Fenomena Bunyi

Bunyi dipahami sebagai sebuah fenomena fisika ketika sebuah getaran, ataupun pemampatan gelombang, kemudian merambat melalui zat perantara atau medium yang dapat berupa zat cair, padat, maupun gas. Melalui pemahaman tersebut, bunyi yang kemudian sampai ke telinga manusia sebenarnya belum tentu merupakan sebuah bunyi yang orisinal, dalam artian bunyi asli yang langsung berasal dari sumber bunyinya. Secara sederhana, bunyi merambat melalui medium, dalam hal ini udara, dimana bebunyian yang berasal dari sumber bunyi lainnya juga ikut membaur sebelum kemudian tertangkap oleh indra pendengaran manusia. Karakteristik bunyi yang membaur di udara, ditambah lagi dengan sifatnya yang tak kasat mata, membuat fenomena ini seringkali dilewatkan begitu saja dalam aktivitas keseharian manusia.

Manusia seringkali melewatkan banyak peristiwa bebunyian di sekitarnya, meskipun secara teknis, telinga manusia merupakan salah satu indra yang tidak pernah beristirahat. Ketika tertidur, ragam peristiwa bebunyian terus menerus masuk ke dalam telinga. Meskipun peristiwa bebunyian tersebut tidak serta merta dapat disebut sebagai informasi, bebunyian yang masuk ke dalam telinga ketika tidur setidaknya tersimpan dalam alam bawah sadar manusia. Aural awareness atau kesadaran yang terkait dengan telinga ataupun indra pendengaran, merupakan sebuah pemahaman yang penting terkait dengan praktik kekaryaan seni bunyi atau sound art. Seni bunyi, sebuah istilah yang belum populer di Indonesia, merupakan sebuah fenomena lain berkaitan dengan bebunyian. Praktik eksplorasi bebunyian memang sudah menjadi tradisi lama dalam ranah seni musik, namun sejak dua hingga tiga dekade ke belakang, telah muncul kajian-kajian yang mengajukan sebuah gagasan akan eksplorasi baru bebunyian yang berbeda dengan pemahaman ataupun konvensi seni musik.

Seni bunyi, atau secara global disebut dengan istilah sound art, merupakan sebuah kecenderungan baru yang menuntut pemahaman bunyi di luar notasi, komposisi, hingga instrumentasi. Eksplorasi seni bunyi mencakup pemahaman peristiwa dan karakteristik bunyi, kaitannya dengan ruang, interaksinya dengan manusia, hingga aspek-aspek filosofi bunyi.

Sound, then, affirms an ontology of flux in which objects are merely temporary concretions of fluid processes. This flux ontology replaces objects with events, an idea nicely demonstrated in a book that provides another exemplary instance of sonic philosophy: Casey O’Callaghan’s Sounds: A Philosophical Theory (2007). Sounds are intangible, ephemeral and invisible; but, O’Callaghan shows, they are nonetheless real and mind-independent. Sounds persist in time and survive changes to their properties and qualities. Thus, they can’t be treated as secondary qualities (such as colors or tastes) that are relative to their observers; nor are they the properties of their sources, which cause or generate them but nonetheless remain distinct and separate. In short, sounds are not tied to objects or minds but are independently existing entities.

– Cristoph Cox

(Sonic Philosophy, Art Pulse Magazine, 2013)

Bicara soal belum dikenalnya istilah seni bunyi atau sound art, hal tersebut tidak hanya berkaitan dengan penelusuran sejarahnya yang kompleks dan bercabang. Dalam lingkup apresiasi seni bunyi, elemen utama karya, dalam hal ini bunyi itu sendiri, seringkali teralihkan oleh metode presentasi karya. Namun, bukan berarti karya seni bunyi harus tampil dengan metode presentasi yang hanya menghadirkan bebunyian semata. Dua metode presentasi yang populer dalam lingkup eksplorasi seni bunyi antara lain instalasi bunyi dan performans bunyi. Tidak hanya persoalan istilah dan cara penyajian, keduanya pun menuntut metode apresiasi yang berbeda. Perhelatan Immersed in Sonic Flux menyajikan eksplorasi seni bunyi dalam bentuk yang performatif. Berbeda dengan bentuk instalasi bunyi yang seringkali bersifat looping atau berulang, bentuk performans bunyi menggunakan pemahaman-pemahaman dalam ranah seni pertunjukan. Pemahaman soal peluang hingga aktivitas yang insidental seringkali menjadi poin utama dalam lingkup performans bunyi.

Immersed in Sonic Flux menawarkan sebuah bentuk elaborasi bebunyian yang menekankan aspek ruang, bunyi orisinal, hingga keterlibatan pendengar untuk membuka peluang hadirnya pengalaman bunyi yang personal. Setelah dibuka dengan penekanan historis dalam Double-coding Sonic Art, perhelatan Immersed in Sonic Flux merupakan komponen lain dari Soemardja Sound Art Project yang diharapkan dapat memperkaya pemahaman seni bunyi melalui aktivitas ‘memilih’ dan ‘mengalami’ sendiri peristiwa bunyi.

 

(Pengantar kuratorial untuk pertunjukan Immersed in Sonic Flux,  10 Februari 2018, Institut Francais Indonesia IFI, Bandung, Indonesia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *