Sejarah Hibrida Sound Art

An art form is a hybrid one in virtue of its development and origin, in virtue of its emergence out of a field of previously existing artistic activities and concerns, two or more of which it in some sense combines.

– Jerrold Levinson

(Music, Art, & Metaphysics: Essays in Philosophical Aesthetics, 2011)

Aspek sejarah, bagi Levinson, merupakan komponen penting dalam upaya mendefinisikan sebuah karya seni. Sebuah objek, atau aktivitas, dapat dianggap sebagai karya seni melalui pembacaan rangkaian peristiwa yang terjadi sebelumnya. Hal tersebut kemudian ia kembangkan dalam pembahasan berkaitan dengan bentuk-bentuk seni yang ia sebut sebagai seni hibrida. Seni hibrida merupakan penggabungan antara dua atau lebih kecenderungan yang sebelumnya telah dianggap valid sebagai karya seni.

Seni bunyi (sonic art atau sound art dalam Bahasa Inggris), merupakan sebuah kecenderungan yang dapat dipahami sebagai sebuah bentuk seni hibrida. Secara presentasi, ragam kekaryaan seni bunyi erat berkaitan dengan ranah seni rupa yang meliputi bentuk objek, instalasi, hingga performans. Sementara aktivitas mengolah bunyi merupakan sebuah aktivitas yang telah lama menjadi tradisi seni musik. Seni musik pun beririsan dengan ranah lain seperti teater, tari, dan sastra dalam hal bentuk presentasi yang berupa pertunjukan. Melalui pemahaman tersebut, seni bunyi dapat dikategorikan sebagai sebuah bentuk hibrida yang mencakup hampir keseluruhan bentuk kesenian yang sudah terlebih dahulu membentuk tradisinya.

Robert Worby dalam esainya yang berjudul An Introduction to Sound Art (esai ini diterbitkan dalam buku terbitan British Council pada tahun 2006 dengan judul Sound and the City) menyebutkan bahwa seni bunyi atau sound art memiliki rangkaian sejarah dan tradisi yang kompleks:

Some are connected with the spoken word, with poetry, text and the voice. There is a tradition rooted in environmental concerns, noise pollution and ecology. Soundscape composers use sound to articulate something of the characteristics of a particular place or places. Radio and broadcasting have established their own traditions within the broad sweep of sound art. Some sound artists also work in film, video and photography. And, of course, there are sound artists, many sound artists, working across these traditions, borrowing ideas, aesthetics and techniques to make work that refuses to be neatly categorised or labelled.

Kompleksitas tersebut juga nampaknya terjadi dalam penelusuran jejak olah bunyi di Indonesia. W.S. Rendra melalui Teater Mini Kata-nya mengeksplorasi gerak dan bebunyian serupa mantra dalam nomor Bip Bop di sekitar tahun 1968. Priyanto Sunarto menggunakan istilah seni bunyi untuk mendeskripsikan puisi konkret gerakan Dada dalam esainya untuk buku Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (1979) berjudul Puisi Konkret = Seni Rupa = Seni Bunyi. Lalu, satu dekade sebelum Susan Philipsz memenangkan Turner Prize di tahun 2010 melalui karya instalasi bunyi-nya berjudul Lowlands, Heri Dono telah memamerkan karyanya berjudul Watching the Marginal People dalam sebuah pameran besar sound art pertama di Britania Raya berjudul Sonic Boom: The Art of Sound (2000) yang dikuratori oleh David Toop. Karya tersebut sebenarnya telah terlebih dahulu dipamerkan dalam Biennale IX Jakarta di tahun 1993-1994. Ragam olahan bebunyian di Indonesia kemudian semakin melebar melalui klaim sound performance oleh duo Jompet Kuswidananto dan Venzha Christiawan ketika mereka tampil bersama sebagai Garden of the Blind di Singapura pada tahun 2001.

Perhelatan Double-coding Sonic Art berupaya merespons kompleksitas sejarah olah bunyi serta kecenderungan hibridanya melalui ragam presentasi individu seniman. Satu seniman mempresentasikan setidaknya dua ragam presentasi seni bunyi. Bentuk kekaryaan dalam Double-coding Sonic Art mencakup perkembangan upaya dematerialisasi karya seni, tarik menarik antara yang ilmiah dan yang paranormal, yang nyata dan yang virtual, hingga upaya telaah fenomena bunyi melalui pemanfaatan perkembangan teknologi media.

Sebagai bagian dari perhelatan Soemardja Sound Art Project, perhelatan Double-coding Sonic Art diposisikan sebagai salah satu komponen penyokong wacana seni bunyi di Indonesia, khususnya kota Bandung, melalui sudut pandang perkembangan olah presentasi kekaryaan sound art atau sonic art.

 

(Pengantar kuratorial untuk pameran Double-coding Sonic Art,  26 – 28 Januari 2018, Lawangwangi Creative Space, Bandung, Indonesia)

One response to “DOUBLE-CODING SONIC ART”

  1. Can you be more specific about the content of your article? After reading it, I still have some doubts. Hope you can help me.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *