Intomedia merupakan sebuah upaya perancangan ruang diskusi, spekulasi, dan eksplorasi dalam ranah pemahaman seni media. Seni media atau (mungkin) seni media baru, seringkali problematik dalam hal pemahaman hingga pengkategorisasiannya, seperti halnya diungkapkan Beryl Graham dan Sarah Cook dalam Rethinking Curating: Art after New Media (2010),
“The artworks currently or formerly known as ‘new media art’ have amassed around them a varied nomenclature, including art & technology, art/sci, computer art, electronic art, digital art, digital media, intermedia, multimedia, tactical media, emerging media, upstart media, variable media, locative media, immersive art, interactive art, and Things That You Plug In.” (Graham, Beryl & Sarah Cook, 2010: 4)
Intomedia diharapkan dapat berfungsi sebagai jembatan pemahaman antara eksplorasi dan apresiasi terhadap seni media yang di dalamnya mencakup aspek material dan bentuk, aksesibilitas, hingga interaktivitas.
Intomedia (digagas dari frase dalam Bahasa Inggris, into media, yang dapat bermakna ‘menuju media’ ataupun ‘ketertarikan pada media’) merupakan sebuah gagasan kolektif yang melibatkan dua seniman dan dua penulis/peneliti yang fokus pada perkembangan pemahaman dan eksplorasi seni media. Keterlibatan media informasi dalam khazanah eksplorasi seni telah melahirkan banyak bentuk hibrid (yang tidak selalu ‘baru’, jika kata ‘baru’ dipahami sebagai sebuah hal yang bersifat temporal) di bawah naungan ranah seni dan teknologi. Dalam sebuah esai berjudul Inhabiting the Technosphere: Art and Technology Beyond Technical Invention, Ina Blom mengungkapkan bagaimana kondisi umum yang terjadi pasca 1989 ketika produksi kesenian melibatkan komponen teknologi:
It marks not just a shift in thinking that concerns our general understanding of media technologies and practices, but also one within artistic practice. Here, new media and information technologies are themselves objects of thinking, investigation, and imagination.1
Seni dan teknologi (lebih spesifik lagi, teknologi media) kemudian perlu ditunjang dengan beberapa pemahaman yang bersifat ganda. Pemahaman dalam ranah sejarah seni yang tidak hanya berupaya menemukan varian manifestasi artistik, tetapi juga implikasinya pada teori estetik. Serta teknologi media yang perlu dipahami dalam ranah produksi media informasi sekaligus juga sebagai gagasan medium artistik. Spektrum pemahaman yang saling mempengaruhi satu sama lain tersebut kemudian menginspirasi perumusan gagasan serta bentuk presentasi kolektif Intomedia.
Secara umum, inti gagasan Intomedia terbagi ke dalam dua spektrum utama, dalam hal ini, ketertarikan dan eksplorasi dua seniman yang terlibat, serta perumusan format presentasi yang (sekiranya) dapat mewakili gagasan seni dan teknologi (baca: seni media). Kedua seniman, Aditya H. Martodiharjo dan Riar Rizaldi, secara sekilas sama-sama memanfaatkan teknologi media informasi: Aditya dengan media proyektor dan seluloid, serta Riar yang mengeksplorasi teknologi media layar dan kamera portable (handycam). Dalam konteks perkembangan seni media, gagasan spesifik-medium Aditya cenderung merujuk pada pemahaman awal seni media yang seringkali disebut sebagai avant-garde media ataupun emerging media (fotografi, video, dan film), sementara Riar berada pada ranah yang lebih ‘kini’ dimana gagasannya berada dalam wilayah pemahaman intermedia yang terkesan lebih hibrid. Hal tersebut juga menempatkan Aditya dalam khazanah pendalaman medium yang cenderung eksploitatif (ataupun ekspansif dalam pemahaman expanded cinema), sementara Riar berupaya menghadirkan komponen interaktivitas, baik antar media maupun antara media dengan apresiator.
Eksplorasi Aditya dan Riar, meskipun melalui pengamatan di atas memiliki karakteristik dasar yang cenderung berbeda dalam linimasa seni media, keduanya nampak beririsan dalam pemahaman new media di era postmedia, seperti halnya diungkapkan oleh Beryl Graham dan Sarah Cook dalam Rethinking Curating: Art after New Media (2010):
… we describe new media as being characteristically about process rather than object… we are using verbs of behavior rather than nouns of medium to describe artworks. New media art has frequently had problems with categories of medium because of its mixed-media, multimedia, intermedia, or hybrid media nature. In acknowledgement of this difficulty with discrete media, some theorists have declared that we are now postmedia. The postmedium emphasis on behaviors and context is a highly useful one for considering new media art…2
Kedua bentuk presentasi karya, baik Aditya maupun Riar, sama-sama berorientasi pada cara ataupun pola kerja serta perilaku karya, bukan sebagai objek semata. Meskipun begitu, upaya kategorisasi ini pun seringkali problematik dimana istilah new media art juga identik dengan pemahaman eksplorasi media yang bersifat digital atau berbasis data serta pola interaksi dan distribusinya yang kompleks. Terlepas dari persoalan kategorisasi di atas, karya-karya yang ditampilkan dalam Intomedia merupakan gambaran bagaimana seni media dipahami sebagai sebuah bentuk eksplorasi media yang bukan berarti tanpa narasi, namun memiliki penekanan lebih pada pemahaman seniman terhadap perilaku ataupun cara kerja medium yang ia pilih.
Intomedia menjadi sebuah wadah bagi proses diskusi, spekulasi, dan eksplorasi kedua seniman yang ditopang oleh riset hasil kerja sama kurator dan penulis. Anis Annisa Maryam, sebagai peneliti/penulis berupaya memetakan kekaryaan kedua seniman dalam ranah spesifik seni media/intermedia hingga konteks yang lebih luas, dalam hal ini berkaitan dengan budaya teknologi di Indonesia. Kurator dalam hal ini berfungsi merumuskan format presentasi Intomedia yang terbagi ke dalam empat agenda utama (yang dilaksanakan dalam empat hari pameran): pameran karya, lokakarya (yang juga mencakup pemutaran film dan performans), ruang diskusi/artist talk, dan ‘perluasan’ pameran melalui penambahan presentasi karya-karya peserta lokakarya. Komponen karya, riset, dan format presentasi tersebut diharapkan dapat memicu pengalaman serta pemahaman baru berkaitan dengan pengembangan gagasan seni media di Indonesia, khususnya kota Bandung.
- Blom, Ina. 2013. “Inhabiting the Technosphere: Art and Technology Beyond Technical Invention”, dalam Alexander Dumbadze & Suzanne Hudson, Contemporary Art: 1989 to the Present, halaman 149. West Sussex: John Wiley & Sons, Inc.
- Graham, Beryl & Sarah Cook. 2010. Rethinking Curating: Art after New Media, halaman 5. Cambridge: The MIT Press.
(Press release dan pengantar kuratorial untuk INTOMEDIA, 28 Februari – 3 Maret 2017, Galeri Soemardja, Bandung, Indonesia)
2 responses to “INTOMEDIA”
-
Can you be more specific about the content of your article? After reading it, I still have some doubts. Hope you can help me.
-
Thanks for sharing. I read many of your blog posts, cool, your blog is very good.
Leave a Reply