Secara garis besar, fase hidup manusia terdiri dari masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, masa tua, hingga akhirnya tutup usia. Namun, tidak semua manusia beruntung untuk mengalami keseluruhan fase tersebut, tidak tertutup kemungkinan bahwa seorang manusia hanya mampu melalui fase remaja dan kemudian tutup usia. Masing-masing fase atau periode hidup manusia memiliki karakteristik tersendiri. Masa remaja merupakan sebuah fase dimana seorang manusia mulai mempertanyakan eksistensinya di dunia. Seperti halnya seorang manusia di masa remaja, seniman-seniman muda yang berkumpul dan membentuk sebuah kelompok bernama Kongsi Callow, juga mempertanyakan eksistensi kesenimanannya di dalam medan sosial seni rupa yang mereka anggap didominasi oleh kaum akademisi. Kongsi Callow yang terdiri atas pemuda pemudi dengan latar belakang pendidikan di luar bidang seni rupa (sebagian bahkan masih dalam tahap akhir menuntut ilmu di jenjang Sekolah Menengah Atas) ini mencoba untuk menentang sistem kuantifikasi ataupun penilaian terhadap karya yang terjadi di akademi-akademi seni. Bagi mereka, karya seni tidak bisa diukur dengan angka.
Di era seni rupa kontemporer saat ini dimana hampir keseluruhan karya seni memilliki label harga (yang tentunya berupa angka-angka hasil perhitungan), penolakan Kongsi Callow terhadap kuantifikasi dalam sistem penilaian karya seni di wilayah akademi tampak sedikit naif. Namun, berkaitan dengan pembahasan mengenai fase kehidupan manusia di atas, gagasan yang diangkat oleh Kongsi Callow ini bisa jadi merupakan fase awal mereka dalam memahami eksistensinya sebagai seniman. Kata callow yang diambil dari bahasa Inggris memiliki makna masih ‘hijau’ ataupun belum berpengalaman. Pengalaman merupakan sebuah kata kunci dalam memaknai karya-karya yang dihasilkan oleh Kongsi Callow dalam pameran ini.
Experience is not what happens to a man; it is what a man does with what happens to him.
Aldous Huxley, Texts and Pretexts (1932).
Dalam pameran ini, masing-masing seniman menawarkan gagasan yang cukup variatif. Beberapa diantaranya memiliki tema yang beririsan seperti tema yang berkaitan dengan pengalaman mereka di lingkungan keluarga masing-masing. Gagasan lain yang muncul dalam pameran ini antara lain berupa keinginan untuk mengadaptasi kehidupan orang lain, kepekaan terhadap impuls berupa musik serta perubahan ataupun pergeseran lingkungan, pemahaman serta ketertarikan pada seni tradisi, hingga gagasan yang bersifat spiritual.
Pengalaman pendidikan seni rupa formal tidak menjadi persoalan bagi Kongsi Callow untuk berkarya seni dan berusaha untuk menemukan eksistensi mereka di medan sosial seni rupa. Namun, masih terlalu dini untuk menilai sejauh mana mereka berhasil menembus medan sosial seni rupa yang didominasi oleh para spesialis yang berasal dari akademi-akademi seni. Bagaimanapun juga, kelompok seni ini sedang berusaha memaknai fase awal kekaryaan mereka dan usaha ini merupakan sebuah langkah penting yang dapat mempengaruhi perjalanan karier mereka sebagai seniman.
[youtube https://www.youtube.com/watch?v=fXk-OO9cBdg]
(Pengantar kuratorial Kongsi Callow 27 – 31 Maret 2015, URBANE Yuliansyah Akbar Gallery, Bandung, Indonesia)
Leave a Reply