Pada tahun 2012, terjadi sebuah fenomena yang memancing perbincangan para internet aficionados. Seseorang atau kelompok (atau mungkin organisasi tertentu?) menuliskan pesan misterius dalam laman sebuah website berbasis imageboard, 4chan. Dibagikan pada tanggal 5 Januari, pesan tersebut berbunyi:
Hello. We are looking for highly intelligent individuals. To find them we have devised a test.
There is a message hidden in this image.
Find it, and it will lead you on the road to finding us. We look forward to meeting the few that will make it all the way through.
Good Luck.
3301
Menggunakan nama Cicada 3301, pesan tersebut diduga merupakan sebuah upaya perekrutan yang dilakukan oleh organisasi misterius. Melalui rangkaian kalimat, gambar, dan rekaman audio yang berkaitan dengan referensi budaya pop, literatur, hingga musik klasik, teka-teki Cicada 3301 menuntut pengetahuan dan kemampuan memecahkan kode-kode tertentu bagi siapapun yang tertarik untuk menelusurinya. Cicada 3301 terus menerus menaikkan tingkat kesulitan dalam rangkaian teka-tekinya. Lebih jauh lagi, beberapa petunjuk dalam teka-teki tersebut juga disebar di dunia nyata melalui tempelan poster atau flyer (bergambar serangga cicada atau jangkrik beserta QR code) di beberapa negara, dari Polandia hingga Australia (Hern 2014).
Salah seorang pengguna internet yang berhasil memecahkan teka-teki Cicada 3301 di tahun 2012 menyebutkan bahwa organisasi tersebut mengajukan gagasan terkait kebebasan informasi dan akses daring, terjaganya data pribadi di internet, dan penolakan pada upaya-upaya penyensoran. Setelah teka-teki tersebut dipecahkan, tidak ada informasi terkait kelanjutan upaya perekrutan Cicada 3301, sebelum akhinya tepat satu tahun kemudian, teka-teki tersebut kembali muncul. Kerumitan teka-teki yang dibagikan Cicada 3301 tidak menghilangkan antusiasme para pemerhati dan pengguna internet yang tertarik pada fenomena ini. Setelah teka-teki pertama berhasil diselesaikan oleh beberapa orang pada tahun 2012, teka-teki Cicada 3301 berlanjut setiap tahun hingga 2014 pada tanggal yang sama.
Pada tahun 2016, sebuah petunjuk ataupun teka-teki baru diduga muncul melalui media Twitter, namun satu tahun kemudian, tepatnya pada April 2017, muncul sebuah pesan bertuliskan:
Beware false paths. Always verify PGP signature from 7A35090F
Pesan tersebut dapat dimaknai bahwa teka-teki apapun yang muncul pasca tahun 2014 dengan nama Cicada 3301 merupakan teka-teki yang tidak valid. Teka-teki Cicada 3301 disebut-sebut sebagai teka-teki paling misterius dan kompleks dalam era internet. Sejak pesan terakhir di tahun 2017, keberadaan Cicada 3301 dan maksud dari teka-tekinya masih menjadi misteri di dunia maya. Teka-teki terakhir pada tahun 2014 berujung pada belum terpecahkannya sebuah buku sastra berbahasa Latin yang berjudul Liber Primus.
Latar Belakang “Buku Pertama”
Dalam Bahasa Indonesia, Liber Primus diterjemahkan menjadi “Buku Pertama.” Sebuah catatan ataupun petunjuk yang mengawali rangkaian upaya pencarian. Tentang sesuatu yang memunculkan ketertarikan, keingintahuan, hingga bahkan kejenuhan dan keengganan. Memilih tajuk Liber Primus dalam upaya menganalisis sebuah proyek artistik merupakan salah satu cara untuk membuka rangkaian kompleksitas ragam individu dan kekaryaannya. Seniman-seniman yang berpartisipasi dalam proyek Liber Primus merupakan individu-individu yang tumbuh dalam lingkup kota yang sama, namun melahirkan gagasan-gagasan yang tidak sepenuhnya terikat pada karakteristik sebuah kota. Meskipun begitu, latar belakang kota yang sama seringkali dijadikan pemicu bagi pembacaan karakter kekaryaan seorang seniman.
Fenomena menonjolkan identitas kota merupakan fenomena yang sudah terjadi, setidaknya di Indonesia, sejak periode pasca kemerdekaan di sekitar tahun 1950-an. Lahirnya dua institusi pendidikan seni di dua area berbeda di Pulau Jawa, Institut Seni Indonesia (ISI, dahulu bernama ASRI, Akademi Seni Rupa Indonesia) di Yogyakarta dan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB, dahulu bernama Universitaire Leergang voor de Opleidingvan Tekenlelaren) di Bandung, memicu upaya-upaya pembacaan terkait kecenderungan estetik yang dimunculkan oleh masing-masing institusi tersebut. Pembacaan-pembacaan kecenderungan estetik akademi seni rupa yang kemudian diperluas menjadi karakteristik eksplorasi artistik yang mewakili sebuah kota. Dalam tulisan kritik untuk pameran Akademi Seni Rupa Bandung pada tahun 1954 bertajuk Bandung Mengabdi Laboratorium Barat (Mingguan Siasat, 5 Desember 1954), Trisno Sumardjo cenderung mengerucutkan lingkup kesenian kota Bandung ke dalam satu institusi seni (dalam hal ini FSRD ITB) yang kemudian juga populer dengan sebutan mazhab Bandung atau Bandung School (istilah yang digunakan kurator Jim Supangkat dalam bukunya Indonesian Modern Art and Beyond, tahun 1997). Terdapat dua pameran lain di periode 1950-1960-an yang juga menggunakan identitas Bandung sebagai tajuk pameran: 12 Pelukis Bandung (1958) dan Sebelas Seniman Bandung (1966) (Gumilar 2013, 1).
Fenomena lainnya terjadi pada pertengahan periode 2000-an hingga memasuki tahun 2010-an (sebuah periode yang diidentifikasi sebagai periode ‘boom seni rupa Indonesia’ kedua) ketika muncul beragam perhelatan dengan penekanan “Bandung” sebagai tajuk utama. Petisi Bandung (edisi pertama pada 2005 dan edisi kedua pada tahun 2007, diselenggarakan di Langgeng Gallery, Magelang), Bandung Art Now (diselenggarakan di Galeri Nasional Indonesia pada tahun 2009, pameran ini merupakan kelanjutan sekaligus penutup dari perhelatan Petisi Bandung), Bandung Initiative (diselenggarakan di Jakarta sebanyak 5 kali dalam rentang waktu 2008-2010, pameran ini diinisiasi oleh ArtSociates, Roemah Roepa, dan Vanessa Art Link), hingga Bandung New Emergence (pameran yang diinisiasi Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, dan telah diselenggarakan sebanyak 6 edisi dalam rentang waktu tahun 2006-2016).
Fenomena yang terjadi di periode 1950-1960an seringkali dijadikan sebagai basis sejarah bagi munculnya upaya-upaya penyelenggaraan pameran dengan identitas Bandung di periode pertengahan 2000-an. Hal tersebut juga diperkaya dengan agenda meningkatkan produktivitas eksplorasi artistik di kota Bandung yang dianggap mengalami kemunduran di periode 1990-2000an. Kurang lebih satu dekade pasca terjadinya fenomena di atas, seberapa penting penggunaan identitas Bandung dalam sebuah perhelatan seni rupa saat ini?
Karakteristik Personal, Tempat, dan Ruang Fisik di Era Informasi
Dalam buku The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962) dan Understanding Media (1964), Marshall McLuhan (1911-1980, seorang teoritikus media asal Kanada) berupaya mengelaborasi satu istilah yang ia sebut sebagai global village. Istilah ini mengacu pada perkembangan media dan teknologi informasi di masa depan yang memudahkan aktivitas komunikasi serta mampu menghubungkan ragam individu di berbagai belahan dunia. Perkembangan tersebut berimplikasi pada berubahnya cara pandang serta pemahaman individu terhadap ragam aspek kehidupan seperti agama, sosial, politik, hingga ekonomi. Isu-isu global seolah sangat dekat dengan individu di berbagai belahan dunia yang kemudian memunculkan kesan bahwa jarak antar negara atau bahkan benua menjadi tidak terlalu signifikan.
Teknologi internet saat ini sedikit banyak membenarkan ramalan McLuhan di periode 1960-an di atas. Bagaimana individu-individu di masa sekarang dapat dengan mudah mengakses ragam informasi melalui smartphone di genggaman mereka. Isu globalisasi yang telah muncul setidaknya setelah tahun 1989 seolah menjadi kenyataan. Manusia dengan teknologi internet bertransformasi menjadi bagian dari masyarakat global yang tidak hanya bicara soal hal-hal yang dekat secara fisik, tetapi juga dekat secara nalar melalui akses ke dalam dunia maya. Lantas, ketika manusia telah diterjang dan dirasuki oleh beragam isu global, apakah persoalan tempat dan ruang fisik menjadi tidak signifikan?
Pada kenyataannya, menjadi global tidak selalu berimplikasi pada meleburnya gagasan identitas dan ruang fisik menjadi satu entitas dunia. Dalam beberapa hal, mengakses dan berinteraksi dengan globalisasi justru memunculkan pertanyaan serta keinginan untuk mencari kekhasan identitas dan latar belakang masing-masing individu. Manusia berlomba-lomba untuk menjadi entitas unik di tengah masyarakat yang secara umum mampu mengakses ragam informasi yang sama. Pencarian identitas dilakukan dengan terlebih dahulu menjelajahi dan mengalami dunia. Pendek kata, tidak berbeda jauh dengan upaya pencarian identitas di masa lalu sebelum hadirnya internet. Yang menjadi perbedaan hanyalah seberapa luas dunia yang dipahami di masa lalu dan di masa kini. Namun, apakah teknologi internet saat ini benar-benar memperluas khazanah dan cara pandang, sekaligus juga mempersempit jarak dunia?
Pada tahun 2010, Eli Pariser mempopulerkan istilah filter bubble yang kemudian ia publikasikan dalam bentuk buku dengan judul yang sama di tahun 2011. Pariser mengungkapkan bahwa algoritma filter bubble memungkinkan pengguna internet untuk mendapatkan ragam informasi yang disesuaikan dengan selera masing-masing individu. Ketika seorang pengguna internet mencari informasi dengan kata kunci tertentu, algoritma ini akan menyimpan dan merekam aktivitas pencarian tersebut untuk kemudian diolah menjadi ajuan-ajuan informasi yang ditawarkan kembali kepada pengguna tersebut. Fenomena ini berpotensi ‘menjebak’ individu, atau sang pengguna, untuk merasa nyaman berada di lingkaran seleranya sendiri. Kemungkinan terburuk dari hadirnya algoritma filter bubble adalah menyempitnya cara pandang dunia dari seorang individu. Dalam bahasa Pariser, “A world constructed from the familiar is a world in which there’s nothing to learn… (since there is) invisible autopropaganda, indoctrinating us with our own ideas.” (Pariser 2011, 22)
Apabila dikaitkan dengan ramalan Marshall McLuhan terkait istilah global village, algoritma filter bubble nampaknya bukan merupakan perkembangan teknologi yang memperpendek jarak dunia, tetapi mempersempit jangkauan pemahaman manusia. Bukankah teknologi tersebut justru berpotensi menghasilkan individu-individu yang sibuk dengan dunianya sendiri dan lebih buruk lagi, melahirkan pemahaman dan pemikiran-pemikiran yang sempit? Atau justru menjadi positif dengan menghasilkan ragam potensi individu melalui bangunan-bangunan karakteristik pemahaman dan pemikiran yang semakin esoterik?
Dalam kaitannya dengan perhelatan Liber Primus, melalui terbukanya akses pada teknologi internet, apakah karakteristik individu seniman saat ini dapat dikategorisasikan berdasarkan tempat dan wilayah yang sama? Atau justru individu saat ini merupakan tempat lahirnya kategorisasi bagi beragam isu yang dilontarkan ke dunia? Kota atau wilayah bukan lagi sesuatu yang berpotensi mempengaruhi individu. Justru sebaliknya, individu yang menjadi pengaruh bagi berkembangnya karakteristik wilayah tertentu. Dalam hal ini, direpresentasikan melalui kompleksitas karya individu seniman.
Perhelatan Liber Primus dapat dipahami sebagai sebuah arena tempat berkumpulnya ragam individu seniman yang menawarkan variasi pembacaan dan pemahaman. Seperti halnya entitas Cicada 3301 yang hingga saat ini masih berupa dugaan-dugaan (apakah individu, kelompok, kolektif atau organisasi tertentu), gagasan besar perhelatan Liber Primus, meskipun dapat diidentifikasi sebagai hasil karya sekelompok individu seniman, tidak bisa dengan sederhana dimaknai sebagai sebuah pameran yang diikuti oleh seniman-seniman yang berasal dari wilayah atau kota yang sama. Karya-karya seni yang ditampilkan merupakan teka-teki yang menjadi bagian dari Liber Primus.
(Esai untuk pameran Liber Primus, 2 – 31 Maret 2019, Semarang Gallery, Semarang, Indonesia)
Daftar Pustaka
Gumilar, Ganjar. 2013. “Kajian Pendekatan Kuratorial terhadap Pameran-pameran dengan Label Bandung Periode 2000-2012.” Jurnal Seni Rupa Institut Teknologi Bandung. http://www.senirupa.itb.ac.id/wp-content/upload/jurnal/jurnal-17008501.pdf.
Hern, Alex. 2014. “Cicada 3301: I tried the hardest puzzle on the internet and failed spectacularly.” Diakses pada 10 Februari, 2019, pukul 23:50. https://www.theguardian.com/technology/2014/jan/10/cicada-3301-i-tried-the-hardest-puzzle-on-the-internet-and-failed-spectacularly.
Pariser, Eli. 2011. The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You. London: Penguin Press.