Bandung Menyongsong Biennale II

1. Pendahuluan

Judul tulisan ini sedikit banyak terinspirasi dari tajuk seminar yang diselenggarakan di Topas Galeria Hotel, Bandung, pada tanggal 5 – 8 November 2013. Seminar Bandung Menyongsong Biennale yang konon akan didukung oleh Galeri Nasional dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia ini setidaknya telah menyebutkan beberapa nama yang akan diplot sebagai pendiri yayasan tempat ‘Biennale Bandung’ bernaung: Herry Dim, Jais Hadiana Dargaija, Koko Sondari, Rizki Ahmad Zaelani, dan Tisna Sanjaya. Peristiwa ini kemudian disinggung kembali sekitar empat tahun kemudian oleh Heru Hikayat selaku Direktur Artistik Seni Bandung #1 dalam makalahnya yang berjudul Terlibat Biennale pada Diskusi Panel II: Polemik Seni Bandung di Sanggare Sedaya dan diskusi Seni Partisipatori Seni Bandung di Imah Budaya Cigondewah. Dalam makalahnya, Heru menyebutkan bahwa seminar Bandung Menyongsong Biennale bahkan tidak sampai pada realisasi pembentukan yayasan itu sendiri.1 Dari peristiwa tersebut, penulis memutuskan untuk menggunakan judul Bandung Menyongsong Biennale II sebagai sebuah bentuk evaluasi sekaligus tantangan bagi para pelaku kesenian Kota Bandung untuk setidaknya berusaha merumuskan hingga (mungkin) mewujudkan perhelatan yang nampak sangat dinantikan di kota yang konon sangat kreatif ini.

Perhelatan kesenian dua tahunan yang dikenal dengan nama biennale ini bukannya tidak bersahabat dengan Bandung. Setidaknya beberapa waktu lalu, rekan-rekan satu rumpun berhasil menyelenggarakan Bandung Design Biennale pada 23 – 30 November 2017. Namun, perhelatan tersebut nampak belum cukup memuaskan dahaga pelaku kesenian Kota Bandung akan sebuah perhelatan yang eksklusif untuk lingkup seni, atau bahkan seni rupa. Biennale Bandung, Biennale Seni Bandung, atau Biennale Seni Rupa Bandung? Kemungkinan nama-nama yang mungkin bisa lebih melepas dahaga tersebut. Tentu bukan hanya persoalan nama, tetapi bagaimana perhelatan tersebut juga mampu memenuhi ekspektasi yang sudah kadung berkecamuk mengingat dua kota besar lainnya (Jakarta dan Yogyakarta) sudah terbilang berhasil menyelenggarakan biennale secara rutin.

Bandung Membaca Dua Biennale, begitulah tajuk diskusi yang diajukan pada 22 Desember 2017 di Galeri 212, FSRD, ISBI Bandung. Dan tulisan ini dimaksudkan sebagai gambaran kemungkinan-kemungkinan upaya untuk dapat mewujudkan Bandung yang tidak hanya membaca atau menyalurkan seniman biennale, tetapi juga Bandung sebagai salah satu penyelenggara biennale di Indonesia. Beberapa rumusan masalah yang diajukan dalam tulisan ini setidaknya mencakup bagaimana perkembangan perhelatan kesenian dalam skala besar di Kota Bandung? Bagaimana pula kelanjutannya? Seberapa jauh perkembangan wacana kesenian terutama seni rupa Bandung mampu mendorong lahirnya gagasan biennale? Hingga karakteristik seniman Bandung yang kemudian menjadi daya tarik bagi biennale baik di Jakarta maupun Yogyakarta.

2. Gagasan Dua Biennale

Jakarta telah menyelenggarakan biennale setidaknya sejak 1974, kala itu bernama Pameran Seni Lukis Indonesia dan diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki yang dibangun pada tahun 1968. Sementara Yogyakarta pertama kali menyelenggarakan biennale dengan nama Pameran Biennale I Seni Lukis Yogyakarta di Purna Budaya pada tahun 1988. Keduanya mencakup lingkup medium yang sama yaitu seni lukis, namun dengan nama (atau skala) yang berbeda, Yogyakarta dan Indonesia. Dalam pengantar untuk sebuah publikasi seni kontemporer bernama Skripta (terbit Juni 2014), Alia Swastika selaku editor mengungkapkan perbedaan mendasar antara biennale Jakarta dan Yogyakarta di awal perkembangannya, “… Jogja Biennale dimaksudkan menjadi peristiwa yang mampu mempresentasikan perkembangan seni rupa di Jogja dalam dua tahun terakhir, sementara Jakarta Biennale diarahkan untuk menjadi barometer seni rupa tingkat nasional.”2

Dalam perkembangannya, kedua biennale di atas kemudian berupaya untuk bertransformasi menjadi perhelatan dua tahunan dengan skala internasional. Meskipun menurut Alia Swastika, menjadi internasional bukan hanya persoalan mengundang seniman internasional dan tercatat dalam sejarah biennale dunia.3 Namun setidaknya, lanjut Alia, perubahan tersebut mampu memunculkan beberapa pertanyaan-pertanyaan reflektif:

Untuk apa biennale diadakan dalam situasi lingkup seni di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh pasar seni? Apa relevansi biennale dengan peristiwa dan gerakan budaya yang lain di luar dirinya? Bagaimana biennale memberikan kontribusi dalam kehidupan sebuah kota, mendayagunakan kembali seni dan budaya sebagai penguatan masyarakat sipil, terutama mengingat bahwa sebagian besar biennale menggunakan dana publik?4

Masih dalam publikasi yang sama, penulis lainnya, Stanislaus Yangni, melalui tulisan berjudul Kosmopolitanisme dalam Biennale menyebutkan bahwa biennale setidaknya harus memiliki dua hal pokok, dialog dan arena, “Biennale bisa dikatakan sebagai arena, agora, tempat berjumpanya beragam negara, beragam seniman, berlapis-lapis identitas, dan mereka semua (seharusnya) saling berinteraksi.”5 Salah satu bentuk perwujudan interaksi tersebut, menurut Stanislaus, setidaknya muncul dalam program-program seperti residensi. Irham N. Anshari dalam tulisannya berjudul Konsumsi Medium, Konsumsi Gagasan mengajukan isu yang lebih menyempit berkaitan dengan perhelatan biennale, bagaimana bahasa visual (melalui medium) dapat tersampaikan bersama dengan bahasa gagasan (konsep yang bukan sekadar tulisan dalam kuratorial). Berkaitan dengan pernyataan tersebut, merujuk pada Marshall McLuhan, Irham menyebut bahwa transfer gagasan setidaknya harus melalui dua tahapan medium: medium pameran seni rupa dan medium karya dalam pameran tersebut.6 Hal tersebut tentunya berkaitan erat dengan persoalan sah atau tidak sahnya sebuah objek atau material menjadi sebuah karya seni.

Muhammad Abe dalam tulisannya berjudul Biennale sebagai Ruang Pamer dan Ruang Negosiasi, memberi gambaran perubahan karakteristik pemilihan karya pada dua perhelatan Biennale Jogja. Hal tersebut kemudian dikaitkan dengan bagaimana pembentukan ke-Indonesia-an dalam lingkup perhelatan biennale serta peran seniman di masa mendatang. Menurut Abe, Biennale Seni Lukis III Yogyakarta (1992) dan Biennale Yogyakarta VII 2003 memiliki bentuk optimisme yang berbeda, setidaknya ditunjukkan oleh kurasi dari masing-masing tim kurator. Fadjar Sidik yang mewakili tim kurator Biennale Jogja 1992 dianggap cenderung memproyeksikan karya sebagai objek rekreatif, seniman diplot untuk mengisi dan memperindah gedung-gedung hasil pembangunan. Sementara dalam kuratorial Biennale Jogja 2003, Hendro Wiyanto dianggap lebih menekankan karya-karya yang memiliki muatan politik.7 Namun, hal tersebut juga dapat dibaca sebagai perkembangan kesenian sebelum dan sesudah Reformasi 1998.

Melalui pemaparan di atas, setidaknya dapat ditemukan dan ditelusuri lebih lanjut beberapa komponen yang dapat memperkaya gagasan-gagasan berkaitan dengan perhelatan biennale. Persoalan lokal dan internasional, keterlibatan pasar seni, pemanfaatan dana publik, hingga proyeksi kesenimanan. Komponen-komponen tersebut diharapkan dapat dijadikan pertimbangan bagi gagasan biennale di Kota Bandung.

3. Biennale Bandung?

Di tahun 2017, Jakarta Biennale hadir dengan tema Jiwa, sementara Biennale Jogja XIV mengusung tema Stage of Hopelessness (Age of Hope). Keduanya tentu hadir dengan presentasi yang berbeda, Jakarta Biennale dengan penunjukkan tiga lokasi biennale (Gudang Sarinah Ekosistem, Museum Sejarah Jakarta, dan Museum Seni Rupa dan Keramik) serta bentuk-bentuk publikasinya (penerbitan katalog biennale dan buku-buku Melampaui Citra dan Ingatan, Dari Kandinsky sampai Wianta, dan Seni Manubilis). Sementara presentasi Biennale Jogja XIV diperkaya dengan Festival Equator, Parallel Event, dan Biennale Forum. Terlepas dari persoalan tingkat keberhasilan serta kritik terhadap kedua perhelatan tersebut, ragam bentuk presentasi yang ditawarkan oleh Jakarta Biennale dan Biennale Jogja XIV tentunya dapat dijadikan proyeksi bagi gagasan Biennale Bandung.

Sedikit melihat ke belakang, pada tahun 2001 terselenggara Bandung Art Event (BAE) yang dimotori oleh Rizki Ahmad Zaelani sebagai ketua yayasan dan Rifky Effendy sebagai Direktur Eksekutif. BAE merupakan sebuah perhelatan yang melibatkan bidang seni rupa, teater, tari, sastra, musik, dan lintas media.8 Pada tahun 2013, muncul perhelatan Bandung Contemporary yang diinisiasi oleh generasi yang lebih muda seperti Mohammad Ady Nugeraha, Chabib Duta Hapsoro, Rifandy Priatna, dan Sally Texania. Perhelatan ini mencakup ranah seni rupa dengan melibatkan setidaknya 35 seniman muda dan 8 ruang pamer. Di samping itu, Bandung juga memiliki beberapa perhelatan besar yang diinisiasi oleh institusi-institusi seperti festival Nu Substance oleh Common Room (2007-2012), Bandung New Emergence dan Transit oleh Selasar Sunaryo Art Space, Pasar Seni ITB, Bandung International Digital Art Festival (BIDAF), hingga yang baru saja diselenggarakan di tahun 2017, Seni Bandung #1 dan Bandung Design Biennale. Keseluruhan perhelatan besar tersebut, terlepas dari perbedaan gagasan serta spektrum kekaryaannya, seharusnya sudah dapat membangun fondasi bagi gagasan Biennale Bandung.

Ragam kesenian yang ditawarkan BAE dan Seni Bandung #1, fokus kebaruan dalam Nu Substance dan BIDAF, hingga penekanan pada pemberdayaan seniman muda dalam Bandung Contemporary dan Bandung New Emergence bukankah sudah dapat dijadikan modal awal bagi lahirnya biennale di Kota Bandung? Dalam Bandung Contemporary di tahun 2013, Sally Texania melalui pengantar kuratorialnya di Selasar Sunaryo Art Space, bahkan sudah berupaya membaca tiga faktor pembentukan kekaryaan seniman muda Bandung. Sally menyebut institusi pendidikan sebagai faktor pertama (dalam hal ini pengaruh prinsip-prinsip seni rupa Barat), kemudian fase boom seni rupa kontemporer di tahun 2006 sebagai faktor kedua, dan surutnya pasar seni rupa Asia di tahun 2008 yang beririsan dengan krisis ekonomi Eropa dan Amerika Serikat sebagai faktor ketiga yang memunculkan inisiatif ‘seni global.’9  Di samping jumlah perhelatan besar kesenian di Bandung, seperti yang telah disebutkan oleh Sally, peran institusi pendidikan seharusnya tidak dikesampingkan. Bandung setidaknya memiliki lima kampus kesenian (belum termasuk desain) yang berpotensi melahirkan banyak seniman. Begitu pun dengan infrastruktur seperti galeri ataupun ruang-ruang alternatif yang jumlahnya terus bertambah hingga saat ini.

Kelemahan utama dalam perkembangan kesenian di Kota Bandung belakangan ini bisa jadi hadir dalam wilayah pembangunan wacana. Hal ini bisa jadi berkaitan dengan jumlah produksi seniman muda yang tidak diiringi dengan produksi kurator muda. Regenerasi kurator nampaknya perlu dijadikan sebagai catatan. Jarak antara kurator mapan dan kurator muda bisa semakin jauh dan berujung pada tidak terfasilitasinya seniman-seniman muda yang ingin berpameran. Di tahun 2013, Institut Teknologi Bandung menawarkan jalur kekuratoran untuk jenjang magister, namun nampaknya rentang waktu empat tahun belum bisa menunjukkan hasil yang signifikan berkaitan dengan peningkatan jumlah produksi kurator muda Bandung. Di luar institusi, juga diperlukan pihak-pihak yang dapat berperan sebagai jembatan bagi seniman, kurator, dan galeri sebagai penyelenggara kepada para pemodal, baik partikelir maupun pemerintah. Hal tersebut juga harus diiringi dengan sikap dan mental yang kritis dan strategis, bukan hanya bentuk-bentuk resistensi idealis yang berujung pada pemisahan kubu ataupun kutub-kutub tertentu.

Bandung dengan berbagai komponen pendukungnya sudah seharusnya mampu menyelenggarakan perhelatan biennale seperti halnya Jakarta dan Yogyakarta. Pemaparan singkat di atas diharapkan mampu memberikan gambaran atau setidaknya menunjukkan celah-celah bagi lahirnya gagasan biennale di Kota Bandung.

 

(Tulisan esai untuk diskusi Bandung Membaca Dua Biennale,  22 Desember 2017, Galeri 212, Institut Seni dan Budaya, Bandung, Indonesia)

 

Daftar Pustaka

  1. Hikayat, Heru. 2017. “Terlibat Biennale”. Makalah untuk Diskusi Panel II: Polemik Seni Bandung.
  2. Swastika, Alia. 2014. “Biennale sebagai Ruang Wacana: Penciptaan, Pembacaan, dan Gagasan Tentang Publik”, dalam Alia Swastika, Skripta, hal. 6. Yogyakarta: SOAP – Curatorial Office.
  3. Ibid, hal 7.
  4. Ibid.
  5. Yangni, Stanislaus. 2014. “Kosmopolitanisme dalam Biennale”, dalam Alia Swastika, Skripta, hal. 61. Yogyakarta: SOAP – Curatorial Office.
  6. Anshari, Irham N. 2014. “Konsumsi Medium, Konsumsi Gagasan”, dalam Alia Swastika, Skripta, hal. 69. Yogyakarta: SOAP – Curatorial Office.
  7. Abe, Muhammad. 2014. “Biennale sebagai Ruang Pamer dan Ruang Negosiasi”, dalam Alia Swastika, Skripta, hal. 82. Yogyakarta: SOAP – Curatorial Office.
  8. Hikayat, Heru. 2017. “Terlibat Biennale”. Makalah untuk Diskusi Panel II: Polemik Seni Bandung.
  9. Texania, Sally. 2013. “Multi Polar”, dalam Bandung Contemporary, hal. 24-25. Bandung: Bandung Contemporary, PT. Lima Enam Tujuh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *