Proyek kolaborasi (con)struck, yang terdiri atas dua seniman, Eko Bambang Wisnu dan Teguh Agus Priyanto, dimulai sekitar pertengahan tahun 2016 lalu. Nama (con)struck berasal dari gagasan penggabungan beberapa kata dan makna: (con) sebagai singkatan dari confidence dalam frase populer con man yang bermakna seorang penipu, serta (con) dalam medan seni rupa (merujuk pada kritik Julian Spalding terhadap seniman Damien Hirst pada tahun 2012) yang selain bermakna identik (baca: seniman penipu) juga dikaitkan dengan kecenderungan karya yang konseptual, dalam hal ini istilah con art sebagai singkatan dari conceptual art. Begitu pun kata struck yang melengkapi nama (con)struck: struck sebagai sebuah kata tunggal bermakna ‘terkena’ ataupun ‘tersengat,’ serta struck sebagai bagian tak terpisahkan dari nama (con)struck yang secara pelafalan menyerupai kata construct yang bermakna ‘membangun’ atau ‘menyusun’.

Sesuai dengan judul pameran ini, (con)struck on Glass, Light and Reflection, proyek (con)struck (yang menekankan pada eksplorasi objek-objek readymade serta pemanfaatan karakteristik ruangan atau populer dengan sebutan eksplorasi seni site-specific) kali ini menekankan pada beberapa objek seperti benang, gelas kaca, lampu neon, dan cermin. Pemilihan objek-objek tersebut didasarkan pada ketertarikan kedua seniman (con)struck pada sesuatu yang bersifat sublim, cenderung spiritual. Pada proyek ini, (con)struck berupaya mengelaborasi gagasan tiga jenis hubungan ataupun komunikasi yang dilakukan oleh seorang manusia: dengan dirinya sendiri; sesama manusia; dan Sang Pencipta.

Melalui dua karya yang ditampilkan dalam pameran ini, kalimat on Glass, Light and Reflection kemudian tidak hanya dimaknai sebagai sekadar objek-objek (ataupun masing-masing karakteristiknya) yang dimanfaatkan oleh kedua seniman (con)struck. Hubungan timbal balik antara objek-objek seperti gelas, lampu, dan cermin dapat dimaknai sebagai sebuah proses pembelajaran (salah satunya melalui aktivitas melihat), berpikir, refleksi diri, memaknai, hingga memperoleh visi ataupun pencerahan. Begitu pun dengan objek lampu, benang tegak lurus, dan (lagi-lagi) cermin. Komunikasi antara ketiga objek ini setidaknya memberi gambaran hubungan atas-bawah (dan sebaliknya) antara manusia dengan Sang Pencipta, Sang Maha Pemberi.

Interpretasi di atas tentu tidak dimaksudkan untuk menyempitkan pemaknaan karya-karya dalam (con)struck on Glass, Light and Reflection. Kemampuan karya seni untuk menghasilkan sebuah sensasi sublim, sensasi-sensasi spiritual yang mencerahkan, bisa jadi sangat bergantung pada pengetahuan dan kemampuan imajinasi seseorang. Friedrich Nietzsche, dalam bukunya Human, All Too Human (1878), setidaknya memberi gambaran singkat mengenai hubungan visi manusia dalam karya seni dan aktivitas interpretasi-(spiritual)-nya:

“… Art and force of false interpretation. – All the visions, terrors, states of exhaustion and rapture experienced by the saint are familiar pathological conditions which, on the basis of rooted religious and psychological errors, he only interprets quite differently, that is to say not as illnesses… It is not otherwise with the madness and ravings of the prophets and oracular priests; it is always the degree of knowledge, imagination, exertion, morality in the head and heart of the interpreters that has made so much of them.”1

Terlepas dari sejauh mana pengalaman sublim/spiritual dapat diperoleh dari proses mencerap dan menginterpretasi karya-karya dalam pameran ini, (con)struck on Glass, Light and Reflection dapat dijadikan pemicu terjadinya aktivitas melihat-memperoleh (ilmu) ataupun sebaliknya. Seperti halnya diungkapkan oleh Edward Twitchell Hall dalam bukunya The Hidden Dimension (1966):

“… man learns while he sees and what he learns influences what he sees… If man did not learn as a result of seeing, camouflage, for example, would always be effective and man would be defenseless against well-camouflaged organisms. His capacity to penetrate camouflage demonstrates that he alters perception as a result of learning.”2

Penekanan pada aktivitas melihat tentu tidak bisa dilepaskan dari salah satu karakteristik eksplorasi (con)struck dalam hal pemanfaatan ruang melalui keterbatasan kemampuan mata manusia. Keterbatasan yang memicu hadirnya kecenderungan karya-karya seni yang bersifat ilusif atau populer dengan sebutan optical art (seringkali disingkat menjadi op art sejak Time Magazine mempopulerkannya di tahun 1964).

(con)struck on Glass, Light and Reflection… on being, by seeing through objects and contemplation.

 

  1. Hollingdale, R.J. 1996. Nietzsche, Human, All Too Human: A Book for Free Spirits (1878), halaman 68-69. Cambridge: Cambridge University Press.
  2. Hall, Edward Twitchell. 1966. The Hidden Dimension, halaman 66. New York: Doubleday.

 

(Pengantar kuratorial untuk (con)struck on Glass, Light and Reflection,  29 April – 1 Mei 2017, Ruang Gerilya, Bandung, Indonesia)

One response to “(con)struck on Glass, Light and Reflection”

  1. Can you be more specific about the content of your article? After reading it, I still have some doubts. Hope you can help me.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *