Judul Buku      : PIAS: Kumpulan Tulisan Seni dan Budaya

Penulis             : Aris Setyawan

Penyunting      : Lelaki Budiman

Pengantar        : Cholil Mahmud, Erie Setiawan, Taufiq Rahman

Diterbitkan oleh Warning Books & Tan Kinira Books

Cetakan pertama, Maret 2017

xvii + 323 halaman; 13 x 19 cm

Tahun 2016 adalah tahun perkenalan saya dengan sosok Aris Setyawan. Saat itu, dalam rangka mengikuti Kelas Penulisan dan Kuratorial Seni Rupa yang diselenggarakan oleh Institut Ruangrupa dan Dewan Kesenian Jakarta (31 Oktober – 11 November 2016), saya berbagi kamar dengan Aris (juga Hardiwan Prayoga dari Sukoharjo, dan sesekali Bang Reza Mustafa dari Banda Aceh) di sebuah apartemen daerah Kalibata, Jakarta Selatan. Selama mengikuti kelas, selain banyak berbincang soal kesenian dan kancah musik tanah air, Aris yang lahir di Karanganyar, Jawa Tengah, dan menuntut ilmu di jurusan Etnomusikologi, Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta, sudah beberapa kali menyinggung soal penerbitan bukunya yang tertunda sejak tahun 2015. Akhirnya, pada tanggal 17 April 2017, buku Aris berjudul PIAS: Kumpulan Tulisan Seni dan Budaya, sampai juga ke rumah. Betapa senangnya (dan ikut lega) menggenggam kumpulan buah pikiran Aris dari tahun 2011-2015 ini.

Tulisan ini merupakan bentuk apresiasi pribadi terhadap pencapaian Aris Setyawan yang telah berhasil menelurkan karya tulisnya dalam bentuk buku kumpulan tulisan, di samping tentu karya musiknya bersama Aurette and the Polska Seeking Carnival. Secara formal biasa disebut sebagai resensi atau review, tetapi berhubung tulisan ini akan saya rilis di laman pribadi, saya akan menyampaikan opini tanpa harus dibatasi oleh selera ataupun preferensi yang dianut penyunting tertentu. Saya akan mempersilahkan Aris (yang juga seorang co-founder sekaligus editor-in-chief media seni dan budaya, Serunai.co) untuk menyunting ulang tulisan ini jika merasa tidak berkenan. Hehehe.

Seperti yang telah disebutkan di paragraf awal tulisan ini, buku berjudul PIAS: Kumpulan Tulisan Seni dan Budaya ini berisi tulisan-tulisan Aris Setyawan di berbagai media dalam kurun waktu 5 tahun. Dengan total keseluruhan 38 tulisan, buku ini berisi ragam pemikiran Aris dari mulai fenomena memotret makanan, telaah musik dangdut, keroncong, noise, John Cage, Ucok Homicide, analisis sosial-politik perihal angkringan, male chauvinism, petani-petani di Kulon Progo, hingga seks, avant-garde-isme, dan perhelatan Biennale Yogyakarta. Bermacam-macam topik tersebut disampaikan Aris melalui ragam bahasa yang terkadang sangat intim, santai, namun sesekali juga dijejali dengan rangkaian pengetahuan dan referensinya berkaitan dengan teori-teori sosial yang ia pelajari. PIAS: Kumpulan Tulisan Seni dan Budaya adalah salah satu medium untuk berkenalan dengan beberapa teori sosial-budaya (Jean Baudrillard, Michel Foucault, Pierre Bourdieu, hingga Theodor W. Adorno) sambil menyelami pengalaman Aris membaca dan menghadapi bermacam fenomena dan peristiwa, terutama di Indonesia.

Antara Langit dan Bumi

Rangkaian tulisan Aris Setyawan dalam buku PIAS: Kumpulan Tulisan Seni dan Budaya dibuka dengan perkenalan Aris pada pembacanya. Dalam tulisan berjudul Sekapur Sirih, Aris bercerita mengenai proses bagaimana ia akrab dengan buku dan kemudian bersentuhan dengan aktivitas menulis. Ia menceritakan pengalamannya di kampung halaman tempat ia dilahirkan, sebuah desa di lereng Gunung Lawu, yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bagaimana kedekatannya dengan buku dan perpustakaan di masa sekolahnya: “Menenteng buku yang saya pinjam dari perpustakaan, saya akan memanjat pohon tersebut, duduk di salah satu dahan yang paling nyaman, lalu membaca dengan tenang.”1 Ia lalu menceritakan pertimbangannya terkait pemilihan judul buku. Saya sempat heran dan sedikit bergurau ketika bertanya kepada Aris terkait pemilihan judul PIAS, “Ris, tahu nggak ‘pias’ itu artinya apa dalam Bahasa Sunda? Yakin mau pake judul itu?” Kata ‘pias’ dalam Bahasa Sunda berarti pucat dan saya tentu tidak menginginkan buku pertama Aris mendapatkan kesan tersebut. Tetapi Aris, dalam Sekapur Sirih, menuliskan bahwa PIAS bermakna diagram atau jalur, dan buku ini “bak diagram yang menggambarkan masalah-masalah di dunia sekitar,”2 lanjutnya.

Rangkaian tulisan Aris Setyawan dalam PIAS: Kumpulan Tulisan Seni dan Budaya memang berisi topik-topik yang tidak berjauhan dengan dunia di sekitarnya. Dibuka dengan tulisan bertajuk Pentingnya Sebuah Kritik Musik dan Makna (Musik) Mana yang Kita Bela? (keduanya merupakan tulisan Aris di tahun 2015), dunia musik memang merupakan salah satu ketertarikan utamanya dalam buku ini. Dengan total sekitar 17 tulisan dengan tema musik, pembaca yang punya ketertarikan yang sama dengan Aris bisa dengan mudah merasa ‘nyambung’ dengan pembahasan di musik dalam buku PIAS: Kumpulan Tulisan Seni dan Budaya. Hal lainnya adalah, Aris nampak selalu berupaya memposisikan dirinya di antara langit dan bumi. Langit adalah ranah wacana dan ide-ide besar, sementara bumi adalah praktik ataupun peristiwa faktual yang terjadi. Aris cukup cermat memadukan referensi teorinya yang ‘melangit’ dengan rangkaian fenomena yang terjadi di sekitarnya. Ia memperkenalkan pembaca dengan teori H. Stith Bennett perihal recording consciousness dan kaitannya dengan perilaku apresiasi musik di Indonesia, hingga gagasan soundscape yang diajukan oleh R. Murray Schafer sambil menelaah pemikiran etnomusikolog asal Jepang, Shin Nakagawa, yang meneliti karakter soundscape kota tempatnya menuntut ilmu, Yogyakarta.

Kombinasi antara teori dan analisisnya pun tidak hanya berujung pada bentuk tulisan yang semi-teoritis, Aris Setyawan cukup mampu berkelakar dengan bentuk-bentuk tulisan spekulatif, salah satunya adalah tulisannya di tahun 2014 berjudul Berperang Demi E’ek. Judulnya saja sudah membuat pembaca harus memilih antara merasa jijik atau justru tertawa. Meskipun begitu, tulisan Berperang Demi E’ek mampu menunjukkan kemampuan Aris dalam mengolah ragam referensinya, mulai dari Sejarah Tuhan Karen Armstrong, gagasan-gagasan konspirasi internasional Noam Chomsky, kemudian ia kaitkan dengan film, dokumenter, dan serial televisi seperti Fahrenheit 9/11 karya Michael Moore, The Corporation-nya Joel Bakan, hingga gagasan astrofisikawan Neil deGrasse Tyson dalam Cosmos: A Spacetime Odyssey. Kombinasi tersebut kemudian ia jadikan landasan untuk mengajukan spekulasi berkaitan dengan Pembangkit Listrik Tenaga E’ek (ia singkat menjadi PLTE). Ia menutup tulisan tersebut dengan kalimat imajinatif, “coba bayangkan betapa konyolnya jika beberapa tahun ke depan kita sesama umat manusia harus berperang demi e’ek.”3

Tulisan-tulisan mengawangnya juga diimbangi dengan banyaknya tulisan yang menunjukkan bahwa Aris Setyawan tidak pernah pergi terlalu jauh dari tempatnya berpijak. Tulisan pada tahun 2013 berjudul Tukang dimulai dengan kisah kedekatannya dengan sebuah warung makan sederhana yang menurut penuturannya berada di sekitar Tirtodipuran, berdekatan dengan sebuah ‘galeri seni legendaris.’4 Pengalamannya ‘makan kenyang cukup dengan Rp 6000’ di warung tersebut, sambil ikut berbincang atau sekadar mendengarkan obrolan tukang-tukang yang mampir ke warung, membuatnya berpikir dan menelaah makna kata ‘tukang’ yang kemudian ia kaitkan dengan pergunjingan kaum intelektual soal kemiskinan. Kepedulian Aris akan kondisi masyarakat di sekitarnya juga tercermin dalam tulisan-tulisan seperti Surat untuk Ikun: Mengenai Nasib Petani di Negeri Ini (2013) yang membahas upaya pembangunan tambang pasir besi di daerah pertanian Kulon Progo, perihal fenomena angkringan di Yogyakarta dalam Angkringan dan Hiperealitas (2012), hingga Robohnya Warung Kami (2012) yang diawali dengan memorinya tentang Toko Lestari di daerah Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, dan harus tergusur oleh fenomena minimarket ‘merah dan biru.’5

Aris Setyawan merupakan seorang penulis yang cukup piawai mengolah gagasan langit dan bumi. Membaca PIAS: Kumpulan Tulisan Seni dan Budaya sedikitnya akan memicu pembaca untuk tidak melulu melihat rencana ataupun ide-ide besar, tetapi juga sensitif terhadap kondisi ataupun peristiwa-peristiwa terdekat.

PIAS sebagai Diagram Tokoh-tokoh

Hal lain yang cukup menonjol dalam rangkaian tulisan Aris Setyawan dalam PIAS: Kumpulan Tulisan Seni dan Budaya selain analisis kritisnya perihal fenomena ataupun peristiwa adalah upaya memunculkan tokoh atau sosok-sosok tertentu. Mulai dari tokoh nyata seperti musisi muda A. Ragipta Utama dalam tulisan Menghayati Keberagaman Musik melalui Sambung Rasa (2015), sosok Muchtar Setyo Wibowo (atau Temon) yang menginspirasi lahirnya kelompok Temon Holic Lereng Lawu dalam Kenikmatan Bergoyang (2015), rekan satu almamaternya bernama Moch. Gigin Ginanjar atau Gigin ‘Rajin’ Sholat dalam Titik Titik Titik: Menjadi Avant-Garde itu Tidak Mudah, Bung!!! (2014), idolanya, Ucok Homicide, dalam Demi Ucok (2013), teman masa kecilnya Ikun dalam Surat untuk Ikun: Mengenai Nasib Petani di Negeri Ini (2013), hingga tokoh imajiner (atau mungkin sekadar nama samaran) seperti ‘gadis berusia jelang dua puluh tahun’ dalam Seniman Karbitan (2015), ‘Sam’ dalam Surat untuk Sam: Curhatan Hati Seorang Male Chauvinist yang Terusik oleh Rangka Tulang (2015), dan Keman serta ‘nenek penjual pisang’ dalam Seni Untuk Apa? (2013).

Sejumlah karakter di atas mampu dideskripsikan atau mungkin ‘diciptakan’ oleh Aris Setyawan seolah-olah dekat dengan pembaca. Hal tersebut mungkin saja menunjukkan potensi lain seorang Aris sebagai novelis. Dalam kategori tokoh imajiner, pembaca setidaknya dipancing untuk berimajinasi (jika kemudian menyerah untuk menebak) siapakah Sam dalam Surat untuk Sam: Curhatan Hati Seorang Male Chauvinist yang Terusik oleh Rangka Tulang? Penulis Sam Harris kah? Atau perupa Sam Durant? Bagaimana dengan ‘gadis berusia jelang dua puluh tahun’ dalam Seniman Karbitan? Apakah karakter ini merujuk pada sosok yang dekat dengan kehidupan pribadi Aris?

Begitu pun dengan tokoh-tokoh yang memang hadir di dunia nyata. Aris Setyawan mampu menggambarkan sosok-sosok tersebut dengan ragam kedekatan serta karisma yang ia munculkan. Perhatikan bagaimana Aris mengungkapkan kecanggungannya ketika bertemu idolanya, Ucok Homicide:

Apa yang saya lakukan setelah bertemu Ucok? Tak ada. Saya bingung harus ngapain. Tak mungkin saya bilang padanya bahwa saya jauh-jauh naik kereta ekonomi sebelas jam dari Yogyakarta cuma untuk bilang, “Saya ngefans situ loh, Bung.” Atau mencoba mencuri perhatiannya dengan mengungkapkan testimoni, “gara-gara lagu Bung, saya memutuskan kuliah.” Alangkah bodohnya kalau sampai kalimat itu saya lontarkan pada Ucok. Karena akhirnya saya akan berubah jadi fanatik membabi-buta yang menganggap artis pujaannya sebagai manusia tanpa dosa.6

Di satu sisi Aris mewakili dirinya sendiri ketika berhadapan dengan idolanya, namun di sisi lain, tulisan Aris juga mewakili banyak orang yang menghadapi kondisi serupa sambil mengingatkan secara halus akan bahaya mengagumi seseorang atau sesuatu secara membabi-buta.

Catatan untuk Pembuka Buku

Di luar aspek-aspek menarik yang dapat ditemukan dalam buku PIAS: Kumpulan Tulisan Seni dan Budaya, ada juga beberapa hal yang bisa dibilang cukup mengganggu. PIAS: Kumpulan Tulisan Seni dan Budaya dibuka dengan tulisan pengantar oleh Cholil Mahmud, seorang musisi yang dikenal melalui grup Efek Rumah Kaca dan Pandai Besi. Salah satu hal yang disinggung oleh Cholil dalam pengantarnya adalah perihal keterlambatan penerbitan buku. Menurutnya, efek samping keterlambatan tersebut adalah keusangan tema.7 Di satu sisi, pernyataan tersebut memang benar secara faktual, tetapi di sisi lain, bagi saya pribadi, pernyataan tersebut tidak terlalu penting untuk diungkapkan meskipun terkait dengan kemungkinan pembaca dapat menemukan buah pemikiran Aris yang paling mutakhir. Buku ini lebih tepat dijadikan sebagai sebuah perkenalan pada pemikiran-pemikiran Aris dalam kurun waktu tertentu. Toh kita tidak berekspektasi untuk mengetahui segala hal tentang seseorang atau sesuatu dalam periode perkenalan.

Erie Setiawan, seorang pengamat musik sekaligus direktur sebuah media penerbitan musik di Yogyakarta bernama Art Music Today, menjadi sosok kedua yang menuliskan kata pengantarnya dalam buku PIAS: Kumpulan Tulisan Seni dan Budaya. Di awal tulisannya, Erie mengungkapkan bahwa dirinya kebingungan karena buku PIAS tidak disusun berdasarkan “sub-tema yang terkonsentrasi.”8 Saya cukup heran mengapa kedua penulis yang diberi kehormatan untuk memberi pengantar buku Aris seolah kompak memulai tulisannya dengan pernyataan-pernyataan yang cenderung negatif. Cholil bahkan memulainya dengan kutipan dari film Ada Apa dengan Cinta, “Basi, madingnya udah siap terbit!”9 Bukankah ini dapat dianggap sebagai sebuah pernyataan tidak langsung, atau setidaknya memicu anggapan bahwa buku ini basi? Kembali pada pernyataan Erie, saya kira sudah sepatutnya ia mempelajari bahwa buku ini disusun berdasarkan tahun terbit tulisan dan bukan berdasarkan “sub-tema yang terkonsentrasi” tadi. Pernyataan Erie tersebut nampak membuatnya seperti belum selesai membaca buku atau mungkin kelewatan halaman xxvii – xxix yang menunjukkan bahwa kumpulan tulisan ini disusun berdasarkan tahun dan bukan tema.

Tulisan ini memang dimaksudkan untuk bersifat agak santai, tetapi maaf, saya agak sedikit tidak nyaman dengan bagian pembuka buku yang justru memicu rasa enggan untuk terus membaca. First impression itu penting. Setidaknya pernyataan-pernyataan yang cenderung negatif tadi bisa diletakkan di bagian tengah atau akhir tulisan masing-masing sebagai pengingat akan sebagian kekurangan buku ini, dan bukan di awal tulisan yang justru bersifat mengamplifikasi citra buku secara keseluruhan.

Kesimpulan

Secara umum, buku PIAS: Kumpulan Tulisan Seni dan Budaya merupakan buku yang tidak hanya menyenangkan untuk dibaca, tetapi juga mengajak pembacanya untuk banyak merenungi fenomena ataupun peristiwa-peristiwa yang hadir di sekitar. Dominasi penulisan musik dalam buku ini mungkin menjadi nilai tambah bagi para pembaca yang memiliki ketertarikan lebih dalam ranah musik. Namun, tulisan-tulisan dalam PIAS: Kumpulan Tulisan Seni dan Budaya sebenarnya mencakup banyak hal yang menjadi ketertarikan sang penulis. Tidak hanya musik, pembaca dapat menemukan topik-topik yang berkaitan dengan fenomena sosial, politik, seni rupa, hingga seks, dan budaya populer. Tulisan ini saya persembahkan untuk rekan saya, sang penulis, Aris Setyawan. Maafkan, Ris, baru sempat menyelesaikannya setahun setelah bukumu diterbitkan. Segera dapatkan buku PIAS: Kumpulan Tulisan Seni dan Budaya di toko-toko dunia nyata dan dunia maya terdekat dari tempat dan jari anda!

Catatan

  1. Setyawan, Aris. 2017. PIAS: Kumpulan Tulisan Seni dan Budaya, halaman xix – xx. Warning Books & Tan Kinira Books: Yogyakarta.
  2. Idem, halaman xxi.
  3. Idem, halaman 101.
  4. Idem, halaman 134.
  5. Idem, halaman 223.
  6. Idem, halaman 173.
  7. Idem, halaman ix.
  8. Idem, halaman xv.
  9. Idem, halaman ix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *