Istilah ‘katarsis’ berasal dari kata dalam Bahasa Yunani, kathoros, yang berarti ‘untuk menyucikan’ atau ‘untuk membersihkan.’ Istilah ini telah digunakan dalam beberapa bidang keahlian, salah satunya bidang psikologi yang mengaplikasikan istilah katarsis untuk menggambarkan sebuah momen ketika seseorang, berdasarkan teori Freud, mampu melepaskan rasa sakit di masa lalu dengan cara mengartikulasikan segala kesakitan tersebut dengan jelas dan secara menyeluruh. Dalam ruang lingkup religius, katarsis bisa dimaknai sebagai pengalaman transenden yang membebaskan ataupun membersihkan jiwa. Penggunaan serta pemaknaan di atas merupakan perkembangan dari makna paling awal dari istilah katarsis. Aristoteles merupakan salah seorang filsuf yang paling pertama memberi pemaparan mengenai istilah katarsis. Bagi penulis, penting untuk memahami perkembangan paling awal dari sebuah istilah untuk kemudian bisa dikembangkan ke taraf yang lebih kompleks.
Aristoteles
Aristoteles (384-322 SM) merupakan murid Plato dan merupakan seorang guru bagi Aleksander Agung. Tulisan-tulisan yang merupakan buah pikirannya banyak berbicara mengenai fisika, metafisika, biologi, zoologi, sastra, teater, musik, logika, politik, etika, dan lain-lain. Bersama dengan Plato dan Sokrates, Aristoteles merupakan figur penting dalam generasi awal filsafat Barat. Dalam kajian metafisika, Aristotelesianisme mempengaruhi pemikiran filosofis dan teologikal tradisi Islam dan Yahudi di Abad Pertengahan, yang kemudian juga mempengaruhi teologi Kristen, terutama tradisi skolastik gereja Katolik. Di Abad Pertengahan, Aristoteles dikenal sebagai ‘The First Teacher’ di kalangan intelektual Muslim. Cicero, seorang filsuf Romawi Kuno yang juga merupakan salah satu orator dan sastrawan terbaik bangsa Romawi, menggambarkan gaya literal Aristoteles sebagai ‘A river of gold.’
Aristoteles menjadi sosok penting dalam kaitannya dengan istilah katarsis dalam sebuah presentasi yang dikemukakan oleh Bradley Elicker dari Temple University di sebuah konferensi filsafat pada April 2008 di New York. Presentasi Bradley Elicker yang berjudul ‘Mimesis, Catharsis, and Pleasure: An Investigation into Aristotle’s Tragic Pleasure’ memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai awal perkembangan dari istilah katarsis.
Pleasure
Elicker menjelaskan bahwa Aristoteles membicarakan Kesenangan Tragis (Tragic Pleasure) dalam dua cara: sebagai Kesenangan Mimesis (Pleasure of Mimesis) dan sebagai Kesenangan Katarsis (Pleasure of Catharsis). Untuk memahami kedua cara tersebut, diperlukan pengetahuan mengenai pemahaman Aristoteles tentang Kesenangan (Pleasure). Konsepsi ‘pleasure’ menurut Aristoteles dibahas dalam bukunya yang berjudul Nicomachean Ethics, di awal Book Ten, dimana Aristoteles mendefinisikan ‘pleasure’ sebagai sebuah aktivitas dan bukan sebuah proses. Aristoteles menulis:
“They hold that what is good is complete, whereas processes and becomings are incomplete, and they try to show that pleasure is a process and a becoming. It would seem, however, that they are wrong, and pleasure is not even a process.”
Dalam Metaphysics, Aristoteles menjelaskan perbedaan antara aktivitas dan proses. Dalam pandangan Aristoteles, setiap proses bertujuan atau memiliki kepentingan terhadap sebuah hasil akhir, sementara aktivitas akan menjadi sebuah hasil akhir di dalam maupun oleh dirinya sendiri. Proses membutuhkan ‘durasi’, sementara aktivitas akan berakhir dengan sendirinya ketika dilakukan:
“An activity has no need for anything else to complete its form by coming to be at another time.”
Menurut Aristoteles, ‘pleasure’ merupakan sebuah hal yang sama dengan aktivitas. Kesenangan (pleasure) tidak memiliki durasi:
“Seeing seems to be complete at anytime, since it has no need for anything else to complete its form by coming at a later time. And pleasure is also like this, since it is some sort of whole, and no pleasure is to be found at any time that will have its form completed by coming to be for a longer time. Hence pleasure is not a process either.”
Kesenangan (pleasure) akan berakhir segera setelah dialami.
Aristoteles mendefinisikan ‘pleasure’ ke dalam dua jenis pemahaman: Essential Pleasure dan Accidental Pleasure. Menurut Aristoteles, Accidental Pleasure muncul ketika ‘pleasure’ mengembalikan kita ke keadaan normal atau alami. Accidental Pleasure merupakan sebuah proses dan bukan aktivitas, sebagai ‘remedies of what is lacking.’ Terdapat tujuan atau hasil akhir yang diinginkan dalam proses Accidental Pleasure. Contoh dari Accidental Pleasure adalah rasa lapar yang harus dipenuhi dengan proses memakan sesuatu agar kondisi tubuh kembali ke keadaan normal, dalam hal ini ‘kenyang.’
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa ‘pleasure’ bukan merupakan sebuah proses, melainkan sebuah aktivitas. Lalu bagaimana Aristoteles bisa mengkategorikan Accidental Pleasure sebagai ‘pleasure’ sementara Accidental Pleasure dipahami sebagai sebuah proses dan bukan aktivitas? Aristoteles berargumen bahwa Accidental Pleasure ‘akan’ menjadi ‘pleasure’ atau ‘pleasurable’ apabila terjadi bersamaan dengan satu atau beberapa Essential Pleasure.
Apa yang disebut Essential Pleasure? Essential Pleasure merupakan ‘pleasure’ yang terjadi ketika kita telah terlebih dahulu berada dalam kondisi normal atau alami. Dalam hal ini, Essential Pleasure baru akan terjadi apabila kondisi tubuh kita tidak memiliki kekurangan apapun atau dengan kata lain telah terpenuhi. Aristoteles menyebut Accidental Pleasure sebagai ‘coincidentally pleasant’ sementara Essential Pleasure merupakan ‘pleasant by nature.’
Apabila dikembalikan pada contoh pemenuhan untuk memulihkan rasa lapar yang tadi telah dijelaskan, kita memahami Accidental Pleasure sebagai sebuah proses untuk memulihkan atau memenuhi rasa lapar tersebut. Letak Essential Pleasure dalam proses tersebut adalah ketika fungsi organ pencernaan untuk memenuhi proses tersebut mampu bekerja dengan baik. Proses pemulihan rasa lapar baru akan terasa ‘pleasurable’ ketika fungsi organ pencernaan bekerja dengan baik. Accidental Pleasure baru akan terasa ‘pleasurable’ ketika terjadi bersamaan dengan Essential Pleasure. Essential Pleasure memiliki peran yang besar dalam terjadinya ‘pleasure’ yang sebenarnya.
Katarsis
Aristoteles hanya menyentuh istilah katarsis dalam dua karyanya, Politics dan Poetics. Dalam Politics, Aristoteles menyebutkan bahwa seseorang yang mengalami perasaan memilukan atau ketakutan akan mengalami katarsis dengan cara mendengarkan lagu-lagu sakral, dengan begitu, ia akan merasa dipulihkan. Kesimpulan bahwa definisi katarsis adalah pemurnian atau penyucian emosi kemudian diperkuat dalam buku keenam, Poetics, yang menyebutkan bahwa Tragedi (Drama Yunani Kuno) menirukan perasaan pilu dan takut, dengan demikian Tragedi akan meng-katarsis emosi tersebut. Berkenaan dengan Tragedi, dalam pandangan penulis, Friedrich Nietzsche dalam bukunya The Birth of Tragedy, meskipun tidak secara langsung menyebut istilah katarsis, menganggap Tragedi sebagai sesuatu yang menyelamatkan masyarakat Yunani Kuno dari kesengsaraan. Tragedi sebagai sebuah karya seni. Sebuah hal yang membuat manusia mampu menerima penderitaan hidup.
Secara umum, katarsis seringkali dianggap sebagai sumber dari ‘pleasure’ yang diperoleh dalam ‘tragic pleasure’. Pada kenyataannya, Aristoteles mendukung definisi katarsis sebagai sebuah proses penyucian atau pemurnian dari emosi negatif. Dapat disimpulkan bahwa Aristoteles menganggap katarsis sebagai sebuah proses pemenuhan, sementara pendapatnya mengenai ‘pleasure’ ‘yang sebenarnya’ terletak pada pemahamannya mengenai Essential Pleasure yang akan menjadi ‘pleasure’ ketika tubuh telah dalam kondisi normal, bukan (dalam hal ini) memiliki kekurangan (emosi negatif). Seseorang yang mengalami ‘kegilaan religius’ bisa disembuhkan atau mengalami katarsis dengan cara mendengarkan lagu-lagu sakral. Organ pendengaran yang berfungsi dengan baik merupakan ‘pleasure’ yang sebenarnya (Essential Pleasure), sementara katarsis (Accidental Pleasure) baru akan menjadi ‘pleasurable’ ketika terjadi bersamaan dengan Essential Pleasure. Contoh lainnya dapat ditemukan dalam proses penciptaan sebuah karya, ‘pleasure’ yang sesungguhnya adalah ketika peralatan untuk berkarya mampu berfungsi dengan baik, sementara kebutuhan berkarya atau pemenuhan akan keinginan berkarya (katarsis) tidak akan menjadi ‘pleasurable’ ketika peralatan berkarya tersebut tidak berfungsi dengan baik.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa katarsis, dalam pemahaman Aristoteles, bukanlah merupakan ‘pleasure’ yang sebenarnya. Katarsis merupakan Accidental Pleasure dan baru akan menjadi ‘pleasurable’ dengan bantuan Essential Pleasure.
(Tulisan untuk diskusi Bungkus! Vol.5 Literature 12 Oktober 2013, Galeri Gerilya, Bandung)
3 responses to “Katarsis dalam Pandangan Aristoteles”
-
I don’t think the title of your article matches the content lol. Just kidding, mainly because I had some doubts after reading the article.
-
savefrom tiktok
I do consider all the ideas you’ve presented on your post.They are very convincing and can definitely work.
Nonetheless, the posts are very short for novices. Could you please extend them a little from subsequent time?
Thank you for the post. -
Your article helped me a lot, is there any more related content? Thanks!
Leave a Reply