INTRODUKSI

Rangkaian program seperti kelas, seminar, lokakarya, hingga pertunjukan ramai diselenggarakan secara daring belakangan ini. Program-program tersebut dianggap mampu memfasilitasi kondisi bekerja, beraktivitas, atau hanya berdiam diri di tempat tinggal masing-masing. Sebuah rutinitas yang telah berlangsung selama kurang lebih 2 hingga 3 bulan. Terbatasnya ruang gerak dan aktivitas fisik, dalam hal ini aktivitas di luar rumah, nampaknya membuat manusia jauh lebih menyimak. Banyak menonton, membaca, dan mendengar. Mari menelusuri aktivitas yang disebutkan terakhir.

Mengikuti beragam program daring yang ditawarkan banyak pihak setidaknya melatih manusia untuk mau berdiam diri di satu tempat atau posisi tertentu (di depan laptop atau sembari memegang gawai pintar). Berbicara tentunya tetap bisa dilakukan, tetapi sepertinya manusia lebih banyak mendengar dan menyimak hari hari ini. Kalau pun tidak sepenuhnya berkontemplasi, manusia seringkali berada dalam posisi tubuh yang bermeditasi. Menguatkan kesadaran indrawi, dan juga kebutuhan akan internet. Indra penglihatan dan pendengaran bisa jadi jauh lebih tajam. Mata dan telinga menjadi lebih terlatih.

Berbeda dengan mata yang menghadapi layar (dengan teknologi pixel yang terus menerus diupayakan untuk menghadirkan/menggantikan ruang nyata dengan ruang virtual), telinga masih mengalami fenomena fisik yang langsung dan nyata (terkecuali apabila menggunakan alat bantu dengar). Namun, apakah persepsi terhadap bebunyian tidak berubah sama sekali? Apakah cara dan metode mendengar manusia tetap sama? Lebih jauh lagi, apakah manusia menyadari pendengarannya sendiri?

BUNYI HARI INI

From my perspective, this makes sound a significant model for also thinking and experiencing the contemporary condition… Sound is promiscuous. It exists as a network that teaches us how to belong, to find place, as well as how not to belong, to drift. To be out of place, and still to search for new connection, for proximity. Auditory knowledge is non-dualistic. It is based on emphaty and divergence, allowing for careful understanding and deep involvement in the present while connecting to the dynamics of meditation, displacement, and virtuality.”

Brandon LaBelle (2010)

Pernyataan Brandon LaBelle di atas, dalam bukunya yang berjudul Acoustic Territories: Sound Culture and Everyday Life, menekankan posisi bunyi dalam kehidupan manusia hari ini. Bunyi bisa dicerap telinga secara sadar maupun tidak sadar. Konon, ketika manusia tertidur, telinga tidak pernah berhenti memproses bebunyian. Beberapa bunyi yang masuk ke telinga di kala terlelap bisa jadi memicu munculnya mimpi-mimpi tertentu. Terkait aspek lainnya, dalam hal ini perihal keterhubungan, LaBelle menekankan bahwa bunyi mengajarkan manusia untuk menyadari keberadaannya, untuk menelusuri sebuah tempat. Namun, bunyi juga berpotensi untuk mengaburkan kesadaran, untuk mengambang dan mengawang.

Bunyi tidak terlihat (selain juga karena peruntukannya yang memang bukan untuk mata), tetapi berupaya untuk dipercaya, dianggap sebagai indeks atau petunjuk. Seorang seniman yang berbasis di Beirut, Libanon, bernama Lawrence Abu Hamdan, mengolah gagasan bunyi sebagai bukti petunjuk dalam karyanya bertajuk Earwitness Inventory (2018). Sebelumnya, bunyi mungkin dianggap sebagai fenomena fisika yang selalu dicurigai keberadaan dan kebenarannya. George Santayana, dalam bukunya berjudul The Sense of Beauty: Being the Outline of Aesthetic Theory (1896), mengungkapkan:

Sound shares with the lower senses the disadvantage of having no intrinsic spatial character; it, therefore, forms no part of the properly abstracted external world, and the pleasures of the ear cannot become, in the literal sense, qualities of things.

Bunyi bisa jadi hampir tidak dipercaya sebagai materi, atau objek yang berada di dunia nyata. Bunyi tidak dapat digenggam dan sewaktu-waktu bisa menghilang. Namun kenyataanya, bunyi bersifat fisikal. Riar Rizaldi, seorang seniman asal Bandung yang berdomisili di Hong Kong, membuat sebuah spekulasi terkait perusahaan yang memproduksi senjata sonik, senjata dengan medium bunyi. Dalam karyanya bertajuk The Agency for Preserving Democracy (2018), teknologi/produk bunyi bernama V8 Raisa (Pengurai Massa) dijadikan studi kasus bagi fenomena bunyi yang ‘mengganggu’ secara fisik. Bunyi tertentu memiliki potensi bahaya terhadap fisik manusia, tetapi berapa banyak manusia yang sadar untuk menggunakan pelindung telinga dalam kondisi bising?

PERIHAL MENDENGAR

Pada tahun 1948, Pierre Schaeffer mengembangkan sebuah komposisi musik yang kemudian dikenal dengan sebutan musique concrete. Sebuah eksplorasi musik yang menggunakan elemen- elemen bunyi non-instrumental/non-instrumen musik konvensional seperti bunyi kereta api, kanal-kanal perahu, mainan, dan objek-objek lainnya. Schaeffer menamakan bebunyian tersebut sebagai sound object. Dalam bukunya berjudul Treatise on Musical Objects: An Essay Across Disciplines (1966), Schaeffer mengungkapkan keterkaitan antara teori sound object dengan metode mendengar secara akusmatik, “The sound object is never revealed clearly except in the acousmatic experience.”

Metode akusmatik (berasal dari Bahasa Yunani, akousmatikoi yang berarti ‘yang terdengar’ atau audible, atau hearers/pendengar) terinspirasi oleh metode pengajaran Pythagoras yang menggunakan tirai untuk menutupi dirinya ketika mengajar murid-muridnya. Bagi Pythagoras, metode akusmatikoi memungkinkan murid-muridnya untuk fokus pada suaranya, tidak terdistraksi oleh sosok atau aspek fisik dari sang pengajar. Gagasan tersebut kemudian diadaptasi Schaeffer menjadi metode mendengar yang berupaya menghilangkan imaji atau representasi objek di dunia nyata. Bunyi sebagai bunyi. Meskipun mendengar bebunyian kereta api, mainan, dan lain-lain, komposisi musique concrete justru menekankan pendengarnya untuk menghilangkan upaya membayangkan objek-objek tersebut. Metode akusmatik ini seringkali disebut juga sebagai metode blind hearing atau reduced listening (reduced dikarenakan upaya menghilangkan imaji).

Terkait isu metode pendengaran, dalam ranah kesenian, khususnya seni bunyi atau sound art, perbandingan atau pun upaya membedakan antara aktivitas hearing dan listening cukup ramai diperbincangkan. Dalam Bahasa Indonesia, hearing dan listening sama-sama diterjemahkan sebagai ‘mendengar/pendengar,’ tetapi setidaknya kata listening lebih dekat dengan pemaknaan ‘mendengar dengan saksama’ atau ‘menyimak.’ Telinga memiliki aspek atau kemampuan fokus (dalam kaitannya juga dengan keilmuan neurosains) seperti halnya mata. Telinga dapat memilah bebunyian mana yang dijadikan fokus dan kemudian mengaburkan atau mengacuhkan bebunyian lain di sekitarnya.

BUNYI DAN RUANG

Fenomena bunyi tidak dapat dipisahkan dari aspek ruang. Dalam hal ini, karakteristik bunyi yang memantul/terpantul dan menyerap/terserap akan selalu dipengaruhi oleh ukuran, material, hingga objek-objek yang mengisi ruangan. Dalam buku fenomenalnya The Medium is the Massage: An Inventory of Effects (1967), Marshall McLuhan memaparkan perbedaan pemahaman di antara dua jenis ruang, ruang visual (visual space) dan dunia bunyi atau ruang akustik (acoustic space):

We hear sounds from everywhere, without ever having to focus. Sounds come from ‘above,’ from ‘below,’ from in front of us, from ‘behind’ us, from our ‘right,’ from our ‘left.’ We can’t shut out sound automatically. We simply are not equipped with earlids. Where a visual space is an organized continuum of a uniformed connected kind, the ear world is a world of simultaneous relationships.

Dalam dunia mata, dunia objek, atau ruang visual, posisi benda-benda dapat terukur secara pasti. Benda di atas, di bawah, di belakang, di depan, di sudut, di samping, dan lain-lain. Sementara dalam dunia telinga atau ruang akustik, posisi bunyi tidak hanya mengisi keseluruhan ruangan, melainkan juga menembus ruangan. Bunyi yang sepertinya/dianggap berada atau muncul dari depan, sebenarnya juga terdengar di hampir keseluruhan ruangan, hingga ke luar ruangan, tentunya dengan intensitas yang berbeda. Perbedaan karakteristik inilah yang menarik perhatian Marshall McLuhan. Bagaimana ruang akustik atau dunia telinga mengajarkan sebuah fenomena fisik yang simultan dengan intensitas berbeda.

MENJADI BUNYI

Dalam sebuah artikel Art Pulse Magazine tahun 2013, seorang pemikir bernama Cristoph Cox, mengajukan gagasan bernama sonic philosophy (filosofi sonik). Cox mengungkapkan bahwa keilmuan filsafat seringkali menempatkan dirinya sebagai pengamat objek kajian tertentu, dan mungkin saja kehilangan beberapa aspek signifikan dari subjek atau objek yang dikaji.

For millennia, philosophy has conceived itself as the “queen of the sciences,” claiming the ability to reveal what its object cannot reveal about itself: the essence, nature or fundamental reality of that object. Philosophy thus dominates its object, subjecting it to philosophical rule. Convinced that its object is fundamentally ignorant about itself, philosophy is little concerned with what that object has to say on its own behalf.

Ia melanjutkan, bahwa dalam ajuan filosofi sonik-nya, Cristoph Cox menawarkan sebuah tantangan filosofis untuk berpikir secara bunyi dan bukan memikirkan bunyi:

How might one challenge this domination, allow the object to speak, put it on equal footing with philosophical thinking, permit it to generate concepts rather than solely to be subject to them? In the case of music and sound, what would it mean to think sonically rather than merely to think about sound? How can sound alter or inflect philosophy? What concepts and forms of thought can sound itself generate?

Gagasan filosofi sonik di atas menghasilkan tiga karakteristik bebunyian yang diperoleh dari metode ‘menjadi bunyi:’ flux, event, dan effect. Karakter flux menawarkan pemahaman bahwa bunyi bersifat simlutan, tidak terlihat dan bahkan tidak bisa digenggam secara fisik (intangible). Karakteristik tersebut menekankan bahwa bunyi muncul hadir di sekitar dan selalu bergerak, tidak statis. Bunyi juga merupakan sebuah peristiwa dan bukan objek. Karakteristik tersebut (Cristoph Cox menggunakan istilah event) memicu pemahaman bahwa bunyi bersifat sementara/temporal dan sewaktu-waktu dapat menghilang. Karakteristik ketiga yang ditawarkan oleh Cox adalah effects. Karakteristik ini memungkinkan bunyi untuk dipahami dan diteliti karena meskipun bersifat simultan, dimana-mana, dan sementara, bunyi tetap menghasilkan pola-pola yang berulang dan menghasilkan efek fisik tertentu. Bunyi tidak sepenuhnya acak. Cox menggunakan analogi musim sebagai contohnya. Manusia tidak akan bisa memahami pergantian musim atau ada berapa musim dalam satu lokasi tertentu, apabila kehadiran musim bersifat sangat acak. Di Indonesia, setidaknya kita mengenal adanya dua musim yang terjadi dalam rangkaian bulan-bulan tertentu. Hal tersebut dapat dipelajari melalui pola yang berulang di setiap tahunnya.

Gagasan filosofi sonik Cristoph Cox menawarkan cara pandang lain dalam memahami bunyi. Bunyi tidak selalu harus dipahami sebagai sebuah fenomena fisika melainkan juga sebagai sebuah entitas atau bahkan kehidupan tertentu.

BUNYI DALAM KESENIAN

Musik memang merupakan salah satu cabang kesenian yang fokus pada olah komposisi bunyi. Namun, setidaknya sejak periode 1990-an, muncul istilah baru (yang seringkali dianggap non-musik) dalam hal eksplorasi bebunyian, sound art atau seni bunyi. Meskipun istilah tersebut dianggap (salah satunya oleh penulis bernama Alan Licht) baru populer di periode 1990-an hingga 2000-an, upaya-upaya dan pemikiran terkait bunyi di luar pemahaman musikal bisa ditarik jauh dari periode tersebut. Salah satu titik penting dalam lahirnya perkembangan sound art adalah eksplorasi yang dilakukan oleh seorang komponis asal Amerika Serikat, Max Neuhaus. Neuhaus dianggap sebagai sosok yang menginisiasi dan mempopulerkan istilah sound installation (instalasi bunyi). Ia menyebut instalasi bunyi sebagai sound sculptures, sebuah padanan kata yang kemudian beririsan dengan cabang kesenian lainnya, dalam hal ini seni rupa. Salah satu karya instalasi bunyi-nya yang populer berjudul Times Square di New York.

Instalasi bunyi menawarkan bentuk lain dalam hal presentasi di ranah kesenian. Musik tidak lagi dipandang sebagai satu-satunya cabang kesenian yang mengolah dan mempresentasikan bunyi. Bunyi di kemudian hari, juga muncul di galeri seni rupa, museum, dan ruang publik dalam bentuk patung/objek berbunyi, instalasi, hingga performans. Melanjutkan pembahasan terkait instalasi bunyi, pada tahun 2012, Samantha Horseman menerbitkan sebuah tulisan jurnal berjudul The Presence of A Tri-polar Dynamic in Sonic Art Installation dalam sebuah konferensi tahunan ICMC (International Computer Music Conference) di Ljubljana, Slovenia. Dalam tulisan tersebut, Horseman menjabarkan aspek atau elemen-elemen yang penting dalam memahami instalasi bunyi:

In considering sonic art installation as a genre hinged on the tri-polar dynamics between self, sonic and physical components, we can begin to understand the significance of hermeneutics in its analysis: the same artwork becomes capable of multiple identities dependant on the particular individual completing the syncretic whole. This multiplicity seems to be a most relevant topic to many of today’s intermedia art forms.

Elemen-elemen yang hadir dan saling mempengaruhi satu sama lain dalam sebuah instalasi bunyi antara lain: sonic elements (elemen sonik), physical elements (elemen fisik), dan the perceiving individual (apresiator/oengunjung). Instalasi bunyi tentu sudah dipastikan memiliki elemen bunyi atau sonik, sementara elemen fisik yang dimaksud oleh Horseman adalah aspek objek atau instalasi serta ruangan tempat instalasi tersebut dipresentasikan. Besaran perbandingan ukuran instalasi dan ruangan akan mempengaruhi intensitas bunyi yang terjadi. Begitu pula dengan kehadiran apresiator, Horseman menyebut bahwa tubuh pengunjung bekerja seperti halnya elemen fisik di sekitarnya. The perceiving individual, dalam pemahaman Horseman, tidak hanya menunjukkan pengaruh tubuh apresiator terhadap intensitas bunyi, tetapi juga bagaimana bunyi dicerap oleh apresiator lainnya. Ketiga elemen tersebut membuat karya instalasi bunyi tidak dapat dicerap hanya melalui pemahaman objek fisik (populer dalam ranah seni rupa). Instalasi bunyi yang sama bisa dicerap secara berbeda apabila ditempatkan di ruangan dengan ukuran dan material berbeda, serta jumlah atau kepadatan pengunjung yang berbeda pula.

Karakteristik ruang dan materialnya serta kehadiran dan perilaku (cara mendengar) apresiator merupakan aspek-aspek penting yang banyak diperbincangkan dalam ranah sound art. Di Indonesia, beberapa pameran yang mengangkat eksplorasi sound art antara lain pameran Good Morning: City Noise!!! Sound Art Project (2007) di Galeri Soemardja, Bandung New Emergence Vol. 6: Listen! (2016) di Selasar Sunaryo Art Space, dan Soemardja Sound Art Project (2018) di Lawangwangi Creative Space, Institut Francais Indonesia (IFI) Bandung, Spasial, dan Galeri Soemardja. Pameran yang disebutkan pertama dikurasi oleh Aminudin TH Siregar dan Koan Jeff Baysa (Amerika Serikat). Dalam teks kuratorialnya, Aminudin mengajukan pernyataan yang menyebutkan bahwa sound art berbeda dengan musik:

Sound art bukanlah musik, tetapi ‘seni’ tentang sound itu sendiri sebagai medium yang pada gilirannya menempatkan sound sebagai subjek utama. Unsur ‘bunyi’ pada sound art bisa diperoleh melalui spoken word juga alat-alat elektronik atau segala sesuatu yang akan mengalihkan persepsi pendengaran kita.

Bunyi sebagai bunyi itu sendiri, sebuah gagasan yang bisa jadi beririsan dengan apa yang ditawarkan oleh musique concrete Pierre Schaeffer, tetapi dengan bentuk presentasi dan cara apresiasi yang berbeda. Yang jelas, memahami bunyi sebagai bunyi setidaknya memicu ragam pemikiran, kecenderungan, hingga eksplorasi dan bentuk presentasi seni bunyi. Priyanto Sunarto, dalam kaca mata sastra (dalam hal ini membahas puisi konkret), mengungkapkan pentingnya menelusuri hakekat bunyi. Dalam tulisannya berjudul Puisi Konkret = Seni Rupa = Seni Bunyi (diterbitkan dalam buku Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia yang disunting oleh Jim Supangkat pada tahun 1979), Priyanto menyatakan:

Bagi orang yang lebih prinsipiil, segala bentuk manipulasi hanya akan mengotori hakikat bunyi sebagai bunyi. Hendaklah bunyi ditanggalkan dari anasir arti, asosiasi, pretensi dan manipulasi agar dapat mencapai derajat kemurniannya yang tertinggi

(Esai untuk Kelas Isolasi #48: Filosofi Bunyi,  29 Mei 2020, Zoom Meeting Kelas Isolasi)