Seniman adalah seorang pengamat yang saksama. Seniman menakar dan menelusuri visi untuk mewujudkan gagasan artistiknya. “Takar-Telusur” merupakan sebuah presentasi artistik yang menekankan pada spektrum observasi dua seniman: Egga Jaya dan Wiyoga Muhardanto. Egga dan Wiyoga yang mengobservasi perilaku konsumsi.
Dipicu oleh pemanfaatan senyawa gula dalam eksplorasi seni cetak grafis (teknik sugar aquatint), Egga Jaya tertarik menelusuri perjalanan gula dari ranah produksi hingga kemudian dikonsumsi. Observasi Egga terhadap gula membentang dari pemetaan persebaran pabrik gula di periode kolonial hingga kebutuhan pemenuhan hasrat fisik manusia terhadap rasa manis. Gula tidak lagi hanya dipandang sebagai senyawa penambah selera. Dalam eksplorasi Egga, gula juga merupakan sebuah penanda kuasa dan variabel pertukaran pengetahuan serta kebudayaan.
Karya cetak grafis bertajuk Fragment XVII dapat disebut sebagai pembuka ketertarikan Egga terhadap spektrum konsumsi gula. Karya yang menggambarkan transformasi bentuk tiga dimensi menjadi dua dimensi melalui pemanfaatan teknik etsa sugar aquatint ini menekankan satu titik temu antara perkembangan seni rupa modern Barat dengan keseharian Egga yang hidup di Indonesia. Seni rupa modern seringkali dikaitkan dengan ragam visualisasi yang berjarak dengan objek atau peristiwa sehari-hari. Hal tersebut justru menjadi titik tolak Egga dalam menelusuri lebih dalam mengenai medium berkaryanya. Karya Sugar Vending Machine mengamplifikasi pemikiran terkait kemampuan seni dalam mengolah objek keseharian menjadi sesuatu yang istimewa. Egga mengolah material gula yang diberi pewarna ke dalam tabung-tabung kecil dengan presentasi menyerupai etalase display produk dalam mesin penjual otomatis.
Ketekunan Egga dalam menelusuri hikayat gula mengantarkannya pada temuan dokumen dan arsip yang diolah melalui karya J.V.D. Bosch Landscape serta Hejo Tebu: Suiker Confection. Kedua karya tersebut bersumber dari satu jurnal peneliti asal Belanda pada tahun 1930 berjudul De Rietsuikercultuur op Java. Egga menghadirkan penggambaran pemetaan distribusi gula sekaligus rekaman visual lanskap kota tempat tinggalnya dengan gunung dan cerobong asap sebagai penanda pabrik-pabrik gula. Kedua karya ini tidak hanya menjadi cerminan persebaran distribusi gula di masa lalu, tetapi sebuah aspirasi Egga sebagai seniman yang melihat gunung/alam dan perkembangan industri sebagai sumber kehidupan di masa kini. Di ruang pamer Cemeti, Egga menayangkan pula rekaman gambar bergerak hasil penelusurannya di pabrik gula Sindanglaut, salah satu pabrik gula peninggalan masa kolonial.
Dalam eksplorasi lainnya, Egga mengolah gula batu menjadi karya Endorphins Spike, Sugarkit: Rekayasa Rasa, dan Cambuk Jelaga. Serangkaian karya tersebut menghadirkan gula batu dalam ukuran dan komposisi yang berbeda satu sama lain. Endorphins Spike merespons temuan Egga lainnya yang mengungkapkan bahwa hasrat manusia terhadap gula dan rasa manis konon melebihi hasrat seks. Dalam karya tersebut, potongan gula batu diolah menjadi dua bentuk yang merepresentasikan Lingga-Yoni. Sugarkit: Rekayasa Rasa mewakili ketertarikan Egga pada sosok eksponen Fluxus, Joseph Beuys. Secara bentuk, Sugarkit: Rekayasa Rasa merupakan bentuk apresiasi dan apropriasi Egga terhadap karya Joseph Beuys berjudul Hare Sugar (Hasenzucker) yang diproduksi pada tahun 1972. Lengkap dengan teknik cetak saring dengan total 35 edisi dan potongan gula batu di dalamnya. Perluasan gagasan apropriasi tidak hanya muncul dalam bentuk eksplorasi cipratan fosfor di atas ‘kotak gula’, tetapi juga bagaimana keseluruhan edisi Sugarkit dipresentasikan seolah melayang dalam ruang pamer. Egga mengungkapkan bahwa aspek ritual-spiritual dalam mengolah gula tidak hanya dilakukan dan diyakini oleh bangsa Indonesia, tetapi juga oleh pihak Belanda di masa lalu.
Cambuk Jelaga merupakan salah satu karya yang membuka ruang pamer “Takar-Telusur”. Dengan menggunakan judul yang diambil dari salah satu penyakit tanaman tebu penghasil gula, Cambuk Jelaga dihadirkan seolah menopang salah satu limasan area depan bangunan Cemeti. Gula batu dihadirkan secara ‘telanjang’ yang kemudian membuka peluang hadirnya kerumunan semut di gerbang pameran “Takar-Telusur”. Dalam area yang sama, Wiyoga Muhardanto menampilkan karya Abu Zahra yang merepresentasikan tabrakan serta pergerakan kelas sosial di kehidupan urban melalui kehadiran objek tas bermerek yang ‘ditumpangi’ satu keluarga kelas menengah.
Wiyoga Muhardanto menakar aktivitas konsumsi secara umum di masyarakat sekaligus secara spesifik, konsumsi karya seni dalam konteks ritual dan prasyarat pameran seni rupa. Perhelatan seni rupa yang pada dasarnya terbuka untuk konsumsi/apresiasi publik acapkali terbatas di wilayah konsumsi/akuisisi. Karya seni termasuk ke dalam kategori barang mewah yang oleh karenanya hanya dapat dimiliki oleh kalangan terbatas. Dalam observasi Wiyoga, upaya mengonsumsi benda keseharian hingga benda-benda dengan akses terbatas seperti karya seni rupa telah melahirkan bentuk-bentuk ritual dan mobilitas sosial yang unik satu sama lain. Dorongan konsumsi yang kemudian memancing gerak dan pergeseran kelas sosial.
Tidak jauh dari karya Abu Zahra, Wiyoga mempertegas gagasannya terkait pergerakan sosial melalui karya bertajuk The Society. Dalam pandangan Wiyoga, pergerakan atau mobilitas sosial tidak hanya terjadi melalui dorongan konsumsi objek dan barang-barang mewah, tetapi juga melalui konsumsi isu politik dan kekuasaan. The Society secara spesifik menyoroti bagaimana simbol-simbol politik dan kekuasaan menjadi kendaraan bagi masyarakat untuk merangkak dalam tangga sosial. Sosok-sosok figur kecil yang mengenakan identitas partai politik hingga atribut ragam layanan jasa daring dihadirkan menumpangi sebuah replika dispenser yang merepresentasikan air sebagai sumber kehidupan. The Society menyinggung jukstaposisi antara air sebagai sumber kehidupan dan jabatan/golongan sosial sebagai satu gagasan semu terkait penghidupan yang layak untuk dikejar. Keduanya tumpang tindih dalam upaya menjalani kehidupan sehari-hari di kota besar.
Tingginya dorongan konsumsi hari ini ditakar dan ditelusuri oleh Wiyoga melalui karya bertajuk Perniagaan. Sebuah karya seri berupa lima mesin ATM berukuran kecil yang dipajang tersebar di sepanjang ruang pamer Cemeti. Mesin ATM menjadi representasi atas aktivitas serta kebutuhan transaksional, dalam hal ini berkaitan dengan distribusi uang, dalam keseharian masyarakat. Perniagaan tidak hanya mewakili gagasan transaksional di wilayah finansial, tetapi juga secara simbolik menghadirkan satu celetuk terhadap interaksi sosial yang berbasis transaksi. Perniagaan yang tersebar dalam “Takar-Telusur” sedikit banyak menjadi cerminan riuhnya kegiatan transaksional yang terjadi hari ini. Transaksi terjadi kapanpun dan di mana-mana, di dunia nyata sekaligus dunia maya.
Penelusuran Wiyoga tidak hanya muncul dalam khazanah keseharian yang bersifat umum, tetapi juga spesifik menyusuri medan seni rupa kontemporer. Dalam praktiknya, ranah seni rupa kontemporer berisi ragam eksplorasi gagasan dan medium artistik sekaligus ragam bentuk interaksi serta ritual sosial yang mengitarinya. Dalam karya berjudul Pagar, Wiyoga menyoroti rumah-rumah kolektor dengan akses terbatas sebagai representasi atas bentuk kesenjangan sosial sekaligus gambaran aktivitas konsumsi yang bersifat ekslusif dan elit. Karya Pagar dipresentasikan sedemikian rupa agar dapat dilangkahi oleh penonton dalam ruang pamer “Takar-Telusur”. Gerak ‘melangkahi’ dapat dimaknai sebagai satu dobrakan atas eksklusivitas yang terjadi dalam lingkup seni rupa kontemporer. Secara simbolik, Pagar juga seolah merefleksikan keleluasaan dalam mengakses ruang-ruang elit yang mengelilingi distribusi karya seni di tanah air.
Dalam lingkup penyelenggaraan pameran, program-program dengan akses terbatas acapkali diupayakan demi melancarkan akuisisi atau penjualan karya serta memperluas jejaring pertemanan dalam kelas sosial tertentu. Wiyoga menghadirkan karya dengan judul Muamalah untuk menggambarkan aktivitas makan malam privat sebagai pelicin interaksi dan kegiatan transaksi dalam lingkup perhelatan sebuah pameran seni rupa. Muamalah menjadi semacam ungkapan satire terhadap tabrakan kelas sosial yang harus dihadapi dan dilaksanakan ragam pelaku demi keberlangsungan peristiwa kesenian. Aktivitas makan malam terbatas dalam Muamalah dihadirkan melalui kehadiran meja makan panjang lengkap dengan kursi dan alat makan serta hiasan meja dalam skala 1:12. Muamalah mencerminkan puncak-puncak ketegangan sosial sekaligus pertarungan strategi dalam meninjau keberhasilan sebuah perhelatan seni rupa kontemporer hari ini.
Egga Jaya dan Wiyoga Muhardanto memproyeksikan kemampuan takar dan telusur melalui observasi gula serta mobilitas sosial. Di samping itu, keriuhan aktivitas konsumsi juga merupakan pijakan utama dalam meninjau serangkaian karya yang dihadirkan oleh kedua seniman. Kemampuan observasi menjadi aspek yang penting dalam mengolah inspirasi dan mewujudkan imajinasi menjadi karya seni. Upaya menampilkan temuan observasi dalam presentasi artistik seringkali dikategorikan dalam rumah seni berbasis riset. Terdapat variasi opini terkait salah satu perkembangan seni rupa di abad ke-21 tersebut. Apakah seni berbasis riset merupakan sebuah dobrakan dalam aspek presentasi karya seni? Apakah seni berbasis riset merupakan sebuah kecenderungan yang bertujuan ganda, pencapaian artistik sekaligus pencapaian ilmiah? “Takar-Telusur” tidak berupaya memosisikan seniman dalam wilayah antara: artistik-ilmiah. Observasi Egga Jaya dan Wiyoga Muhardanto merupakan pengamatan berbasis pengalaman yang intensif dengan medium artistik masing-masing: seni cetak grafis dan seni patung. Bagaimana medium artistik menjadi variabel utama dalam melahirkan temuan-temuan sekaligus kesadaran-kesadaran baru terhadap isu dan situasi tertentu.
“Takar-Telusur” memetakan medium artistik yang spesifik sebagai titik tolak observasi seniman terhadap ragam objek dan peristiwa di sekitarnya. Karya seni, gula, hingga ragam perilaku konsumsi dalam amatan Egga Jaya dan Wiyoga Muhardanto.
Artist is a keen observer. Artists measure and explore their visions to bring forth their artistic ideas. “Takar-Telusur” is an artistic presentation that emphasizes the spectrum of observation by two artists: Egga Jaya and Wiyoga Muhardanto. Egga and Wiyoga who observe the behaviors of consuming.
Triggered by the utilization of sugar compounds in the exploration of printmaking (sugar aquatint technique), Egga Jaya is intrigued to trace the journey of sugar from production to consumption. Egga’s observation of sugar spans from mapping the distribution of sugar factories in the colonial period to addressing the human physical desire for sweet taste. In Egga’s exploration, sugar is not merely seen as a sweetener but also as a symbol of power and a variable in the exchange of knowledge and culture.
The printmaking artwork titled Fragment XVII can be considered as Egga’s initial exploration into the spectrum of sugar consumption. This artwork, illustrating the transformation from three-dimensional to two-dimensional forms through the use of sugar aquatint etching technique, emphasizes a convergence point between the development of Western modern art and Egga’s daily life in Indonesia. Modern art is often associated with visualizations that distance themselves from everyday objects or events. However, this becomes Egga’s starting point to delve deeper into his preferred artistic medium. The work titled Sugar Vending Machine amplifies thoughts regarding the ability of art to transform everyday objects into something special. Egga processes colored sugar material into small tubes, presenting them in a manner reminiscent of a display showcase in a vending machine.
Egga’s perseverance in exploring the narrative of sugar leads him to discover documents and archives presented in works like J.V.D. Bosch Landscape and Hejo Tebu: Suiker Confection. Both pieces draw from a journal by a Dutch researcher in 1930 titled De Rietsuikercultuur op Java. Egga presents a depiction mapping the distribution of sugar alongside visual recordings of the landscape of his residence, with mountains and smokestacks as indicators of sugar factories. These works not only reflect the historical distribution of sugar but also represent Egga’s aspiration as an artist who sees mountains/nature and industrial development as sources of life in the present. In the Cemeti exhibition space, Egga also showcases a video captured during his exploration of the Sindanglaut sugar factory, one of the colonial-era sugar factories.
In another exploration, Egga transforms rock sugar into artworks titled Endorphins Spike, Sugarkit: Rekayasa Rasa, and Cambuk Jelaga. This series presents sugar crystals in different sizes and compositions. Endorphins Spike responds to another discovery by Egga, revealing that human desire for sugar and sweetness supposedly surpasses the desire for sex. In this work, pieces of sugar crystals are crafted into two forms representing Lingga-Yoni. Sugarkit: Rekayasa Rasa represents Egga’s interest in Fluxus exponent Joseph Beuys. In terms of form, Sugarkit: Rekayasa Rasa is an appreciation and appropriation of Joseph Beuys’ work titled Hare Sugar (Hasenzucker), produced in 1972. Complete with screen printing technique, in total of 35 editions, and pieces of sugar crystal in it. The expansion of the appropriation idea not only appears in the form of phosphor splatters on the ‘sugar box,’ but also in how the entire edition of Sugarkit is presented as if floating in the exhibition space. Egga reveals that the ritual-spiritual aspect of sugar processing was not only practiced and believed by the Indonesian people but also by the Dutch in the past.
Cambuk Jelaga is one of the artworks that opens up the exhibition space of “Takar-Telusur”. With a title taken from one of the diseases affecting sugar-producing sugarcane, Cambuk Jelaga is presented as if it supports one of the eaves (limasan) in the front area of the Cemeti building. Sugar crystals are presented ‘bare,’ opening the possibility of attracting a crowd of ants at the entrance of the “Takar-Telusur” exhibition. In the same area, Wiyoga Muhardanto presents the artwork Abu Zahra, representing the collision and movement of social classes in urban life through the presence of branded bags ‘ridden’ by a middle-class family.
Wiyoga Muhardanto measures consumption activities in society both generally and specifically, including the consumption of artworks in the context of rituals and prerequisites for art exhibitions. Art events that are essentially open to public consumption/appreciation are often restricted to the realm of consumption/acquisition. Works of art fall into the category of luxury items, and therefore, they can only be owned by a limited class. In Wiyoga’s observation, efforts to consume everyday objects to items with limited access, such as artworks, have given rise to unique forms of rituals and social mobility. The drive for consumption then triggers movements and shifts in social classes.
Not far from the artwork Abu Zahra, Wiyoga reinforces his ideas regarding social movements through a piece titled The Society. In Wiyoga’s view, social movement or mobility doesn’t only occur through the impetus of consuming luxury objects and items but also through the consumption of political issues and power. The Society specifically highlights how political symbols and power become vehicles for people to climb the social ladder. Small figures wearing political party identities and various attributes of online service providers are presented riding on a replica of a water dispenser, representing water as a source of life. The Society touches on the juxtaposition between water as a source of life and positions/social classes as a seemingly illusionary concept related to a life worth pursuing. Both overlap in the effort to navigate daily life in a big city.
The drive for consumption is measured and explored by Wiyoga through a work titled “Perniagaan”. It is a series of five small-sized ATM machines displayed throughout the Cemeti exhibition space. The ATM machines serve as a representation of activities and transactional needs, specifically related to the distribution of money in daily life. “Perniagaan” not only represents transactional ideas in the financial realm but also symbolically introduces a commentary on social interactions based on transactions. The scattered presence of “Perniagaan” in “Takar-Telusur” somewhat mirrors the omnipresent of the transactional activities happening today. Transactions occur anytime and anywhere, both in the real world and the virtual world.
Wiyoga’s exploration is not limited to the realm of everyday life but specifically delves into the field of contemporary art. In his work titled “Pagar”, Wiyoga highlights collector’s houses (represented by the gate of the house) with limited access as a representation of social disparity and a portrayal of exclusive and elitist consumption activities. The presentation of “Pagar” is arranged in such a way that it can be stepped over by the exhibition audience. The act of ‘stepping over’ can be interpreted as a breakthrough against the exclusivity that occurs within the realm of contemporary art. Symbolically, “Pagar” also seems to reflect the freedom to access elite spaces that surround the distribution of artworks in the country.
Within the scope of exhibition making, programs with limited access are often organized to facilitate the acquisition or sale of artworks and expand networking within specific social classes. Wiyoga presents a work titled “Muamalah” to depict private dinner activities as a lubricant for interaction and transactional activities within the context of organizing an art exhibition. “Muamalah” serves as a kind of satirical expression of the clash of social classes that must be faced and carried out by various actors for the sustainability of art events. The limited dinner activities in “Muamalah” are presented through the presence of a long dining table complete with chairs and tableware, as well as table decorations in a 1:12 scale. “Muamalah” reflects the peaks of social tension and strategic battles in reviewing the success of contemporary art events today.
Egga Jaya and Wiyoga Muhardanto project their abilities to measure and explore through the observation of sugar and social mobility. Additionally, the bustling activities of consumption serve as a primary foundation in appreciating a series of works presented by both artists. Observational skills are crucial in processing inspiration and turning imagination into works of art. Efforts to present observational findings in artistic presentations are often known as research-based art. There are various opinions regarding this development of 21st-century contemporary art. Is research-based art a breakthrough in the presentation aspect of art? Is it a dual-purpose trend, aiming for both artistic achievement and scientific accomplishment? “Takar-Telusur ” does not attempt to position artists between the artistic and scientific domains. The observations of Egga Jaya and Wiyoga Muhardanto are experiential observations with their respective artistic mediums: printmaking and sculpture. How do artistic mediums become the main variables in discovering new findings and awareness of specific issues and situations.
“Takar-Telusur” maps specific artistic mediums as the starting point for artists’ observations of various objects and events in their surroundings. Artworks, sugar, and a variety of consumption behaviours are within the scope of Egga Jaya and Wiyoga Muhardanto’s observations.
(Teks kuratorial untuk Takar-Telusur, pameran duo Egga Jaya dan Wiyoga Muhardanto, 5 Oktober–17 November 2023, Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Indonesia)