Perihal Sirkulasi Penanda, Kuasa, dan Kekosongan
Derasnya produksi, distribusi, dan konsumsi informasi hari-hari ini seolah membuat manusia harus memilih untuk turut beradaptasi secara cepat dengan risiko tingkat stres yang tinggi atau bersikap tak acuh dengan harapan menjalani hidup dengan lebih tenang. Secara umum, kecepatan sirkulasi informasi di era internet berdampak pada meluapnya kemungkinan konsumsi tanda dalam keseharian manusia. Di satu sisi, manusia dituntut untuk lebih selektif dalam menyaring banjirnya tanda dan informasi, namun di sisi lain kebutuhan atau bahkan tuntutan untuk berbagi secara cepat telah melahirkan proses seleksi tanda dan informasi yang dangkal.
Perkembangan teknologi media semakin memudahkan manusia untuk mengakses ragam informasi. Di masa lalu, kecepatan memperoleh informasi mungkin adalah sebuah kemewahan, contohnya mulai dari berlangganan koran terbitan pagi dan sore hari, siaran radio, hingga televisi. Saat ini, hampir seluruh kemewahan tersebut benar-benar dalam genggaman melalui perkembangan teknologi gawai pintar. Kemudahan dan keleluasaan dalam memilih informasi seolah menjadi nilai jual dan rayuan teknologi informasi terkini, dalam hal ini internet, bagi para penggunanya. Perkembangannya yang termutakhir bahkan mampu menyaring informasi-informasi yang disesuaikan dengan preferensi pengguna. Sebuah kemajuan yang di satu sisi memanjakan pengguna, namun di sisi lain juga mengurung, dalam artian worldview pengguna yang dibatasi oleh seleranya sendiri.
Mendengar frasa Penanda-Penanda Kosong sedikit banyak mengantarkan imaji kita pada pemahaman akan sesuatu yang ‘pernah’ dikonstruksi dan dipercaya secara bersama-sama, namun kemudian berakhir dengan (ingin) dilupakan atau bahkan dilawan. Sekilas menyerupai simbol-simbol masa lalu yang maknanya semakin terkikis dan digantikan simbol-simbol baru. Persoalan kemajuan atau mungkin lebih tepatnya kesadaran memang hampir selalu memunculkan upaya-upaya baru untuk melebihi ataupun meninggalkan sesuatu yang dianggap ‘usang.’ Atas nama kemajuan dan kesadaran baru, banyak hal telah ditinggalkan.
Lantas apa manfaat memikirkan dan memaknai sebuah pemicu tanda (baca: penanda) ketika tanda tersebut telah dianggap usang atau bahkan hilang makna (kosong)?
1 Menelusuri Penanda
Dalam kajian semiotika, dalam hal ini metode semiologi Ferdinand de Saussure dan Roland Barthes, penanda dapat dimaknai sebagai komponen pemicu petanda yang kemudian menghasilkan sebuah tanda. Dalam ranah visual, penanda mencakup aspek-aspek yang tercerap oleh indra penglihatan dan kemudian memicu asosiasi terhadap gagasan ataupun pemikiran tertentu. Contoh sederhana adalah pemanfaatan rambu ataupun sign system yang diawali dengan proses penyederhanaan bentuk-bentuk visual dari aktivitas tertentu dan kemudian menghasilkan makna, aturan atau perintah yang disepakati bersama. Melalui contoh tersebut, upaya produksi penanda menunjukkan adanya aspek kuasa, dalam hal ini adalah pihak-pihak yang mengharapkan terjadinya keteraturan dalam ruang tertentu.
Contoh lainnya muncul dalam aktivitas menggagas sekaligus memproduksi logo perusahaan atau lembaga. Logo dipercaya sebagai bentuk representatif sebuah identitas dan oleh karena itu, logo diwajibkan untuk memenuhi karakteristik tertentu dan hampir selalu menuntut aspek otentisitas. Aplikasi logo tidak sepenuhnya bersifat/berupaya ‘mengatur’ seperti halnya rambu, namun sang pemilik modal tentu memiliki kekuasaan dan keleluasaan dalam mengatur bagaimana wajah perusahaannya harus tampak di publik. Pada praktiknya, logo tidak hanya dipahami sebagai identitas perusahaan tertentu, tetapi juga identitas dan status sosial individu yang mengonsumsinya. Individu terjebak oleh nilai logo yang dianggap berbanding lurus dengan popularitas sang pemilik logo dan kemudian diharapkan mampu mengubah status sosial sang individu.
Di samping korporasi ataupun institusi komersial, produksi penanda juga dilakukan oleh institusi-institusi berbasis sosial hingga religi. Beragam simbol dan aturan terus menerus dipelihara hingga kini. Lain halnya dengan korporasi yang memanfaatkan logo sebagai daya tarik konsumennya, institusi hukum, sosial, dan agama menggunakan kuasa di atas dirinya (pemerintah, hukum negara, hingga Tuhan) sebagai penanda yang tidak bisa diganggu gugat. Kuasa absolut. Manusia dalam hal ini ditempatkan tidak hanya sebagai konsumen tetapi juga pihak yang harus tunduk sepenuhnya. Institusi-institusi hukum, sosial, dan agama hampir dapat dipastikan selalu memproduksi penanda absolut.
Ragam aturan dan ketentuan, dalam bentuk teks, ritual atau gerakan, dan visual, kemudian menjadi batasan-batasan terluar dalam aktivitas keseharian manusia. Di satu sisi, penanda-penanda yang diproduksi oleh institusi hukum, sosial, dan agama bersifat seperti rambu yang diharapkan mampu menciptakan keteraturan. Namun di sisi lain, rambu-rambu hukum, sosial, dan agama seringkali dipahami, hingga bahkan dimanfaatkan, untuk kepentingan-kepentingan , dalam hal ini individu atau kelompok tertentu yang merasa layak ‘menghakimi’ individu dan kelompok lain. Fenomena tersebut seolah makin nampak belakangan ini ketika teknologi internet memungkinkan kecepatan dan kemudahan dalam mengakses ragam informasi.
Melalui pemahaman terkait bagaimana penanda (teks dan visual) dimanfaatkan oleh pihak-pihak kuasa ditambah dengan kecepatan sirkulasi informasi saat ini, manusia seolah dihadapkan pada ragam persoalan yang jauh lebih kompleks ketimbang hanya menjadi konsumen-konsumen penanda. Manusia dituntut untuk lebih kritis dalam memahami ragam informasi yang terus menerus diproduksi jika tidak ingin terjebak dalam kebebasan semu yang diciptakan oleh pihak kuasa.
2 Kuasa Baru Institusi Seni
Berkembangnya internet secara komersial di akhir periode 1980-an hingga awal 1990-an sedikitnya beririsan dengan isu globalisasi dan lebih spesifik lagi, perkembangan seni kontemporer dunia. Dalam buku Contemporary Art: 1989 to the Present (2013), Tim Griffin mengungkapkan bahwa globalisasi merupakan aspek mendasar yang membentuk kerangka-kerangka institusional seni kontemporer saat ini. Ia menyebut pentingnya periode 1989 dalam sejarah globalisasi melalui peristiwa-peristiwa politik seperti runtuhnya Tembok Berlin, berakhirnya apartheid di Afrika Selatan, dan terjadinya eksekusi para demonstran yang mendukung demokrasi di Tiananmen Square, Cina.1 Peristiwa-peristiwa tersebut memicu lahirnya pemikiran-pemikiran baru terkait ideologi, subjektivitas, hingga identitas poskolonial yang kemudian diperkuat melalui perkembangan niaga dan teknologi.
Berkembangnya aspek perdagangan dan teknologi kemudian berperan dalam membentuk institusi-institusi baru yang menaungi perkembangan seni kontemporer dunia. Mulai dari produksi pameran, biennale, hingga ragam pusat-pusat kebudayaan yang di satu sisi memfasilitasi ragam eksplorasi seniman, namun di sisi lain menjadi pihak-pihak kuasa yang kemudian menjadi penentu bagaimana seni diproduksi, didistribusikan, hingga dikonsumsi. Di Indonesia khususnya, periode 1990-an ditandai dengan lahirnya bentuk-bentuk hubungan seni rupa bilateral dengan negara-negara seperti Jepang dan Australia yang menghasilkan forum Asia Pasifik seperti Asia Pacific Triennial (1993). Di masa sekarang, muncul fenomena-fenomena baru terutama pasca periode boom seni rupa kedua di pertengahan periode 2000-2010. Setelah sebelumnya bermunculan galeri-galeri komersial dan para kolektor baru, medan seni rupa Indonesia saat ini diperkaya dengan ragam bentuk residensi seniman melalui institusi-institusi seni seperti galeri, museum, pusat kebudayaan, perhelatan art fair, biennale nasional dan internasional, yang kemudian semakin hiruk pikuk oleh munculnya kolektor-kolektor muda.
Wadah bagi seniman untuk berekspresi menjadi sangat beragam dan dengan bantuan perkembangan teknologi seperti media sosial (contohnya Facebook dan Instagram), profesi seniman seolah menjadi populer dikarenakan mudahnya akses informasi terhadap perhelatan-perhelatan kesenian saat ini. Dalam Art Incorporated: The Story of Contemporary Art (2004), Julian Stallabrass menganalisis profesi seniman dan daya tarik kesenian bagi penonton melalui kalimat:
If, despite the small chance of success, the profession of artist is so popular, it is because it offers the prospect of a labour that is apparently free of narrow specialization, allowing the artist, like heroes in the movies, to endow work and life with their own meanings. Equally for the viewers of art, there is a corresponding freedom in appreciating the purposeless play of ideas and forms, not in slavishly attempting to divine artists’ intentions, but in allowing the work to elicit thoughts and sensations that connect with their own experiences.2
Pernyataan Stallabrass tersebut memang seolah meramalkan apa yang kemudian terjadi dalam medan seni rupa Indonesia saat ini. Ragam kalangan berlomba-lomba menghadiri perhelatan pameran, art fair, dan biennale tanah air dengan harapan, kalaupun tetap tidak dapat memahami karya-karya seni yang ditampilkan, setidaknya dapat melakukan swafoto dengan karya-karya yang sesuai dengan selera estetik masing-masing. Penonton seolah tidak lagi dibebani dengan pemikiran akan gagasan seniman atau karya seni yang ekslusif dan terlalu kompleks. Beberapa institusi seni bahkan memfasilitasi public figure berpengaruh (baca: influencer) di luar medan seni rupa, untuk dapat menikmati pameran secara eksklusif sebelum kemudian dibuka secara resmi untuk publik umum. Hal tersebut diharapkan mampu menjaring lebih banyak lagi pengunjung dari bermacam kalangan.
Yang kemudian terjadi lewat fenomena-fenomena yang dipaparkan di atas adalah pemahaman berkaitan dengan karya seni yang tidak hanya dijadikan sebagai objek komersial tetapi juga objek swafoto. Seolah muncul aspek lain yang kemudian diolah dalam penciptaan atau peletakkan karya seni, bagaimana karya seni tersebut nampak estetik dalam unggahan-unggahan para pengguna media sosial. Memang tidak sepenuhnya buruk karena di satu sisi, terjadi peningkatan dalam hal ketertarikan dan jumlah pengunjung pameran, namun di sisi lain, karya seni kemudian mungkin hanya diapresiasi di wilayah permukaan.
Perilaku pengunjung hingga kebijakan-kebijakan sebagian institusi seni yang memanfaatkan fenomena apresiasi baru dalam seni rupa belakangan ini mungkin saja memicu pemikiran terkait karya seni sebagai objek aktualisasi belaka. Karya seni tidak lagi menjadi akumulasi gagasan dan eksplorasi pemikiran seorang seniman yang memancing ragam interpretasi. Karya seni hanyalah sebuah penanda yang (hampir) tanpa makna. Apresiasi baru, dalam hal ini budaya konsumsi terkini, menghasilkan kegelisahan baru setidaknya bagi seniman. Dalam istilah Julian Stallabrass, sebuah “Daya tarik/pesona sekaligus kegugupan”:
Contemporary artists tend to handle the issue of consumer culture with fascination and nervousness, and there is good reason for both reactions. Fascination, because consumerism appears to become ever more cultural, as much concerned with selling or merely displaying images, sound, and words, as it is with material things. Nervousness, because the engines of this production are so vast and lavishly funded, their output so strident and omnipresent. If commodities tend towards being cultural, what space is left for art?3
3 Kekosongan yang Dirayakan
Melalui tajuk Penanda-Penanda Kosong, Nindityo Adipurnomo nampaknya berupaya untuk memikirkan kembali makna penanda yang muncul belakangan ini. Isu-isu yang telah dipaparkan sebelumnya sekiranya dapat dijadikan sebagai komponen-komponen pendukung dalam mengapresiasi ragam eksplorasi yang dihadirkan oleh Nindityo. Tidak dapat dipungkiri, perjalanan karier kesenimanan Nindityo telah banyak memunculkan saling silang gagasan. Bicara soal institusi seni dan kuasa, Nindityo pun setidaknya pernah merasakan posisi tersebut selama hampir tiga puluh tahun. Melalui Rumah Seni Cemeti (atau yang saat ini dikenal dengan nama Cemeti-Institut untuk Seni dan Masyarakat), bersama sang istri, Mella Jaarsma, Nindityo pernah terlibat sebagai pihak-pihak yang dianggap sebagai produsen nilai-nilai kesenirupaan. Mengingat saat ini Nindityo dan Mella sudah melepas posisinya sebagai kuasa utama di dalam Cemeti, apakah proyek Penanda-Penanda Kosong ini merupakan sebuah bentuk refleksinya terhadap pemahaman akan kuasa penghasil tanda, dalam hal ini produsen nilai seni?
Dalam proses menyelami pemikiran Nindityo, penanda-penanda yang berupaya dikritisi dalam proyek tunggal Penanda-Penanda Kosong setidaknya mencakup sistem korporasi dan kuasa dalam ranah kesenian dan agama yang kemudian menghasilkan nilai-nilai yang dianut oleh mayoritas konsumen dan pemeluknya. Dalam lingkup kesenian yang luas, Nindityo memaparkan bagaimana sistem korporasi yang membangun organisasi perhelatan-perhelatan internasional telah mengukuhkan posisinya sebagai kuasa utama penghasil nilai seni. Oleh karenanya, dalam pandangan Nindityo, di lingkup yang lebih spesifik, dalam hal ini medan seni rupa Indonesia, jalan utama untuk menjadi internasional adalah dengan menganut nilai dan aturan dalam perhelatan internasional. Harapan elaborasi nilai lokal dan nasional untuk menjadi internasional masih memerlukan proses dan waktu yang panjang. Dalam ranah lainnya, dalam hal ini agama dan kepercayaan, Nindityo memeriksa kembali gagasan perihal kebebasan beragama di negeri ini sekaligus juga mempertanyakan praktik-praktik nilai dan aturan yang seringkali dimanfaatkan oleh individu atau kelompok tertentu untuk menjadi atas individu dan kelompok lainnya.
Sekilas, kritik Nindityo memang mengarah pada mesin-mesin penghasil nilai yang kemudian mempengaruhi cara kerja hingga cara hidup manusia, khususnya seniman dan pemeluk agama. Selera dan pilihan individu hingga keunikannya seolah tidak benar-benar hadir melalui akumulasi pengalaman personal, tetapi melalui konstruksi tidak kasat mata yang dibangun oleh sistem besar. Konstruksi yang dianggap sebagai sebuah bangunan korporasi. Apakah cukup utopis membayangkan potensi untuk keluar dari sistem kuasa tertentu? Apakah hanya terdapat dua pilihan: keluar untuk masuk ke dalam sistem kuasa lain atau keluar untuk menjadi sistem kuasa baru? Mungkinkah kekosongan yang diangkat dalam Penanda-Penanda Kosong adalah sebuah pemahaman akan keniscayaan kuasa yang membuat individu terjebak dalam sirkulasi nilai yang terus menerus dikonstruksi?
Penggunaan istilah penanda (signifier) sedikit banyak mengarahkan pada pemahaman strukturalis De Saussure yang menekankan gagasan hubungan arbitrer antara penanda dan petanda dalam sistem bahasa tertentu. Melalui pemahaman tersebut, munculnya istilah penanda dalam Penanda-Penanda Kosong hampir selalu mengarahkan pemikiran terkait kuasa sistem terhadap komponen-komponen bentukannya. Subjek tidak diyakini sebagai entitas orisinal, melainkan entitas yang dibentuk oleh sistem. Tepatkah upaya kritik terhadap sistem kuasa dengan menggunakan metode atau istilah yang justru berpihak pada sistem tersebut?
Sebuah sistem kuasa dibangun melalui gagasan kolektif yang disepakati dan dijalankan bersama. Menjadi kuasa tidak selalu harus dipahami sebagai bentuk manifestasi pemikiran megalomania. Sistem kuasa dapat dipahami sebagai sebuah upaya untuk menghasilkan keteraturan dalam konteks tertentu. Akar permasalahan dalam munculnya kritik terhadap sistem kuasa adalah ketika terjadi proses pemukulrataan yang mengakibatkan individu seolah kehilangan identitasnya dan melebur menjadi bagian dari kolektif. Nindityo melihat adanya fenomena bentuk-bentuk legitimasi kesenian yang tidak lagi hadir dari keunikan individu seniman, melainkan melalui konvensi yang berbasis korporasi. Hal tersebut tentu tidak sepenuhnya benar apabila melihat fenomena bermunculannya ragam inisiatif kesenian baru yang berbasis independen. Kalaupun ragam inisiatif baru tersebut kemudian diakui/terlegitimasi, dibiayai oleh korporasi tertentu, dan pada akhirnya berubah menjadi sistem atau kuasa baru, pemikiran positif tetap dapat dimunculkan melalui pemahaman akan lahirnya nilai-nilai baru yang memperkaya khazanah kesenian. Bukankah dengan munculnya ragam sistem kuasa berarti juga memunculkan ragam pilihan? Kata ‘memilih’ akan terasa lebih cair ketimbang kata ‘tunduk.’
Dalam ranah kesenian tradisi, persoalan kuasa nampak lebih dominan. Bentuk-bentuk kesenian tradisi tentunya telah melewati periode yang cukup panjang dalam linimasa kebudayaan tertentu. Periode dipertahankannya tradisi-tradisi tertentu hingga melampaui banyak generasi inilah yang menjadi akar permasalahan kuasa dalam kesenian tradisional. Usia tradisi sekilas berbanding lurus dengan tingkat kesakralannya. Kembali pada persoalan sistem kuasa yang merupakan hasil kesepakatan pihak-pihak tertentu, seharusnya kesenian tradisional juga dapat dipahami sebagai konstruksi pihak-pihak tertentu namun dengan durasi kekuasaan jauh lebih lama. Sayangnya, manusia kadang terjebak dengan ketakutan akan tingkat kesakralan kebudayaan tertentu. Hal tersebut yang mengakibatkan produksi gagasan atau artefak kultural yang dihasilkan individu, misalnya karya seni, melalui peminjaman budaya tradisi tertentu kemudian dianggap sebagai milik suatu budaya kolektif dan bukan didasari atas pemahaman akan orisinalitas individu.
Dalam bukunya berjudul Cultural Appropriation and the Arts (2008), James O. Young mengungkapkan adanya tendensi untuk menganggap bahwa sebuah kebudayaan merupakan pemilik kolektif atas benda-benda artistik dikarenakan benda-benda tersebut tidak dianggap sebagai produk orisinal seorang individu atau sekelompok individu tertentu. Young berpendapat bahwa tendensi tersebut tidak sepenuhnya dapat dijadikan kebenaran:
It is thought to be collective property because it is a collective product. This position is right whenever an item of cultural property genuinely is the collective product of a culture. I doubt, however, the claim that works of art are often, or perhaps even ever, so much the collective products of a culture that they become the property of the culture as a whole. In particular, I doubt the claim that an artist’s use of the traditional knowledge of his culture makes his work a collective product and, consequently, collective property.4
Skenario Signifikan (2017), karya Nindityo bersama dua temannya di dalam kelompok Cahaya Negeri, yang dipresentasikan dalam proyek pameran Pola: Patterns of Meaning di Jim Thompson Art Center, Bangkok, Thailand, pada 15 November 2017 – 28 February 2018, menunjukkan adanya upaya progresif dalam memahami kebudayaan tradisional. Elaborasi gagasan dan eksplorasi medium yang dilakukan oleh Nindityo sedikit banyak memunculkan kesadaran akan adanya pemikiran bahwa kesenian tradisi, dalam medan seni rupa kontemporer, dianggap sebagai bentuk-bentuk olahan yang mandek. Pada kenyataannya, kemandekan yang selama ini menjadi stigma kesenian tradisi nampaknya masih memiliki celah untuk dibongkar. Merujuk pada pernyataan Young, posisi Nindityo bersama Cahaya Negeri, Ace House Collective, Eldwin Pradipta, dan Restu Ratnaningtyas dalam perhelatan Pola: Patterns of Meaning, tentu tidak lagi dipandang sebagai upaya pengultusan tradisi Batik, dalam hal ini karya seni dianggap hanya bagian dari kebudayaan kolektif semata. Eksplorasi dalam Pola: Patterns of Meaning tentu merupakan gagasan orisinal individu atau individu kelompok yang tidak sepenuhnya tunduk pada kuasa lama budaya tradisi dan kuasa baru penghasil stigma terhadap seni tradisi, dalam hal ini medan seni rupa kontemporer.
Apabila dikaitkan dengan proyek Penanda-Penanda Kosong, Nindityo kemudian mengembangkan gagasan peminjaman logo-logo korporasi yang kali ini tidak sepenuhnya dikaitkan dengan tradisi Batik. Nindityo seolah memanfaatkan logo-logo (yang menurutnya tidak punya relasi makna yang jelas atau kosong) untuk dijadikan sebagai komponen ekstase visual dalam karya-karya dua dimensinya. Kesengajaan menghadirkan visual tanpa makna yang mungkin saja berkaitan dengan fenomena apresiasi karya seni di masa sekarang. Antusiasme kosong bertemu penanda kosong. Hal tersebut juga berkaitan dengan bagaimana seorang seniman mewujudkan gagasan besarnya melalui lingkup pameran dan bukan satuan karya. Kekaryaan tiga dimensi dalam proyek Penanda-Penanda Kosong kemudian mengangkat tidak hanya aspek kesenian, dalam hal ini eksplorasi medium rotan, tetapi juga aspek agama dan kepercayaan.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, Nindityo juga berupaya mengelaborasi gagasan penanda kosong dalam fenomena kepercayaan di Indonesia. Melalui elaborasi beberapa peristiwa terutama fenomena spesifik terkait sebuah keluarga yang melakukan aksi terorisme beberapa waktu yang lalu, Nindityo melihat adanya pemanfaatan komponen-komponen pembentuk kepercayaan/agama yang dijadikan sebagai alat untuk menguasai atau mengatur individu ataupun kelompok lain. Pemahaman terkait isu-isu agama sedikit banyak memicu munculnya kritik Nindityo atas pandangan eksotis tentang kepercayaan di Indonesia. Kewajiban beragama seolah hanya dijadikan sebagai penanda kosong yang dicantumkan dalam Kartu Tanda Penduduk. Seolah beragama tanpa memahami atau menjalankan aktivitas keagamaan bisa jadi merupakan akibat dari tekanan kuasa dalam lingkup keluarga hingga negara. Setiap individu, berniat atau tidak, percaya atau tidak, harus setidaknya memeluk satu agama.
Proyek Penanda-Penanda Kosong dapat dimaknai sebagai upaya menuju kulminasi gagasan Nindityo terkait pengalaman dan pemahamannya akan kesenian saat ini. Isu-isu yang ditawarkan merupakan manifestasi dari pembacaan dan kritiknya terhadap ragam bentuk korporasi yang mengkonstruksi pemahaman atas seniman, karya seni, dan pameran. Melalui Penanda-Penanda Kosong, Nindityo tidak hanya mewujudkan gagasan-gagasan melalui karya seni, tetapi juga melalui konstruksi kompleksitas pameran dan keterkaitannya dengan sistem kerja medan seni rupa kontemporer saat ini.
(Esai untuk pameran Penanda Kosong, 22 November – 30 Desember 2018, Semarang Gallery, Semarang, Indonesia)
Daftar Pustaka
- Griffin, Tim. 2013. “Worlds Apart: Contemporary Art, Globalization, and the Rise of Biennials”, dalam Alexander Dumbadze dan Suzanne Hudson (ed), Contemporary Art: 1989 to the Present, halaman 8. New Jersey: Wiley-Blackwell.
- Stallabrass, Julian. 2004. Art Incorporated: The Story of Contemporary Art, halaman 3-4. New York: Oxford University Press.
- Ibid, halaman 73.
- Young, James O. 2008. Cultural Appropriation and the Arts, halaman 78. New Jersey: Wiley-Blackwell.