LISTEN!
The impetus for the title was twofold. The simple clear meaning of the word, to pay attention aurally, and its clean visual shape – LISTEN – when capitalized. It was also its imperative meaning – partly I must admit, as a private joke between myself and my then current lover, a French-Bulgarian girl, who used to shout it before she began to throw things at me when she was angry.
Kata LISTEN! merupakan sebuah kata yang digunakan untuk mewakili presentasi dan apresiasi karya-karya yang akan ditampilkan dalam Bandung New Emergence edisi keenam. Kata ini (LISTEN, tanpa tanda seru) digunakan oleh Max Neuhaus pada periode 1960-an untuk karya soundwalk-nya. Dalam kutipan yang dilampirkan di atas, Neuhaus mengungkapkan bahwa salah satu gagasan penggunaan kata LISTEN antara lain berkaitan dengan penekanannya pada aktivitas menyimak, dalam hal ini menyimak secara aural. Kata aural sendiri bermakna segala sesuatu yang berkaitan ataupun ditangkap oleh indera pendengaran manusia, dalam hal ini telinga. Kemampuan menyimak secara aural akan menjadi titik tolak apresiasi karya-karya Bandung New Emergence Volume 6 yang menghadirkan karya-karya sound art. LISTEN! (dengan tanda seru) berupaya mengungkapkan adanya fenomena karya-karya seni dengan elemen bunyi dalam perkembangan seni di Indonesia, khususnya kota Bandung, yang bukan merupakan karya seni musik (penggunaan elemen bunyi dalam seni seringkali dikaitkan dengan seni musik).
Istilah sound art muncul di pertengahan 1980-an (beberapa sumber merujuk pada pameran Sound/Art yang dikuratori William Hellermann pada tahun 1983 di Sculpture Center, New York, AS) yang lantas populer digunakan sekitar satu dekade berikutnya untuk mewakili aktivitas-aktivitas performans ataupun musik eksperimental hingga musik noise. Dalam kaitannya dengan istilah noise, sound art juga seringkali dihubungkan dengan manifesto seorang Futuris Italia bernama Luigi Rusollo melalui manifestonya di tahun 1913/1916 berjudul The Art of Noises. Apabila ditelusuri lebih lanjut, akar sejarah sound art cukup kompleks karena perkembangannya merupakan irisan-irisan dari berbagai disiplin. Setelah Rusollo serta gerakan Dada (dengan para eksponennya seperti Richard Huelsenbeck dan Hugo Ball) yang muncul sekitar enam tahun setelah gerakan Futuris, pada periode akhir 1940-an muncul nama-nama seperti Pierre Schaeffer dan John Cage yang dianggap berpengaruh pada eksplorasi bebunyian. Pierre Schaeffer berperan dalam memunculkan istilah musique concrete di sekitar tahun 1948, sementara John Cage (yang dikenal melalui karya prepared piano-nya pada tahun 1947 serta karya fenomenal 4’33’’-nya lima tahun kemudian) menginspirasi hadirnya kelompok Fluxus di periode 1960-an yang membuka banyak kemungkinan eksplorasi medium dalam seni. Tokoh lainnya yang perlu dicatat antara lain Raymond Murray Schafer yang turut memberi andil dalam perluasan gagasan bunyi melalui teori soundscape atau sound ecology-nya di tahun 1977.
Di Indonesia, khususnya kota Bandung, beberapa upaya untuk menghadirkan kecenderungan sound art muncul melalui pameran-pameran seperti Good Morning: City Noise!!! Sound Art Project di Galeri Soemardja (2007) yang dikuratori oleh Aminudin TH SIregar dan Koan Jeff Baysa (Amerika Serikat) serta Pameran Seni Bebunyian: DERAU di Studio Rosid sebagai bagian dari rangkaian acara festival Nu Substance yang diselenggarakan oleh Common Room (2011). Pada tahun 2013, sebuah ruang alternatif/artist collective asal Bandung, Ruang Gerilya, juga turut serta dalam penyelenggaraan pameran berbasis elemen bunyi melalui pameran 05 Seniman | Suara | Ruang dan sejak tahun 2015, muncul sebuah wadah diskusi dan performans musik serta bunyi bernama Salon yang digagas oleh beberapa seniman muda seperti Duto Hardono, Mohamad Haikal Azizi, dan Riar Rizaldi. Jarak tahun yang bisa dibilang tidak berdekatan memang menunjukkan adanya gejala naik-turun dalam perkembangan seni bebunyian ataupun sound art di kota Bandung. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri bahwa kehadiran elemen bunyi dalam eksplorasi seni di kota Bandung juga merupakan bagian dari fenomena sound art yang, dalam pandangan Barbara London (kurator untuk pameran besar sound art pertama di Museum of Modern Art tahun 2013 berjudul Soundings: A Contemporary Score), telah menjadi sebuah fenomena global:
Artists brought sound into their work a long time ago. Yet, working with the ‘material’ of sound as an art form and its conceptualization has recently expanded dramatically. In New York, as well as Stockholm, London, Milan, Kobe, Melbourne and Delhi, art center known as ‘alternative spaces’ emerged and for decades have supported the evolving sonic arts. Sound art is a global phenomenon.
Penyelenggaraan Bandung New Emergence Volume 6 ini menawarkan sebuah metode kuratorial dimana seniman-seniman yang dilibatkan dipilih berdasarkan karakteristik serta ketertarikannya terhadap satu elemen eksplorasi, yaitu elemen bunyi. Eksplorasi medium yang sekilas mengerucut (dibandingkan penyelenggaraan Bandung New Emergence sebelumnya) ini merupakan sebuah upaya untuk memicu kemungkinan bermunculannya seniman-seniman, karya-karya seni, serta pameran-pameran berbasis elemen bunyi atau sound art lainnya di Indonesia, khususnya kota Bandung, di kemudian hari. Dalam proses kuratorial yang telah berlangsung sejak bulan Mei 2016, karya-karya sound art (dari total 14 seniman yang terlibat) dalam Bandung New Emergence Volume 6 ini setidaknya berjangkar pada tiga karakter bebunyian: bunyi subversif; bunyi keseharian; dan bunyi esensial. Kategorisasi ini terinspirasi oleh gagasan Brandon LaBelle dalam bukunya Acoustic Territories: Sound Culture and Everyday Life (2010) dimana ia menawarkan sebuah upaya pembagian area dalam konteks beberapa kota berdasarkan karakter kehadiran serta persepsi terhadap elemen bunyi.
Dalam Bandung New Emergence Volume 6, kurator menawarkan konversi gagasan Brandon LaBelle (yang berkaitan dengan pembagian area kota) menjadi sebuah gagasan kuratorial yang berkaitan dengan tingkatan atau tahapan psikologi manusia ketika manusia tersebut dihadapkan pada sesuatu yang belum pernah ia kenali sebelumnya. ‘Sesuatu yang belum dikenali’ dalam hal ini adalah medium sound art yang, secara umum, kajian-kajiannya belum banyak dilakukan di Indonesia. Gagasan tahapan psikologi manusia juga menjadi sebuah tawaran atau tantangan bagi audiens dalam menghadapi sebuah medium yang ‘baru,’ atau mungkin lebih tepatnya medium yang masih ‘asing,’ ini.
Bunyi Subversif
Tahapan pertama psikologi manusia ketika berhadapan dengan sesuatu yang ‘baru’ atau ‘asing’ antara lain berkaitan dengan rasa penasaran, takut, terganggu, dan berhati-hati. Hal-hal tersebut yang kemudian dielaborasi dalam kategori bunyi subversif Bandung New Emergence Volume 6. Subversif, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bermakna sebuah upaya menjatuhkan kekuasaan melalui cara-cara yang dianggap ilegal. Definisi tersebut sedikitnya menghasilkan dua poin yang dapat dijadikan pijakan utama dalam kategori bunyi subversif. Pertama, upaya menjatuhkan kekuasaan yang dapat dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat ancaman. Kemudian poin kedua adalah cara-cara ilegal yang berkaitan dengan upaya mengganggu sebuah sistem ataupun stabilitas tertentu. Kategori bunyi subversif dalam kekaryaan seniman Bandung New Emergence Volume 6 yang berkaitan dengan tahapan awal psikologi manusia ini kemudian berjangkar pada dua kata yang dirumuskan melalui kedua poin (definisi) di atas: ancaman dan gangguan.
Kategori bunyi subversif disajikan oleh tiga seniman: Benny Apriariska, Ramaputratantra, dan Riar Rizaldi. Ketiganya menawarkan presentasi dan apresiasi bunyi yang berjangkar pada riset lapangan berkaitan dengan isu-isu seperti pembangunan infrastruktur pendidikan oleh pemerintah, kaji banding mekanisme industri, dan observasi area-area basement atau bawah tanah di kota Bandung.
Bunyi Keseharian
Ketika sebuah objek ataupun gagasan ‘asing’ di atas sudah ‘cukup’ dikenali oleh seorang manusia, secara psikologis manusia tersebut akan merasa aman serta nyaman. Perasaan aman dan nyaman merupakan tahapan psikologis berikutnya yang menjadi jangkar kekaryaan seniman Bandung New Emergence Volume 6 melalui kategori bunyi keseharian. Kenyamanan bukan berarti tanpa masalah, justru ketika manusia merasa nyaman (apabila manusia tersebut tidak sigap) ia menjadi lengah. Kelengahan ini mengarah pada ketidakpedulian pada apa yang terjadi di sekitar dan hal ini yang menjadi poin penting dalam kategori bunyi keseharian, bebunyian yang sangat familiar hingga seolah menjadi ‘biasa’ dan tak bermakna. Kategori ini menawarkan bebunyian yang selalu hadir dalam kehidupan ataupun aktivitas kita sehari-hari, namun seringkali terabaikan.
Kategori bunyi keseharian ini merupakan alokasi terbesar seniman Bandung New Emergence Volume 6 dengan jumlah total sembilan seniman. Bandu Darmawan, Bottlesmoker, Etza Meisyara, Hajar Asyura, Karina Sokowati, Mira Rizki Kurnia, Mohamad Haikal Azizi, Opikobra, dan Tomy Herseta merupakan seniman-seniman yang tertarik mengangkat tema-tema berkaitan dengan bebunyian sehari-hari. Gagasan-gagasan yang muncul dalam kategori ini mencakup isu-isu seperti pengaruh linguistik dalam persepsi manusia, teknologi virtual, hingga isu-isu lingkungan keluarga dan sosial masyarakat secara umum.
Bunyi Esensial
Kategori bunyi esensial erat kaitannya dengan kecenderungan manusia untuk mengelaborasi ataupun mengembangkan hal-hal yang menjadi ketertarikannya. Setelah seorang manusia ‘selesai’ berkenalan dengan sebuah objek ataupun gagasan dan kemudian merasa memiliki ketertarikan terhadap objek ataupun gagasan tersebut, ia akan berupaya untuk memperdalam dan kemudian mengembangkannya menjadi hal yang (dalam kaitannya dengan pameran ini) lebih kompleks. Kategori bunyi esensial Bandung New Emergence Volume 6 menawarkan kompleksitas karya (tidak hanya gagasan, melainkan juga eksekusi, yang didalamnya mencakup material dan ruang presentasi karya) yang tentunya tetap berjangkar pada elemen bunyi. Elemen bunyi sebagai unsur esensial dalam bangunan gagasan, material, dan ruang yang kompleks, yang (bisa jadi) mengaburkan persepsi audiens.
Abbyzar Raffi dan Abshar Platisza mewakili kategori bunyi esensial dalam Bandung New Emergence Volume 6 ini. Keduanya mengelaborasi gagasan-gagasan seni bunyi yang beririsan dengan riset ilmiah berkaitan dengan makhluk hidup.
___________________________________________________________________
Bandung New Emergence Volume 6 merupakan perhelatan pertama Bandung New Emergence yang fokus pada satu medium, yaitu medium sound art. Perhelatan ini diharapkan dapat memicu lahirnya kajian-kajian lanjutan berkaitan dengan sound art hingga budaya aural di Indonesia yang sampai saat ini belum banyak dilakukan, terlebih khususnya di kota Bandung yang dikenal sebagai salah satu produsen seni musik (yang telah lebih dahulu dikenal sebagai bidang olah bunyi) berkualitas tanah air.
(Pengantar kuratorial untuk Bandung New Emergence Volume 6: Listen!, 18 November – 24 Desember 2016, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Indonesia)
Leave a Reply