Pendahuluan

“During his performance titled The Act of Seeing, Rizaldi sits in front of a digital projector wearing electrodes that measure electrical potential from his eye muscle movements. These electrooculargraphic signals (EOGs) are then generated into prepared visuals using software written by Rizaldi, determining the video’s colors and frame rate. The visuals are then projected back onto his body, with the light triggering his eye muscles, creating a feedback loop of audiovisual cinema. Also included in the feedback loop is audio generated by Rizaldi’s eye muscle movements.”1

Kutipan di atas merupakan deskripsi singkat yang diungkapkan sebuah media online, The Creators Project, berkaitan dengan karya Riar Rizaldi berjudul The Act of Seeing. Kompleksitas secara teknis kemudian dikombinasikan dengan sebuah gagasan yang juga bersifat spekulatif:

“As Rizaldi muses about his system, the feedback loop he creates in The Act of Seeing makes viewers question who is really in control: human or machine? As we move forward with wearable technology and even cybernetics, this question will have to be asked and answered.”2

Seni dan teknologi, keterkaitan dan interaksi di antara keduanya telah melahirkan banyak inovasi yang tidak hanya memperluas khazanah kesenian tetapi juga kehidupan manusia secara umum. Karya The Act of Seeing setidaknya menghasilkan dua aspek yang dilahirkan dari perkawinan antara seni dan teknologi: kompleksitas dan spekulasi. Bagaimana teknologi, yang dalam pemahaman seorang filsuf media, Marshall McLuhan, merupakan upaya memperpanjang ataupun perluasan tubuh dan pemikiran manusia, serta seni yang menekankan pada imajinasi, mampu (setidaknya) meramalkan apa yang akan terjadi di masa depan.

Intermedia hingga Teknologi Internet

Eksplorasi ataupun kombinasi antara seni dan teknologi, dalam sejarahnya, telah menghasilkan istilah-istilah seperti intermedia hingga seni media baru. Intermedia hadir di periode 1960-an ketika Dick Higgins menggunakan istilah tersebut untuk menggambarkan aktivitas yang dilakukan rekan-rekannya (seperti John Cage, George Maciunas, Nam June Paik, Yoko Ono, dll) dalam sebuah pergerakan kolektif bernama Fluxus. Seni video, seni performans, seni bunyi, dan varian kombinasi seni dan teknologi lainnya kemudian muncul dalam visi Fluxus yang berupaya menggabungkan keragaman disiplin. Begitu pun istilah seni media baru yang mulai digunakan dua hingga tiga dekade setelah Fluxus yang ditandai dengan pemanfaatan teknologi yang bersifat digital. Selain teknologi digital, perkembangan teknologi internet di masa sekarang juga telah menghasilkan sebuah fenomena lain dalam wilayah yang jauh lebih luas dari seni dan teknologi, dalam hal ini percepatan pertukaran informasi yang di dalamnya mencakup isu-isu yang bersifat global.

Internet, bagi Hans-Ulrich Obrist (seorang kurator, kritikus, dan sejarawan seni berkebangsaan Swiss), dalam bukunya berjudul Age of Earthquakes: A Guide to the Extreme Present (2015), yang ditulis bersama Douglas Coupland dan Shumon Basar, telah menghasilkan sebuah percepatan kehadiran masa depan. Percepatan tersebut, menurut Obrist, membuat manusia di era informasi mengalami extreme present3, sebuah kondisi dimana manusia tidak mampu lagi mengimbangi laju informasi di masa sekarang, hingga (mungkin) kesulitan memetakan masa depan. Obrist, secara khusus, melalui media online artsy.net, mengungkapkan gagasan proyek penelitiannya yang berkaitan dengan masyarakat generasi pertama yang tumbuh dengan internet. Obrist bekerja sama dengan Simon Castets, sebagai rekan penggagagas dan kurator, kemudian bersama-sama menamai proyek ini 89plus. Menurut Obrist, dalam artikel berjudul “What is the Future of Art?”, 89plus bukanlah sebuah upaya memprediksi ataupun menciptakan masa depan, melainkan sebuah upaya mendatangkan berbagai praktisi dari disiplin yang berbeda-beda melalui aktivitas seminar, pembuatan buku, pameran, dan residensi4. Proyek 89plus tersebut sedikit banyak beririsan dengan festival semacam Ars Electronica di Austria ataupun Transmediale di Jerman dimana terjadi beragam aktivitas yang melibatkan narasumber-narasumber ahli dari berbagai disiplin.

Ars Electronica merupakan sebuah festival yang pertama kali diselenggarakan pada tahun 1979. Festival ini setidaknya menekankan tiga aspek: seni, teknologi, dan masyarakat. Festival yang diselenggarakan di kota Linz, Austria, ini berupaya mengelaborasi istilah-istilah interlinkages (keterkaitan) dan congruities (keselarasan) melalui gagasan-gagasan yang inovatif, radikal, hingga eksentrik. Transmediale merupakan sebuah festival yang berbasis di kota Berlin, Jerman. Festival ini pertama kali diselenggarakan pada tahun 1988 dengan menggunakan nama VideoFilmFest (pada tahun 1989 disederhanakan menjadi VideoFest) sebagai bagian dari Berlinale’s International Forum of New Cinema. Pada tahun 1997, festival ini berganti nama menjadi Transmedia dan satu tahun kemudian menjadi Transmediale. Dalam perkembangannya, Transmediale memperluas cakupan aktivitasnya dari program presentasi video dan seni media menjadi sebuah festival berbasis keterkaitan-keterkaitan baru dalam seni, budaya, dan teknologi. Kedua festival tersebut, secara umum, menampakkan irisan-irisan aktivitas yang berkaitan dengan gagasan seni dan teknologi serta peleburan beragam disiplin. Gagasan peleburan hingga (mungkin) menghilangnya dominasi disiplin tertentu merupakan sebuah pemahaman yang seringkali dinamakan posdisiplin.

Apakah sebenarnya posdisiplin itu?

Disiplin dan Interaksinya

Secara umum, disiplin dapat dimaknai sebagai sebuah institusi yang mengontrol pola-pola ataupun metode-metode yang fokus pada sebuah tatanan subjek maupun objek. Disiplin berkaitan dengan kategorisasi cara pandang, prosedur, konsepsi, hingga teori-teori yang dikendalikan oleh komponen berpengaruh seperti lembaga ataupun institusi pendidikan. Dalam perkembangannya, keterbatasan metode ataupun cara pandang suatu disiplin dalam menyelesaikan permasalahan ataupun fenomena tertentu telah mendorong lahirnya ‘peminjaman’ metode dan cara pandang dari disiplin lain. Aktivitas ‘peminjaman’ cara pandang dari disiplin lain tanpa tendensi menghasilkan pengetahuan ataupun teori baru seringkali disebut sebagai metode multidisiplin. Sementara aktivitas serupa (dengan disiplin yang bisa dibilang tidak beririsan) yang bertujuan melahirkan pengetahuan dan pemahaman baru biasa disebut sebagai metode interdisiplin.

Metode silang disiplin di atas, baik multidisiplin maupun interdisiplin, keduanya tetap berpijak pada satu disiplin utama. Hal tersebut berbeda dengan metode silang disiplin lainnya, dalam hal ini posdisiplin, dimana penekanan ataupun pijakannya bukan pada satu disiplin utama melainkan pada permasalahan yang diangkat. Penekanan pada upaya problem-solving yang tidak dipandang dari disiplin tertentu ini yang kemudian memungkinkan meleburnya batas-batas cara pandang disiplin.

Wacana Posdisiplin dalam Perkembangan Seni Media di Indonesia

Berkaitan dengan gagasan seni dan teknologi, dalam hal ini seni multimedia di Indonesia, dalam kuratorial pameran Influx: Strategi Seni Multimedia di Indonesia (2011) Hendro Wiyanto mengungkapkan:

Media Baru itu sendiri sudah hadir sebagai suatu fakta atau realitas yang ada di hari ini. Para seniman, sadar atau tidak, menempatkan diri atau terjun langsung pada perkembangan mutakhir itu. Boleh jadi para seniman seperti ini tidak terlampau peduli dengan apa yang terjadi dengan perkembangan ‘seni’ di masa lampau dan lebih melihat kemungkinan apa yang bisa dikerjakan dengan semua yang terjadi di hari ini, yang selalu dibayang-bayangi oleh apa yang mungkin terjadi di masa depan. Teknologi media sepenuhnya telah membentuk budaya masyarakat dan mengubah batasan-batasan seni itu sendiri, sehingga terjadi peleburan di sana-sini antara apa yang dianggap seni, teknologi dan budaya sehari-hari.5

Isu peleburan dalam lingkup seni rupa di Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak periode Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI) di tahun 1975, namun peleburan yang juga melibatkan perkembangan teknologi media baru muncul pada periode 1990-an beriringan dengan berkembangnya istilah seni instalasi pasca Biennale IX Jakarta (1993). Pasca reformasi tahun 1998, muncul komunitas-komunitas yang mewadahi eksplorasi seni dan teknologi seperti House of Natural Fiber di Jogja dan Common Room di Bandung. Dalam cakupan wilayah yang lebih luas, muncul pula festival-festival seperti OK.Video yang digagas oleh Ruangrupa, Jakarta, festival Nu Substance oleh Common Room, hingga Bandung International Digital Arts Festival (BIDAF) yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Berkembangnya wacana seni dan teknologi ini juga mendapatkan respon dari institusi pendidikan seperti Institut Teknologi Bandung yang membuka pilihan studi intermedia di tahun 2007.

Fakta-fakta di atas sebenarnya menunjukkan bahwa medan seni Indonesia cukup responsif terhadap perkembangan seni dan teknologi. Namun, tetap menjadi sebuah pertanyaan besar apakah isu hingga tinjauan posdisiplin telah dipahami, baik oleh pihak produsen, dalam hal ini seniman, ilmuwan, hingga institusi-institusinya, maupun masyarakat secara umum sebagai apresiator. Yang jelas, kompleksitas yang cenderung mengarah pada spekulasi-spekulasi kebaruan dan masa depan yang identik dalam wacana posdisiplin setidaknya telah diawali melalui sikap responsif terhadap perkembangan seni dan teknologi di Indonesia.

 

Daftar Pustaka

  1. Pangburn, DJ. 2016. Eyes Control Light and Sound in a Cybernetic Feedback Experience. http://thecreatorsproject.vice.com/blog/eye-controlled-cybernetic-feedback-experience, 11 November 2016.
  2. Ibid.
  3. Obrist, Hans-Ulrich. 2016. What Is the Future of Art?. https://artsy.net/article/hans-ulrich-obrist-the-future-of-art-according-to-hans-ulrich-obrist, 10 November 2016.
  4. Ibid.
  5. Wiyanto, Hendro. 2011. “Strategi Seni Multimedia Ála Indonesia”, dalam katalog pameran Influx: Strategi Seni Multimedia di Indonesia. Jakarta: Ruangrupa.

 

(Esai untuk Kelas Penulisan dan Kuratorial Seni Rupa, 31 Oktober – 11 November 2016, Gudang Sarinah Ekosistem, Jakarta, Indonesia)

2 responses to “Tinjauan Posdisipliner dan Perkembangan Seni dan Teknologi”

  1. Your point of view caught my eye and was very interesting. Thanks. I have a question for you.

  2. Can you be more specific about the content of your article? After reading it, I still have some doubts. Hope you can help me. https://accounts.binance.com/ru/register-person?ref=V3MG69RO

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *