Digitalisasi Abstraksi Keseharian
Abad ke-21 menandai munculnya percepatan informasi dan persaingan intens dalam hal melahirkan ragam inovasi perkembangan teknologi. Teknologi digital hingga pemanfaatan internet dalam kehidupan sehari-hari telah banyak mengubah pola pikir manusia. Pola pikir yang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi tersebut kemudian melahirkan ragam metode dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi manusia. Fenomena perkembangan dan pemanfaatan teknologi mutakhir juga turut mempengaruhi pola-pola kerja artistik dalam ranah kesenian. Festival-festival seperti Transmediale di Berlin, Jerman, Ars Electronica di Linz, Austria, hingga yang terdekat festival Nu Substance (2007-2012) atau bahkan Bandung International Digital Arts Festival sedikit banyak telah menunjukkan bagaimana teknologi telah mengubah metode penciptaan serta cara mengapresiasi karya seni.
Salah satu jangkar sekaligus titik tolak perkembangan teknologi saat ini adalah pergeseran pemanfaatan teknologi analog atau mekanikal menjadi digital. Dalam ranah artistik, pergeseran tersebut ditandai dengan lahirnya istilah seni digital. Dalam Art: The Whole Story (2010), Carol King menyatakan bahwa istilah seni digital lahir di periode 1980-an ketika sebuah program komputer bernama Aaron (dikembangkan oleh pionir seni digital, Harold Cohen) mulai populer dimanfaatkan untuk menghasilkan gambar. Program komputer tersebut pada awalnya merupakan perangkat lunak menggambar hitam putih yang kemudian menghasilkan karya awal Cohen berjudul Untitled Computer Drawing (1982). Metode ‘digitalisasi’ juga turut mempengaruhi perkembangan medium fotografi. Nama-nama seperti Jeff Wall dan Andreas Gursky dikenal sebagai seniman-seniman yang memanfaatkan teknologi digital dalam kekaryaan mereka.
Dalam perhelatan Tomorrow the Window Collapses yang terdiri atas tiga seniman muda, isu berkaitan dengan pemanfaatan teknologi digital dan kaitannya dengan dunia fisik dijadikan sebagai basis utama kekaryaan. Jeffi Manzani, William Samosir, dan Yura Kenn Kusnar merupakan seniman-seniman yang mengolah metode digital dalam menghasilkan karya-karya dengan visual non-representasional. Aspek non-representasional dalam visual karya mereka merupakan bentuk ketertarikan mereka pada perkembangan seni lukis abstrak. Seperti halnya karakteristik lukisan di periode seni modern yang menekankan ‘kedataran,’ masing-masing seniman yang terlibat dalam Tomorrow the Window Collapses tidak sepenuhnya berupaya menghadirkan aspek futuristik (atau kecenderungan instalatif) dari perkembangan teknologi digital saat ini. Meskipun tidak seluruhnya, sebagian besar karya yang ditampilkan tetap mempertahankan kaidah-kaidah rupa dua dimensi yang konvensional.
Metode kekaryaan Jeffi Manzani dapat dipahami sebagai bentuk refleksi sejarah hubungan antara lukisan dan fotografi. Fotografi (yang di awal kemunculannya dianggap sebagai sebuah upaya menggeser posisi seni lukis) dimanfaatkan oleh Jeffi sebagai basis material kekaryaannya. Dengan metode menumpuk sejumlah foto yang ia ambil dalam satu waktu melalui perangkat lunak, Jeffi justru mengarahkan visual karyanya ke arah abstraksi momen. Metode abstraksi yang seringkali dianggap sebagai karakteristik seni lukis yang tidak bisa dicapai oleh fotografi di awal kemunculannya. Eksplorasi fotografis Jeffi kemudian ia kombinasikan dengan elaborasi material tempat karya dicetak, menghasilkan ragam kemungkinan warna dan intensitas. Metode yang berbeda kemudian hadir dalam kekaryaan William Samosir dan Yura Kenn Kusnar. Meskipun keduanya sama-sama memanfaatkan algoritma dan metode coding untuk menghasilkan visual, masing-masing seniman menggunakan basis material dan gagasan yang berbeda.
William Samosir memanfaatkan bebunyian sehari-hari yang ia rekam sebagai sumber kekaryaannya. Bagi William, seperti halnya bebunyian yang bersifat tidak terlihat dan meruang, perpindahan serta konsumsi data secara tidak sadar telah ‘memenuhi’ kehidupan manusia. Di era informasi saat ini, manusia dikelilingi oleh ragam transaksi data yang sebagian besar tidak tercerap oleh indra manusia. Analogi keriuhan data dan bebunyian tersebut yang kemudian menginspirasi William dalam menghasilkan visual organik dalam kekaryaannya. Dalam ranah yang lebih personal, Yura Kenn Kusnar tertarik untuk mengolah aktivitas menulis hariannya ke dalam bentuk visual. Melalui pemahaman karya rupa sebagai ‘teks,’ karya Yura sedikit banyak menunjukkan hubungan di antara dua teks. Teks dalam bentuk tulisan dan teks sebagai bentuk pembacaan visual. Melalui algoritma dan metode coding, teks-teks harian Yura diolah menjadi bentuk visual yang ‘menghancurkan’ teks-teks tersebut.
Perhelatan Tomorrow the Window Collapses secara garis besar menawarkan ragam metode digital dalam menghasilkan bentuk visual. Melalui refleksi terhadap pemahaman serta metode penciptaan karya di masa lalu, pameran ini diharapkan dapat memperkaya khazanah seni digital Indonesia, khususnya di kota Bandung.
(Pengantar kuratorial untuk pameran Tomorrow the Window Collapses, 14 – 29 Juli 2018, Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Indonesia)