What is perfect is supposed not to have become
Sebuah karya seni yang sempurna (baca: telah diselesaikan seniman) selalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan seperti apa makna dibalik karya tersebut, apa daya tariknya, dan mengenai bagaimana karya tersebut diselesaikan, atau bagaimana karya tersebut dianggap selesai. Pertanyaan terakhir seringkali diabaikan oleh apresiator karena jawaban dari pertanyaan tersebut tentunya hanya diketahui oleh sang seniman. Bagaimana seniman mampu berhenti mengerjakan sebuah karya dan menganggapnya telah sempurna.
Judul tulisan pengantar pameran ini diambil dari kalimat pembuka Friedrich Nietzsche dalam bukunya Human, All Too Human: A Book for Free Spirits, Volume I (1878), bab keempat, berjudul From the Souls of Artists and Writers. Sesuatu yang sempurna seharusnya tidak ‘telah menjadi’. Nietzsche mengasumsikan bahwa apresiator seringkali mengabaikan proses penciptaan sebuah karya seni. Seolah karya tersebut hadir begitu saja dari tangan seniman. Hal ini tidak sepenuhnya benar karena proses penciptaan sebuah karya seni tentunya bisa dilacak melalui kegiatan riset. Kegiatan riset tentunya dilakukan oleh apresiator kritis yang kebanyakan muncul dari wilayah akademik atau institusi seni.
Lantas bagaimana dengan istilah seniman akademik, apakah dengan gelar ‘akademik’ sang seniman lantas menjadi lebih kritis dari seniman non-akademik? Kembali lagi pada pernyataan Nietzsche mengenai sesuatu yang dianggap sempurna, kecenderungan yang terjadi pada metode pengajaran di institusi-institusi seni di Indonesia adalah kebalikan dari pernyataan Nietzsche di atas, what is perfect is supposed to have become. Proses dan metode penciptaan yang digunakan seniman merupakan sebuah hal yang dianggap penting.
What is perfect is supposed to have become
Sebuah karya seni yang sempurna (baca: telah diselesaikan seniman) selalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan seperti apa makna dibalik karya tersebut, apa daya tariknya, dan mengenai bagaimana karya tersebut diselesaikan, atau bagaimana karya tersebut dianggap selesai. Pertanyaan terakhir seringkali diabaikan oleh apresiator karena jawaban dari pertanyaan tersebut tentunya hanya diketahui oleh sang seniman. Bagaimana seniman mampu berhenti mengerjakan sebuah karya dan menganggapnya telah sempurna.
Judul tulisan pengantar pameran ini merupakan lawan dari kalimat yang diambil dari kalimat pembuka Friedrich Nietzsche dalam bukunya Human, All Too Human: A Book for Free Spirits, Volume I (1878), bab keempat, berjudul From the Souls of Artists and Writers. Sesuatu yang sempurna seharusnya ‘telah menjadi’. Penulis mengasumsikan bahwa apresiator seringkali merenungkan tentang proses penciptaan sebuah karya seni. Karya tersebut tidak mungkin hadir begitu saja dari tangan seniman. Hal ini tidak sepenuhnya benar karena proses penciptaan sebuah karya seni seringkali diabaikan apresiator dan mereka lebih memilih untuk mencari kedekatan rasa yang bersifat lebih personal dengan karya tersebut. Cara interaksi semacam ini banyak terjadi pada apresiator yang lebih awam. Apresiator dengan pengetahuan ataupun informasi yang terbatas mengenai dunia seni rupa.
Lantas bagaimana dengan istilah seniman non-akademik, apakah dengan sebutan ‘non-akademik’ sang seniman lantas menjadi lebih awam seni ketimbang seniman akademik? Kembali lagi pada pernyataan Nietzsche mengenai sesuatu yang dianggap sempurna, kecenderungan yang terjadi pada metode penciptaan karya seni di luar institusi-institusi seni di Indonesia adalah kebalikan dari pernyataan Nietzsche di atas, what is perfect is supposed to have become. Proses dan metode penciptaan yang digunakan seniman merupakan sebuah hal yang penting.
(Tulisan pengantar untuk pameran All the fancies & all the dreams that flutter through consciousness & lodge in thought, all the hopes & all the beliefs we ever hold, the highest theories like the lowest superstitions, all these elements of error & knowledge come to mind from experience 22 – 3 Maret 2015, Lawangwangi Art & Science, Bandung, Indonesia)
Leave a Reply