Berasal dari dua kata dalam Bahasa Sunda, ‘Ci’ (yang bermakna cahaya pantulan di atas air atau ‘banyu’/’tirta’) dan ‘tarum’ (tumbuhan penghasil warna nila), Citarum merupakan sungai terbesar dan terpanjang di Propinsi Jawa Barat, Indonesia, sekaligus juga salah satu sungai paling tercemar di dunia. Dengan kondisi tersebut, Citarum yang di satu sisi berperan penting bagi aktivitas dan kehidupan di sekitarnya, di sisi lain merupakan ancaman serius terutama berkaitan dengan aspek kesehatan. Seperti halnya kata ‘Ci’ yang bermakna cahaya pantulan di atas air, kata ‘reflecting’ merupakan kata yang dianggap paling representatif untuk mewakili aktivitas memahami dan memikirkan solusi bagi sungai Citarum. Reflecting Citarum merupakan sebuah upaya untuk memicu kesadaran terhadap kondisi sungai Citarum saat ini.

Secara umum, kondisi sungai Citarum saat ini merupakan konsekuensi atas kurangnya kesadaran manusia dalam memahami dan menjaga lingkungan sekitarnya. Persoalan sampah hampir selalu merupakan akumulasi ketidakpedulian individu ataupun sekelompok manusia yang kemudian bertransformasi menjadi gangguan bahkan ancaman bagi manusia itu sendiri. Persoalan, yang pada awalnya seringkali dianggap mikro dan sepele, lalu di kemudian hari seolah melahirkan kegaduhan dalam mencari solusi tercepat ketika telah menjadi makro. Berkaitan dengan hal tersebut, karya seni tentu bukan sebuah ‘solusi tercepat’ yang diharapkan. Ranah artistik merupakan tempat hadirnya pemicu-pemicu kesadaran manusia, dan karya seni tentu bukanlah kendaraan langsung dalam menyelesaikan masalah-masalah manusia, terutama persoalan lingkungan. Reflecting Citarum diposisikan sebagai salah satu dari rangkaian upaya memunculkan kesadaran dan keinginan untuk memikirkan kembali kondisi sungai Citarum.

Terdiri atas kompilasi karya fotografi dan aktivitas kolektif berbasis riset, Reflecting Citarum menawarkan ragam sudut pandang dan pemahaman melalui eksplorasi artistik. Tiga puluh karya fotografi terpilih ditampilkan berdampingan dengan dokumentasi aktivitas kolektif SemAta Gallery. Dalam sejarahnya, fotografi merupakan medium yang paling efektif dalam menampilkan kondisi teraktual sebuah peristiwa atau tempat tertentu. Sementara itu, aktivitas kolektif berbasis riset yang dilakukan SemAta Gallery diharapkan mampu memunculkan data empirik sekaligus memungkinkan hadirnya keterlibatan publik secara langsung. Kombinasi keduanya dapat dipahami sebagai komponen yang saling melengkapi dalam memahami kondisi terkini sungai Citarum.

 

(Pengantar kuratorial untuk pameran Reflecting Citarum, 7 – 8 September 2018, Galeri Soemardja ITB, Bandung, Indonesia)