kebun Forum, Yogyakarta, Good Morning: City Noise!!! Sound Art Project (2007) di Galeri Soemardja, Bandung, Pameran Seni Bebunyian: Derau (2011) di Studio Rosid, Bandung, Pameran 5 Seniman Suara Ruang (2013) di Ruang Gerilya, Bandung, Bukan Musik Bukan Seni Rupa (2013) di Sasana Ajiyasa ISI, Yogyakarta, The Instrument Builders Project (2013) di Indonesia Contemporary Art Network (ICAN), Yogyakarta, hingga Bandung New Emergence Vol. 6: Listen! di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Pameran yang disebutkan kedua setidaknya masih menunjukkan eksistensinya melalui penyelenggaraannya di tahun ini dengan tajuk Soemardja Sound Art Project (2018).

6      Penutup

Sound art atau seni bunyi, seni musik, hingga perkembangan teknologi audio merupakan sebab sekaligus akibat bagi munculnya kesadaran aural yang pada akhirnya dapat mempengaruhi cara hidup manusia. Tulisan ini ditutup dengan mengutip Brandon LaBelle dalam bukunya berjudul Acoustic Territories: Sound Culture and Everyday Life (2010):

From my perspective, this makes sound a significant model for also thinking and experiencing the contemporary condition… Sound is promiscuous. It exists as a network that teaches us how to belong, to find place, as well as how not to belong, to drift. To be out of place, and still to search for new connection, for proximity. Auditory knowledge is non-dualistic. It is based on emphaty and divergence, allowing for careful understanding and deep involvement in the present while connecting to the dynamics of meditation, displacement, and virtuality.22

 

(Esai untuk kuliah umum Estetika: Sound Art,  18 September 2018, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Indonesia)

 

Daftar Pustaka

  1. Licht, Alan. 2009. “Sound Art: Origins, development, and ambiguities”, dalam jurnal internasional Organised Sound, 14, halaman 3. Cambridge University.
  2. Ibid.
  3. Cox, Christoph & Daniel Warner. 2004. Audio Culture: Readings in Modern Music, halaman xiii. Continuum International Publishing Group Inc: New York.
  4. Wiyanto, Hendro. 2007, 4 Maret. “Perkara Suara: Selamat Pagi, Seni Bunyi….,” Kompas, halaman 29.
  5. https://www.symmetrymagazine.org/article/art-intimates-physics, diakses pada 27 Mei 2018 pukul 23:22 WIB.
  6. https://vimeo.com/user24835271, diakses pada 27 Mei 2018 pukul 23:34 WIB.
  7. https://creators.vice.com/en_us/article/z4ypp3/carsten-nicolai-5899ce18d990614eaa975bbc, diakses pada 27 Mei 2018 pukul 23:50 WIB.
  8. Hardjana, Suka. 2003. Corat-coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini, halaman 3. Ford Foundation & Masyarakat Seni dan Pertunjukan Indonesia: Jakarta.
  9. Setiawan, Erie. 2017. Dari Bunyi ke Kata: Panduan Praktis Menulis tentang Musik, halaman 38. Art Music Today: Yogyakarta.
  10. Kim-Cohen, Seth. 2009. In the Blink of An Ear: Toward A Non-Cochlear Sonic Art, halaman 39. Continuum International Publishing Group Inc: New York.
  11. Toop, David. 2002. “Humans, are They Really Necessary? Sound Art, Automata, and Musical Sculpture”, dalam Rob Young, Undercurrents: The Hidden Wiring of Modern Music, halaman 129. New York: Continuum.
  12. Cox, Cristoph. 2011. “From Music to Sound: Being as Time in the Sonic Arts”, dalam Caleb Kelly, SOUND, halaman 80. Cambridge: The MIT Press.
  13. Ibid.
  14. Ibid.
  15. Ibid.
  16. https://nonsite.org/article/musicophobia-or-sound-art-and-the-demands-of-art-theory, diakses pada 28 Mei 2018 pukul 00:57 WIB.
  17. Kim-Cohen, Seth. 2009. In the Blink of An Ear: Toward A Non-Cochlear Sonic Art, halaman 107. Continuum International Publishing Group Inc: New York.
  18. Ibid.
  19. https://nonsite.org/article/musicophobia-or-sound-art-and-the-demands-of-art-theory, diakses pada 28 Mei 2018 pukul 01:00 WIB.
  20. Kim-Cohen, Seth. 2009. In the Blink of An Ear: Toward A Non-Cochlear Sonic Art, halaman 108. Continuum International Publishing Group Inc: New York.
  21. https://nonsite.org/article/musicophobia-or-sound-art-and-the-demands-of-art-theory, diakses pada 28 Mei 2018 pukul 01:32 WIB.
  22. LaBelle, Brandon. 2010. Acoustic Territories: Sound Culture and Everyday Life, halaman xvii. Continuum International Publishing Group Inc: New York.