If you really love guitar, you’re going to spend every waking hour stroking the thing.

Frank Zappa

Kutipan apocryphal di atas mungkin dapat mewakili sebagian besar gitaris hingga mungkin (sekadar) penggemar instrumen gitar. Salah satu instrumen musik paling populer ini seringkali menjadi pijakan awal bagi siapapun yang ingin mendalami ranah musik secara umum. Tidak sedikit gitaris yang antusias ketika menceritakan pengalaman mendapatkan gitar pertamanya atau betapa ia telah menghabiskan berjam-jam (hingga bahkan masa pubernya) di dalam kamar untuk menguasai teknik ataupun scale-scale gitar tertentu. Antusiasme terhadap instrumen gitar pun berkembang menjadi sesuatu yang bersifat perayaan massal dimana era 1970-an hingga 1980-an dianggap sebagai sebuah era lahirnya para guitar hero. Istilah guitar hero (yang juga dijadikan merek dagang di ranah video game) kemudian melekat sebagai sebuah penghargaan ataupun tujuan bagi siapapun yang hendak menjajal batas kemampuannya dalam menguasai instrumen gitar.

Apa yang kemudian terjadi di periode 1990-an sedikit banyak menggeser pemahaman publik terhadap instrumen gitar hingga pandangan terhadap definisi guitar hero itu sendiri. Memang pergeseran ini tidak sepenuhnya terjadi di periode tersebut, sebagian bisa ditelusuri hingga periode 1960-an dimana eksplorasi musikal jauh lebih dominan ketimbang eksplorasi yang bersifat instrumental. Namun setidaknya periode 1990-an telah melahirkan ksatria-ksatria bergitar ‘baru’ dengan kecenderungan yang berbeda dari para pendahulunya satu hingga dua dekade sebelumnya. Sebuah dokumenter yang diproduksi pada tahun 2008 berjudul It Might Get Loud sedikitnya dapat menggambarkan varian guitar hero dari generasi yang berbeda (dokumenter ini berfokus pada tiga gitaris: Jimmy Page; The Edge; dan Jack White).

Lantas, apa yang terjadi di masa sekarang terkait dengan pemahaman terhadap instrumen gitar hingga sang gitaris itu sendiri? Para guitar hero yang mengeksploitasi instrumen gitar dan seringkali disebut sebagai virtuoso tentu masih bertahan hingga sekarang, begitu pun dengan gitaris-gitaris yang lebih mementingkan kualitas musikal secara keseluruhan dibanding instrumen gitar semata. Namun, perkembangan di masa kini nampaknya memunculkan satu jenis gitaris (jika belum tepat diberi gelar guitar hero) baru yang tidak hanya memandang gitar sebagai objek eksplorasi dan eksploitasi musikal, tetapi juga menggabungkannya dengan pemahaman kebaruan dalam hal kemungkinan bentuk dan cara kerja sebuah instrumen gitar.

Kecenderungan untuk mengeksplorasi bentuk dan cara kerja sebuah gitar memungkinkan sang gitaris (atau sekaligus sang instrument-builder) untuk meng-ekslusif-kan gitarnya hanya untuk dirinya sendiri. Hal ini tentu berbeda dengan pemahaman guitar hero sebelumnya dimana para ksatria bergitar tersebut menggunakan gitar-gitar pabrikan (terlepas dari hadirnya gitar-gitar signature) yang bisa dimiliki dan dimainkan oleh siapapun. Kecenderungan ekslusivitas sebuah instrumen sebenarnya juga telah dilakukan oleh John Cage melalui prepared piano-nya di tahun 1938 yang lantas dibuat lebih ‘ekslusif’ lagi oleh Nam June Paik selang 25 tahun kemudian. Upaya Eddie Van Halen merakit gitar Frankenstein-nya bisa disebut sebagai upaya awal eksplorasi bentuk dan cara kerja sebuah gitar elektrik, meskipun perubahannya tidak terlalu signifikan. Perkembangan saat ini setidaknya telah memberi ‘audiens gitar’ sebuah tantangan baru. Banyak bermunculan instrumen gitar dengan bentuk yang non-konvensional sekaligus cara kerjanya yang mungkin hanya bisa dipahami oleh pembuatnya. Hal ini tentu tidak hanya memperluas pemahaman terhadap potensi instrumen gitar tetapi juga khazanah musik dan bahkan seni bebunyian.

Namun, jika ada yang masih ingin bertanya, ketika instrumen gitar menjadi sangat eksklusif, bukankah parameter guitar hero ataupun kualitas teknik dan musikal seorang gitaris menjadi sangat cair dan sulit untuk diukur? Leslie Conway “Lester” Bangs, seorang jurnalis musik asal Amerika Serikat, nampaknya memiliki jawabannya:

I began to realize that it was all the same – my teenage-dissolution lifestyle and the music of groups like the Troggs, Shadows of Knight, Music Machine, Seeds, Question Mark, Count Five. They were all full of shit and so was I. And none of us cared. We had all heard the Yardbirds’ brilliant innovations, but since almost none of the above listed groups really knew how to play their instruments, all they could do was bang away in rackety imitation. Which was when I first realized that quality and musicianship and taste actually had nothing whatsoever to do with rock ‘n’ roll; in fact might be its worst enemies.1

Long live, rock ‘n’ roll.

 

  1. Bangs, Lester. 1978. The Roots of Punk, dalam Jim DeRogatis, Kaleidoscope Eyes: Psychedelic Rock from the ‘60s to the ‘90s (1996), halaman 32. New Jersey: A Citadel Press Book.

 

(Pengantar untuk SALON Vol. 6: Shifting the Axes, 16 Januari 2017, Titik Temu Creative Space, Bandung, Indonesia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *